Apa Itu Bioregional yang Disebut saat Debat Cawapres 2024?

Kata bioreginal muncul saat debat cawapres kedua, ketika cawapres Muhaimin Iskandar atau Cak Imin menanyakan kepada Cawapres nomor urut dua Gibran Rakabuming Raka.

oleh Agustina MelaniMaulandy Rizky Bayu Kencana diperbarui 24 Jan 2024, 16:39 WIB
Diterbitkan 23 Jan 2024, 19:03 WIB
Apa Itu Bioregional yang Disebut saat Debat Cawapres 2024?
Saat debat calon wakil presiden (Cawapres) terkait Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024 pada Minggu, 21 Januari 2024, ada sejumlah istilah yang mungkin jarang terdengar, salah satunya bioregional.(Liputan6.com/Herman Zakharia)

Liputan6.com, Jakarta - Saat debat calon wakil presiden (Cawapres) terkait Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024 pada Minggu, 21 Januari 2024, ada sejumlah istilah yang mungkin jarang terdengar, salah satunya bioregional.

Kata itu muncul, saat debat cawapres kedua, calon wakil presiden nomor urut 1 Muhaimin Iskandar atau Cak Imin menanyakan kepada Cawapres nomor urut dua Gibran Rakabuming Raka mengenai strategi pembangunan berbasis bioregional.

Menjawab hal itu, Gibran Rakabuming Raka menuturkan,  pembangunan ke depan tidak boleh lagi bersifat Jawa sentris, tetapi harus Indonesia sentris. Salah satunya diwujudkan melalui pemindahan ibu kota dari Jakarta ke IKN.

Selain itu, Gibran juga hendak membangun hilirisasi industri dengan memperhatikan lingkungan hidup dan analisis dampak lingkungan (AMDAL). Termasuk menggandeng pengusaha dan UMKM lokal dalam pembangunannya.

Muhaimin tak merasa puas dengan jawaban tersebut. "Pertanyaan saya tidak terjawab sama sekali," kata Cak Imin saat debat Cawapres.

Muhaimin menyebutkan, terkait potensi bioregional di Indonesia berdasarkan kebijakan yang ada. Cak Imin mengatakan, wilayah nasional terbagi bukan hanya sekadar politik dan administrasi, tapi ekosistem lingkungan sekaligus komunitas masyarakat yang tumbuh jadi pertimbangan.

"Sehingga misalnya Papua, jangan pernah salah dalam membangun Papua. Papua harus berbasis pemerataan dan keadilan yang sempurna. Maluku misalnya, Maluku menjadi bioregional untuk pengembangan ekonomi kelautan dan perikanan," tutur dia.

"Jawa misalnya, keberlanjutan pembangunan yang menumbuhkan potensi ekonomi," Cak Imin menambahkan.

 

Apa Itu Bioregional

FOTO: Hore, Kebun Raya Bogor Kembali Dibuka
Suasana Kebun Raya Bogor, Jawa Barat, Selasa (7/7/2020). Kebun Raya Bogor menerapkan pemesanan tiket secara daring serta kapasitas pengunjung dibatasi hanya 50 persen. (Liputan6.com/Herman Zakharia)

Lalu apa itu bioregional?

Mengutip laman perpustakaan.menlhk.go.id, kawasan bioregional adalah kawasan daratan dan perairan yang batas-batasnya tidak ditentukan oleh batas-batas politik, melainkan oleh batas geografis kelompok masyarakat dan sistem ekologis tertentu.

Kawasan ini harus cukup besar atau luas untuk menjaga integritas komunitas hayati, habitan, dan ekosistem untuk dapat mendukung proses-proses ekologis yang vital seperti siklus nutri dan penguraian limbah, migrasi alami dan aliran air dan energi untuk memenuhi kebutuhan habitat species-species kunci dan indikator dan untuk mewadahi masyarakat yang terlibat dalam pengelolaan, pemanfaatan dan pemahaman sumber daya hayati.

Luasan kawasan bioregional ini juga dibatasi oleh masyarakat setempat. Kawasan ini harus memiliki identitas kultural yang unik di mana masyarakat setempat mampu memanfaatkan secara subsisten berdasarkan ulayat.

Hak ulayat tersebut bukan berarti hak yang absolut, melainkan lebih berarti kebutuhan hidup, hak-hak dan kepentingan masyarakat lojal seyogyanya menjadi titik permulaan dan kriteria untuk pembangunan dan konservasi regional, serta dalam kerangka kegiatan di mana kepentingan baik negara, swasta dan peminat lainnya dapat diakomodasi.

Sementara itu, bioregional adalah suatu bentuk pengelolaan sumber daya alam yang ditentukan oleh batasan politik dan administrative tetapi dibatasi oleh batasan geografik, komunitas manusia, serta sistem ekologi.

Dalam suatu cakupan bioregion, terdapat mozaik lahan dengan fungsi konservasi maupun budi daya yang terikat satu sama lain secara ekologis yang menyandarkan diri pada tiga komponen.

Pertama, komponen ekonomi yang mendukung usaha pendayagunaan keanekaragaman hayati secara berkelanjutan dalam matrik kawasan budidaya.

Kedua, komponen ekologi yang terdiri atas kawasan-kawasan ekosistem alam yang saling berhubungan satu sama lain melalui koridor baik habitat alami dan semi alami.

Ketiga, komponen sosial budaya yang dapat memfasilitasi partisipasi masyarakat lokal dalam perencanaan dan pengambilan keputusan mengenai pemanfaatan sumber daya alam serta beri peluang bagi pemenuhan kebutuhan sosial atau budaya secara lintas generasi, demikian dikutip dari buku Pendekatan Bioregional dan Prospeknya di Indonesia karya Sumarja E dari laman UNS.

 

Pengertian Pajak Karbon yang Diperbincangkan dalam Debat Cawapres

Ilustrasi emisi karbon (unsplash)
Ilustrasi emisi karbon (unsplash)

Sebelumnya diberitakan dari Kanal Lifestyle Liputan6.com, perbincangan tentang pajak karbon kembali mengemuka setelah dibahas dalam debat cawapres pada Minggu, 21 Januari 2024. Saat itu Gibran Rakabuming ikut menyinggung pentingnya pemberlakuan kebijakan pajak karbon saat menjawab pertanyaan dari Mahfud Md tentang ekonomi hijau yang diterapkan oleh pemerintah. 

Begitu juga dengan Muhaimin Iskandar atau Cak Imin yang menilai bahwa penerapan pajak karbon bisa menjadi salah satu instrumen untuk menyiapkan transisi penggunaan energi. Pria yang akrab disapa Cak Imin tersebut pun menyebutkan target pajak karbon telah tertunda dari 2022 menjadi 2025.  

Mengutip Tim Surabaya Liputan6.com, di sisi lain Gibran pun menjelaskan mengenai tujuan mencapai net zero emission pada 2060. Hal itu menurutnya hanya dapat terwujud saat ada transisi energi dari energi fosil ke energi berbasis nabati secara berkesinambungan.

"Jika kita bicara masalah karbon, tentunya kita harus menyinggung pajak karbon, carbon storage, dan carbon capture," ujar Gibran saat menjawab.

Untuk itu agenda ke depan, lanjutnya, harus mendorong transisi menuju energi hijau. Indonesia tidak boleh lagi ketergantungan pada energi fosil. Lalu sebenarnya apa pajak karbon itu? 

Mengutip dari laman Pajak, Selasa (23/1/2024), pajak karbon merupakan pungutan atas emisi karbon yang memberikan dampak negatif bagi lingkungan hidup. Secara sederhana pajak karbon adalah denda yang harus dibayar oleh orang atau lembaga maupun perusahaan yang menggunakan bahan bakar fosil seperti batu bara, minyak bumi, dan gas alam. 

Pajak Karbon Bukan Hal Baru

Ilustrasi planet yang terbentuk dari karbon
Ilustrasi planet yang terbentuk dari karbon (NASA/SDO)

Pajak karbon bukanlah hal baru di dunia. Sejak era 1990-an, beberapa negara seperti Prancis, Swedia, Finlandia, Norwegia, dan Denmark sudah menerapkan pajak karbon. 

Berdasarkan data dari World Bank, sampai 2020 ada 64 negara dan wilayah yang sudah mengadopsi pajak karbon atau sistem perdagangan emisi ETS (Emissions Trading System). Pajak karbon dan ETS merupakan dua cara yang berbeda untuk mengatur harga karbon.

Pajak karbon menetapkan harga per ton CO2 yang dilepaskan, sementara ETS menetapkan batas maksimum emisi yang boleh dilakukan oleh sektor-sektor tertentu. Apabila batas tersebut terlampaui, maka pelaku usaha harus membeli hak emisi dari pelaku usaha lain yang emisinya lebih rendah.

Dengan demikian, ada insentif untuk mengurangi emisi serta meningkatkan efisiensi energi. Salah satu negara yang sudah menerapkan pajak karbon adalah Prancis.

Sejak tahun 2014, Prancis mengenakan pajak karbon terhadap industri batu bara, bahan bakar minyak (BBM), dan gas alam. Pajak atas gas ditetapkan sebesar 1,41 euro/MWh mulai 1 April 2014, lalu naik dua kali lipat menjadi 2,93 euro/MWh pada 2015, dan 4,45 euro/MWh pada 2016.

Dampak Penerapan Pajak Karbon

Sebagai contoh, negara yang sudah menerapkan adalah Prancis. Pajak karbon di negara itu dikenakan pada sektor industri, transportasi, dan rumah tangga yang menggunakan bahan bakar fosil.

Penerimaan dari pajak karbon di Prancis digunakan untuk mendanai proyek-proyek yang berkaitan transisi energi, seperti pengembangan energi terbarukan, efisiensi energi, serta mobilitas hijau. OECD mencatat, pajak karbon di Prancis berhasil mengurangi emisi CO2 sebesar 9 persen antara tahun 2014 dan 2018.

Di samping itu, pajak karbon juga memberikan dampak positif bagi perekonomian Prancis, seperti meningkatkan pertumbuhan PDB, lapangan kerja, dan kesejahteraan masyarakat. Lalu bagaimana dengan Indonesia?

Pajak karbon di Indonesia pertama kali diperkenalkan pemerintah melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 mengenai Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), yang bertujuan untuk mendorong pengurangan emisi gas rumah kaca dan mendukung pencapaian target nasional dalam Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (RAN-GRK).

Selanjutnya, pajak karbon juga diatur dalam Peraturan Pemerintah No 50/2022. Berdasarkan aturan tersebut, pajak karbon di Indonesia dikenakan pada penggunaan bahan bakar fosil, seperti batu bara, minyak bumi, dan gas alam, yang menghasilkan CO2 saat dibakar. 

 

 

Infografis Bank Dunia Proyeksi Pertumbuhan Ekonomi Global Bakal Terjun Bebas. (Liputan6.com/Abdillah)
Infografis Bank Dunia Proyeksi Pertumbuhan Ekonomi Global Bakal Terjun Bebas. (Liputan6.com/Abdillah)
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya