Tekan Emisi Gas Rumah Kaca, Perusahaan Tambang Perlu Inovasi

Nickel Industries melalui anak perusahaannya, PT Hengjaya Mineralindo menawarkan inovasi yang dapat mengatasi tantangan iklim dan pembangunan. Khususnya dalam menekan pembuangan emisi gas rumah kaca (GRK) di sektor industri pertambangan.

oleh Maulandy Rizki Bayu Kencana diperbarui 22 Des 2023, 20:00 WIB
Diterbitkan 22 Des 2023, 20:00 WIB
Ilustrasi emisi karbon (unsplash)
Ilustrasi emisi karbon (unsplash)

Liputan6.com, Jakarta Nickel Industries melalui anak perusahaannya, PT Hengjaya Mineralindo menawarkan inovasi yang dapat mengatasi tantangan iklim dan pembangunan. Khususnya dalam menekan pembuangan emisi gas rumah kaca (GRK) di sektor industri pertambangan.

Berdasarkan data yang terhimpun dalam Laporan Iklim dan Pembangunan Negara (2023), emisi di Indonesia memiliki angka rata-rata tahunan setara dengan 1.495 juta ton karbon dioksida (C02) ekuivalen (MtCO2eq) pada 2018-2020.

Angka ini terbilang tinggi dibandingkan dengan negara-negara setara secara struktural. Secara historis pun, deforestasi dan kebakaran hutan telah menjadi faktor penyumbang emisi GRK di Indonesia dengan persentase 42 persen.

Sustainability Manager Nickel Industries Muchtazar menyampaikan, pihaknya telah mendorong inovasi dalam bentuk program lingkungan, mulai dari efisiensi energi, pengurangan emisi, pengelolaan limbah non-B3, pengurangan limbah B3, konservasi air, pengelolaan keanekaragaman hayati.

 

"Program-program lingkungan ini tidak hanya dijalankan secara internal, melainkan juga eksternal dengan melibatkan masyarakat lokal. Seperti halnya pada program mitigasi dan adaptasi perubahan iklim, Metana Bumi (Menanam Tanpa Merusak Bumi)," ujarnya, Jumat (22/12/2023).

Muchtazar menjelaskan, program-program lingkungan yang dijalankan oleh perusahaan selalu dikembangkan dan dievaluasi secara terus menerus. Guna memastikan tidak terjadi pencemaran atau kerusakan terhadap ekosistem lingkungan darat maupun air di wilayah pertambangan perusahaan.

"Kami bekerjasama secara internal maupun eksternal dalam mewujudkan pengelolaan lingkungan yang baik sesuai dengan aturan-aturan yang telah berlaku di Indonesia. Bahkan, kami juga mendorong karyawan untuk bisa berinovasi di bidang lingkungan, sehingga perubahan dapat terjadi secara baik," ungkapnya.

Melalui PT Hengjaya Mineralindo, Nickel Industries pun sukses menggondol penghargaan PROPER Hijau untuk kedua kalinya dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) pada 2023. Menurut Muchtazar, prestasi ini sebagai bukti nyata perusahaan dalam pengelolaan lingkungan yang berkelanjutan.

"Keberhasilan kami saat ini tidak terlepas dari dukungan manajemen dan seluruh tim di lapangan dalam memastikan upaya lingkungan terkelola secara baik. Sehingga dapat membantu pemerintah Indonesia dalam memenuhi target iklim dan Pembangunan berkelanjutan," tuturnya.

Ekonomi Hijau Bisa Buka 19,4 Juta Lapangan Kerja di Indonesia

Peningkatan Kegiatan yang Menghasilkan Emisi
Ilustrasi Penebangan Hutan Credit: pexels.com/Yaroslav

Greenpeace Indonesia bersama Center for Energy and Low Studies (CELIOS) meluncurkan Policy Brief pada Selasa, (19/12) tentang transmisi ekonomi hijau di Indonesia.

Transmisi ke ekonomi hijau diperkirakan mampu membuka hingga 19,4 juta lapangan kerja baru yang muncul dari berbagai sektor yang berkaitan dengan pengembangan energi terbarukan, pertanian, kehutanan, perikanan dan jenis-jenis industri ramah lingkungan lainnya.

“Harus konsisten transisi ke ekonomi hijau karena da 19,4 juta lapangan pekerjaan di berbagai sektor dan dampak berganda sangat besar,” kata Direktur Center of Economic and Low Studies (CELIOS), Bhima Yudhistira pada kesempatan yang sama.

Tak hanya menciptakan lapangan kerja baru, ekonomi hijau juga diyakini bisa memberikan pajak bersih hingga Rp 80 triliun dari sebelumnya Rp 34,8 triliun dari ekonomi ekstraktif. Bhima mengatakan bahwa pajak bersih merupakan nilai pajak dikurangi aneka subsidi.

“Ekonomi hijau diasumsikan mampu memberikan pajak bersih Rp 80 triliun. Proyeksi angka Rp 80 triliun itu yang benar-benar masuk ke kas negara," kata dia.

Lebih lanjut, pada talk show yang diadakan oleh Greenpeace tersebut, selain dari sisi ekonomi yang bisa dihitung, dijelaskan juga bahwa peralihan ke ekonomi berkelanjutan juga mampu memberikan efek positif dari berbagai sisi, seperti:

  • Pencegahan korupsi dari sektor ekstraktif dengan tata kelola (good governance) yang lebih baik
  • Meningkatnya partisipasi masyarakat dalam upaya transisi energi terbarukan
  • Berkurangnya belanja kesehatan dari berkurangnya polusi udara
  • Meningkatnya kebahagiaan masyarakat berkat keseimbangan alam yang terjaga
  • Memperkuat daya tahan ekonomi dari fluktuasi harga bahan bakar fosil

“Jadi, ini punya dampak selain dari sisi ekonomi pun juga dampak yang langsung dirasakan, salah satunya adalah melindungi ekonomi Indonesia yang naik turun tanpa prediksi.” kata Bhima melanjutkan. 

Bhima menambahkan, hal tersebut bisa dijawab dengan transisi energi yang lebih baik, partisipasi yang lebih terbuka, dan tata kelola yang lebih baik.

Butuh dukungan pemerintah maupun swasta

Direktur Eksekutif Celios (Center of Economic and Law Studies) Bhima Yudhistira,
Direktur Eksekutif Celios (Center of Economic and Law Studies) Bhima Yudhistira memaparkan pentingnya peran Satgas Pangan.

Akan tetapi, supaya transisi ke ekonomi hijau dapat berjalan baik, Bhima mengatakan perlu ada pendanaan dari pemerintah maupun swasta yang bisa mendorong pelaku usaha untuk beralih ke sektor industri berkelanjutan.

“Pemerintah bisa mengalihkan insentif fiskal di sektor bahan bakar fosil dan tambang ke sektor industri berkelanjutan, menerapkan pajak produksi batubara dan pajak windfall profit, serta mengelola dana abadi yang berasal dari pendapatan sumber daya alam (SDA),” ujar Bhima. “Pemerintah juga harus segera menerapkan pajak karbon untuk mengurangi emisi yang ditimbulkan dari aktivitas ekonomi ekstraktif dan bahan bakar fosil.” 

Sementara itu, Bhima turut mengatakan bahwa pihak swasta dapat berperan dalam pendanaan ekonomi hijau.

“Pelaku jasa perbankan bisa mengalihkan porsi kredit perbankan di sektor pertambangan, penggalian, dan migas ke sektor industri berkelanjutan.” kata Bhima melanjutkan.

“Perusahaan pasar modal pun dapat mengoptimalkan dana publik di pasar modal untuk mendorong pembiayaan ekonomi hijau melalui penawaran saham perdana.”

Maka dari itu, Bhima menjelaskan perlu ada komitmen politik yang kuat untuk bisa mengimplementasikan transformasi dari ekonomi ekstraktif ke ekonomi berkelanjutan.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya