Butuh Riset Matang, Begini Ruwetnya Proses Transisi Energi di Dunia

Ketua Dewan Komisioner OJK Mahendra Siregar mengungkap cukup sulitnya dunia menghadapi transisi energi. Salah satunya dalam aspek biaya yang dikeluarkan untuk menggunakan listrik dari sumber energi baru terbarukan (EBT).

oleh Arief Rahman H diperbarui 01 Okt 2023, 17:45 WIB
Diterbitkan 25 Sep 2023, 13:50 WIB
PT Pertamina Geothermal Energy Tbk (PGE), emiten berkode PGEO siap menyambut pengembangan proyek Energi Baru dan Terbarukan (EBT). (Foto: Pertamina Geothermal Energy)
PT Pertamina Geothermal Energy Tbk (PGE), emiten berkode PGEO siap menyambut pengembangan proyek Energi Baru dan Terbarukan (EBT). (Foto: Pertamina Geothermal Energy)

Liputan6.com, Jakarta Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Mahendra Siregar mengungkap cukup sulitnya dunia menghadapi transisi energi. Salah satunya dalam aspek biaya yang dikeluarkan untuk menggunakan listrik dari sumber energi baru terbarukan (EBT).

Dia mengatakan, dalam jangka pendek sulit menggantikan porsi dari energi berbasis fosil ke EBT. Alasannya, masih minimnya infrastruktur EBT yang membuat biaya yang dibutuhkan semakin besar.

"Kebutuhan energi dalam perekonomian transisi harus dipenuhi. Tidaklah realistis untuk berharap bahwa energi terbarukan dapat menggantikan bahan bakar fosil dalam jangka pendek, karena kurangnya infrastruktur dan ketidakmampuan untuk menyediakan faktor beban yang diperlukan," ujarnya dalam OJK International Research Forum 2023, di Jakarta, Senin (25/9/2023).

"Teknologi seringkali memerlukan modal tinggi dengan produktivitas rendah dan tidak adanya pendanaan," imbuhnya.

Pengembangan EBT

Atas kendala ini juga, kata Mahendra, membuat pengembangan EBT di beberapa negara besar ikut terdampak. Misalnya, pemerintah Inggris yang mengganti kebijakan soal bauran EBT agar tak membebani ekonomi masyarakat.

"Akibatnya, beberapa pembangkit listrik tenaga batu bara dibuka kembali di Eropa. Ada kekurangan pendanaan untuk proyek-proyek ramah lingkungan yang tidak menguntungkan. Dan dalam kasus mobil listrik, bahkan Perdana Menteri Inggris baru saja mengumumkan perubahan besar dalam kebijakan ramah lingkungan dengan memasukkan penundaan pelarangan mobil berbahan bakar bensin dengan dasar bahwa keluarga di Inggris tidak diharapkan menanggung biaya yang tidak dapat diterima (berlebihan)," paparnya.

Dia mengatakan, Indonesia bisa mengaca pada fenomena ini. Titik beratnya pada posisi riset yang lebih matang dan mumpuni agar kedepannya proses transisi tidak menimbulkan biaya yang terlalu tinggi untuk ditanggung masyarakat.

 

 

Penguatan Riset

PT PLN (Persero) siap hadirkan listrik dengan total kapasitas 42 megawatt peak (MWp) yang bersumber dari energi baru terbarukan (EBT)
PT PLN (Persero) siap hadirkan listrik dengan total kapasitas 42 megawatt peak (MWp) yang bersumber dari energi baru terbarukan (EBT) untuk mendukung pertumbuhan ekonomi dan industri di Batam, Kepuluan Riau. (Dok PLN)

Mahenda menyebut, dalam menerapkan ekonomi hijau yang ramah lingkungan perlu didasari oleh riset yang kuat. Keseimbangan antara proses transisi dan pembiayaan haris dilakukan dalam proses transisi energi.

"Kita perlu fokus pada penelitian berbasis bukti. Misalnya, industri mobil listrik bergantung pada penambangan mineral penting dan titik charging station mobil sebagian besar bergantung pada listrik dari bahan bakar fosil, karena sebagian besar energi alternatif berbiaya tinggi dan akan menghambat pengembangan mobil listrik secara signifikan," bebernya.

Dalam hal ini, kata dia, pembiayaan yang ditargetkan harus mencakup proses hulu dan hilir. Dia menegaskan setiap pihak yang terlibat harus memastikan perekonomian berkelanjutan yang sedang dikembangkan di Indonesia didasarkan pada investasi yang bankable. Serta perlu diperhatikan untuk lebih bijaksana dalam memilih energi terbarukan.

"Misalnya saja, terdapat kekhawatiran yang semakin besar bahwa ketika energi bukan merupakan sumber yang layak, investasi yang tinggi, produktivitas yang rendah memerlukan subsidi yang besar. Hal ini mungkin masih bisa dilakukan di wilayah tertentu di Indonesia, namun hal ini tentu memerlukan penelitian lebih lanjut," tegasnya.

 

Bursa Karbon

Ilustrasi emisi karbon (unsplash)
Ilustrasi emisi karbon (unsplash)

Presiden Joko Widodo (Jokowi) akan merilis bursa karbon pada 26 September 2023, besok. Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Mahendra Siregar menegaskan urgensi hadirnya sarana perdagangan karbon ini.

Mahendra mencatat langkah ini jadi upaya yang dilakukan OJK untuk mendukung target penurunan emisi karbon pemerintah. Sebelum bursa karbon, OJK telah merilis aturan perdagangan kabon pada bulan lalu.

"Peraturan OJK untuk sistem perdagangan bursa karbon baru saja diluncurkan pada bulan lalu, dan diperkirakan bursa tersebut akan diluncurkan besok oleh Presiden pada pagi hari," kata dia dalam OJK International Research Forum 2023, di Jakarta, Senin (25/9/2023).

Dia menjelaskan, bursa karbin ini tak lain untuk menyediakan mekanisme pasar yang mendukung Nationally Determined Contribution (NDC) pemerintah. Sekaligus untuk menyeimbangkan proses transisi yang bertahap menuju perekonomian berkelanjutan.

"Pentingnya saya melekatkan SDGs 2030 sebagian besar didasarkan pada perkembangan yang terjadi di negara-negara maju, di mana proses risiko deindustrialisasi mengakibatkan ketidakstabilan ekonomi dan sosial dan hal ini pada gilirannya melemahkan komitmen yang dibuat dalam hal net zero emission di negara ini," paparnya.

Mahendra menguraikan, rilisnya bursa karbon yang akan dilaksanakan oleh Bursa Efek Indonesia (BEI) ini salah satu cara OJK untuk mendukung komitmen penurunan emisi karbon. Setidaknya ini jadi satu poin diantara 5 poin yang dijalankan OJK.

Awalnya, sejak tahun 2015 OJK telah menerbitkan peta jalan pembiayaan berkelanjutan yang bertujuan untuk membangun kesadaran mengenai keuangan berkelanjutan dan diperluas untuk membangun ekosistem pembiayaan berkelanjutan.

Ini juga digunakan untuk memperluas pasokan dan permintaan dana ramah lingkungan serta meningkatkan penerapan keuangan berkelanjutan di sektor keuangan dan industri jasa.

 

Taksonomi Hijau

Ilustrasi Karbon Dioksida (CO2).
Karbon dioksida (CO2) (Sumber: Pixabay)

Poin lainnya, adalah dengan diterbitkannya Taksonomi Hijau nasional sebagai panduan komprehensif. Sampai batas tertentu, taksonomi ini mengacu pada model yang dikembangkan secara global, yang harus mencakup taksonomi ASEAN untuk keuangan berkelanjutan versi dua, yang baru saja diterbitkan pada semester lalu.

"Namun, kami percaya bahwa taksonomi hijau harus semakin berorientasi pada pembiayaan entitas yang mendorong dan menerapkan kebijakan yang memenuhi tujuan SDGs," tuturnya.

Kemudian, adanya wadah business matching atau networking dengan memfasilitasi diskusi dan pertukaran bisnis antara pemilik proyek ramah lingkungan dengan calon pemodal guna mendorong pembiayaan dan investasi yang lebih besar di sektor ini.

"Melalui pertukaran ini, kami juga berharap dapat mendorong pengumpulan sumber daya untuk penelitian pra-kompetitif," kata dia.

Lalu, OJK juga telah meluncurkan beberapa insentif di bidang penerbitan obligasi ramah lingkungan dan pembiayaan ekosistem kendaraan listrik. Serta terus melakukan kolaborasi internasional antar pemangku kepentingan termasuk secara aktif berkontribusi pada berbagai badan penetapan standar.

"Termasuk Dewan Stabilitas Keuangan, komite dasar perbankan. pengawasan, serta jaringan bank sentral dan pengawas penghijauan sistem keuangan," urainya.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya