Ombudsman Usul Kepala Desa Teken Perjanjian Jamin Data Bansos Akurat

Kepala desa atau lurah bisa dikenai unsur pidana jika data penerima bansos ternyata bukan kelompok yang benar-benar membutuhkan.

oleh Arief Rahman Hakim diperbarui 18 Jan 2024, 20:00 WIB
Diterbitkan 18 Jan 2024, 20:00 WIB
Bansos Beras
Pelaksanaan program Bantuan Pangan Cadangan Beras Pemerintah dipercepat untuk mengatasi kenaikan harga beras saat ini. Ombudsman Republik Indonesia menemukan adanya data penerima bantuan sosial (bansos) Program Keluarga Harapan (PKH) tidak dilakukan secara akurat.(merdeka.com/Arie Basuki)

Liputan6.com, Jakarta Ombudsman Republik Indonesia menemukan adanya data penerima bantuan sosial (bansos) Program Keluarga Harapan (PKH) tidak dilakukan secara akurat. Salah satunya karena minimnya keterlibatan dalam musyawarah desa (musdes) atau musyawarah kelurahan (muskel).

Anggota Ombudsman RI Robert Na Endi Jaweng meminta ada proses penguatan akuntabilitas pada aspek pengumpulan data penerima bansos dari tahapan awal. Tujuannya memastikan data tersebut memang memuat nama-nama yang berhak mendapatkan bantuan.

"Memang harus ada akuntabilitas di tingkat desa untuk memastikan nama yang diusulkan itu adalah nama-nama yang memang berhak dan nama-nama yang memang dia eligible," ujar Robert dalam Diskusi Publik Bansos PKH: Tata Kelola dan Perbaikan ke Depan, di Kantor Ombudsman RI, Jakarta, Kamis (18/1/2024).

Sebagai salah satu solusinya, dia mengusulkan adanya perjanjian yang mengikat dengan kepala desa atau lurah untuk menjadi penanggung jawab mutlak data itu. Bahkan, jika dimungkinkan perjanjian itu memiliki kekuatan hukum.

Dengan begitu, kepala desa atau lurah bisa dikenai unsur pidana jika data penerima bansos ternyata bukan kelompok yang benar-benar membutuhkan.

"Kami kemudian berpikir tentang perlu mungkin surat tanggung jawab mutlak seorang kepala desa, dia harus menandatangani, dan itu terikat secara administrasi atau bahkan secar pidana kalau kemudian dia tidak akuntabel dalam memasukkan nama-nama, pada pengusulan maupun updateng DTKS (Data Terpadu Kesejahteraan Sosial) nya itu," tuturnya.

Robert menyadari usulan tersebut perlu dikonsultasikan dengan Badan Permusyawaratan Desa (BPD). Serta, dalam pelaksanaannya, bisa dilakukan pelaporan secara periodik.

"Tapi surat tanggung jawab mutlak ini harus berkonsultasi dengan BPD dan dilaporkan secara berkala, mungkin 6 bulan sekali dalam forum yang ada di desa itu, apakah musdes atau musrenbang kalau memang itu masih bisa dilakukan," ungkap Robert.

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.


Musyawarah Tak Efektif

Ilustrasi penerima Bansos (Istimewa)
Ilustrasi penerima Bansos (Istimewa)

Sebelumnya, Ombudsman Republik Indonesia menemukan adanya proses yang tidak dilakukan dalam pengumpulan data penerima bantuan sosial (bansos). Salah satunya tak adanya proses musyawarah desa (musdes) atau musyawarah kelurahan (muskel) dalam penentuan data awal.

Anggota Ombudsman RI Robert Na Endi Jaweng mengatakan, berbasis pada temuannya, musdes dan muskel itu menjadi tidak efektif karena tidak berjalan di tingkat pengumpulan data penerima bansos. Salah satunya terjadi pada tahapan penyaluran bansos Program Keluarga Harapan (PKH).

"Pada tingkat pengusulan memang tidak secara eksplisit kemudian ini menjadi perintah bagi desa atau kelurahan untuk melakukan musyawarah desa atau musyawarah kelurahan, tapi mekanisme yang ada kan begitu memang, dan kami menemukan bahwa musdes ini dan muskel ini itu sangat tak efektif," ujar Robert dalam Diskusi Publik Bansos PKH: Tata Kelola dan Perbaikan ke Depan, di Kantor Ombudsman RI, Jakarta, Kamis (18/1/2024).

 


Tak Mampu Verifikasi

Bansos Beras
Penambahan periode bantuan diharapkan selain menjaga stabilitas ketahanan pangan dengan menjaga daya beli masyarakat juga membantu pengendalian inflasi sebagai dampak kenaikan harga beras saat ini. (merdeka.com/Arie Basuki)

Dia menjelaskan, atas temuan Ombudsman, ternyata kebanyakan tidak ada proses musdes dan muskel tadi sebagainya seharusnya. Alhasil, data yang selama ini terkumpul patut dipertanyakan keakuratannya.

Masalah selanjutnya, ada pada proses verifikasi yang juga menimbulkan pertanyaan. Secara sederhana, proses verifikasi ini diperlukan untuk memastikan data yang terkumpul adalah akurat. Hanya saja, kata Robert, terkadang verifikator di tingkat desa tadi tidak memiliki kapasitas.

"Musdes ini sesuatu yang memang antara ada dan tiada. Karena dia tiada maka kemudian mekanismenya gimana? sampai kemudian nama itu bisa masuk itu gimana caranya, gimana ceritanya? lalu bersandar pada yang namanya verifikator desa, yang ini juga tidak semua desa ini punya atau punya kemampuan atau kompetensi dan sebagainya," tuturnya.

 


Tak Bisa Diharapkan

Sebagai upaya mencari solusi, Robert meminta ada terobosan alih-alih bergantung pada proses pengumpulan data berbasis musdes atau muskel tadi. Pasalnya, langkah krusial awal ini kerap tidak dijalankan, bahkan untuk perencanaan Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) dan Rencana Kerja Pemerintah Desa (RKPDes).

"Nah tingkat ini kemudian, lalu ombudsman berpikir kalau seperti ini, bersandar pada basis, meskipun ini hanya salah satu jalur karena jalur yang lain masih ada, tapi karena ini jalur utama, kalau begini ceritanya maka kemudian kami berpikir harus ada terobosan, musdes dan muskel ini sesuatu yang sulit kita harapkan," tuturnya.

"Jangankan untuk menyusun usulan bansos, untuk nyusun perencanaan RKPD dan RKPDes saja musdes dan muskel ini sudah tidak banyak efektif," tegas Robert.

Lanjutkan Membaca ↓

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya