Liputan6.com, Jakarta Kementerian Perhubungan berencana membangun jaringan angkutan bus sepanjang 2.000 kilometer (km) di 5 kota metropolitan. Namun, ada tantangan tersendiri dalam implementasinya ke depan.
Ketua Umum Masyarata Transportasi Indonesia (MTI) Tory Damantoro mencatat ada salah satu maslaah inti dari rencana tersebut. Hal ini diprediksi bisa menimbulkan konflik saat pelaksanaan angkutan bus tersebut.
Baca Juga
"Kendala Utama program ini adalah penolakan dari operator angkot eksisting. Untuk itu MTI mendesak Kementerian Perhubungan menggandeng Organda untuk segera melaksanakan reformasi angkot eksisting dengan mengambil pembelajaran dan best practises dari beberapa daerah," bebernya dalam Catatan Akhir Tahun MTI 2023, di Jakarta, Rabu (27/12/2023).
Advertisement
Program itu, merujuk pada Indonesia Mass Transit Program (Mastran) yang akan membangun 2.000 km rute angkutan bus di 5 kawasan perkotaan metropolitan. Targetnya bisa melayani 34 juta penduduk di Medan, Bandung, Semarang, Surabaya, dan Makassar.
Monitoring
Dia pun meminta pemerintah turut serta melengkapi pengembangan rute angkutan bus itu dengan monitoring dan evaluasi.
"MTI mengingatkan program ini harus dilengkapi dengan monitoring dan evaluasi dan didukung sistem data yang baik sehingga kemenhub jadi bisa memantau terus menerus dan ada perbaikan kinerjanya," tuturnya.
Tory menjelaskan, secara umum, pihaknya mengapresiasi rencana tersebut. Pasalnya, hal ini dinilai bisa memberikan pelayanan transportasi massal yang merata di kota-kota di Indonesia.
"Ini penting, karena apa? Program Mastrans ini nantinya akan mengeluruh, jadi infrastruktur masuk, operasional masuk, pembiayaan masuk, kelembagaan dan peraturan juga. Ini yang sudah ditunggu-tunggu oleh MTI, bukan cuma di Jakarta tapi di Indonesia," ucapnya.
Â
Penuhi 160 Juta Penduduk Perkotaan
Pada konteks ini, Tory menyoroti pula soal pembangunan angkutan umum perkotaan untuk mengatasi kebutuhan transportasi 160 juta penduduk perkotaan sebagai dampak urbanisasi yang terus tumbuh pesat di Indonesia.
Di tahun 2023 ini, Kementerian Perhubungan telah merencanakan peralihan pengelolaan program Buy The Service kepada Pemerintah Daerah di 11 kota untuk melanjutkan pengoperasian, pengelolaan, dan pendanaan program yang total anggarannya mencapai Rp 500 miliar per tahun.
Biaya Transportasi Bisa Turun
Sebelumnya, Akademisi Prodi Teknik Sipil Unika Soegijapranata dan Wakil Ketua Pemberdayaan dan Pengembangan Wilayah Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Pusat Djoko Setijowarno mengatakan, motorisasi dan pertumbuhan cepat kendaraan pribadi di kota-kota besar sangat berdampak pada kemacetan, keselamatan jalan, emisi lokal dan global.
Kerugian akibat kemacetan di Kota Jakarta mencapai Rp 65 triliun per tahun. Sementara Kota Surabaya, Bandung, Medan, Semarang dan Makassar mencapai Rp 12 triliun per tahun. Besaran angka itu sudah melebihi APBD kota-kota tersebut pada tahun itu.
Di samping itu, kebutuhan mobilitas tertinggi untuk kota di luar Jawa berada di Kota Medan, yakni lebih dari 4,8 juta jiwa. Kebutuhan mobilitas di Kota Jakarta 35 juta jiwa, Surabaya 9,92 juta jiwa, Bandung 9,57 juta jiwa, Semarang 6,57 juta jiwa, Balikpapan 3,03 juta jiwa, Denpasar 2,25 juta jiwa, Makassar 2,28 juta jiwa, Manado, 1,02 juta jiwa.
Â
Advertisement
Kendala Pemda
Banyak pemda terkendala anggaran yang minim, sehingga tidak mampu membenahi angkutan umum di daerahnya. Ditambah lagi, sektor perhubungan tidak masuk dalam kelompok pelayanan dasar, sehingga anggaran yang dialokasikan ke Dinas Perhubungan sangat kecil dibandingkan pendidikan dan kesehatan.
"Mengutip Kajian Teknis Angkutan Perkotaan yang dilakukan Ditjenhubdat tahun 2019, proporsi anggaran Dinas Perhubungan di beberapa kota di Indonesia kisaran 0,22 persen - 3,1 persen dari total APBD," kata dia dalam keterangan tertulis, Selasa (7/11/2023).
Djoko mengatakan, saat ini sudah ada Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2023 tentang Ketentuan Umum Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Regulasi ini memberikan ruang bagi pemda untuk memperhatikan keberadaan angkutan umum di daerah