Liputan6.com, Jakarta - Bank Dunia memperingatkan bahwa tingginya biaya pinjaman telah mengubah secara dramatis kebutuhan negara-negara berkembang untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi mereka.
"Dalam hal pinjaman, situasinya telah berubah secara dramatis. (Ekonomi) negara perlu tumbuh lebih cepat," kata Ayhan Kose, wakil kepala ekonom Bank Dunia dalam sebuah wawancara di London, dikutip dari US News, Kamis (22/2/2024).
Baca Juga
Â
Advertisement
"Jika saya memiliki hipotek dengan tingkat bunga 10 persen, saya akan khawatir," lanjutnya.
Â
Kose menambahkan bahwa pertumbuhan yang lebih cepat, terutama tingkat pertumbuhan riil yang lebih tinggi dari biaya pinjaman riil, mungkin sulit dilakukan.
Peringatan terbaru dari Bank Dunia muncul ketika penjualan obligasi internasional dari negara-negara berkembang mencapai rekor sepanjang masa sebesar USD 47 miliar atau Rp 733,9 triliun pada Januari 2024, yang dipimpin oleh negara-negara berkembang yang kurang berisiko seperti Arab Saudi, Meksiko dan Rumania, menurut data yang diterbitkan oleh Institute of International Finance.
Namun, beberapa emiten berisiko mulai memanfaatkan pasar dengan suku bunga yang lebih tinggi.
Kenya baru-baru ini membayar lebih dari 10 persen obligasi internasional baru, ambang batas yang sering dianggap para ahli sebagai pinjaman tidak terjangkau.
Rekor Utang Global
Data yang diulas Institute of International Finance menunjukkan, tingkat utang global telah menyentuh rekor baru sebesar USD 313 triliun pada tahun 2023, sementara rasio utang terhadap PDB, atau angka yang menunjukkan kemampuan suatu negara untuk membayar kembali utang di negara-negara berkembang juga meningkat.
Sebelumnya, dalam laporan Prospek Ekonomi Global yang diterbitkan pada Januari 2024, Bank Dunia telah mengungatkan bahwa perekonomian global diperkirakan akan mengalami kinerja terlemah dalam 30 tahun pada tahun 2020-2024, bahkan jika resesi dapat dihindari.
Pertumbuhan global diperkirakan akan melambat selama tiga tahun berturut-turut menjadi 2,4 persen, sebelum meningkat menjadi 2,7 persen pada tahun 2025.
Angka tersebut masih jauh di bawah rata-rata 3,1 persen pada tahun 2010an, menurut laporan tersebut.
Dengan adanya perlambatan pertumbuhan, Kose mengatakan hal ini menimbulkan banyak pertanyaan mengenai tujuan belanja pendidikan, kesehatan dan iklim.
"Saya pikir akan sulit untuk mencapai tujuan tersebut, atau bahkan tidak mungkin, mengingat jenis pertumbuhan yang kita lihat," ungkapnya.
Kekhawatiran Gangguan pada Perdagangan Global
Ditambah lagi, meningkatnya konflik di Timur Tengah menjadi risiko penurunan lebih lanjut, serta kekhawatiran terhadap kebijakan moneter yang ketat dan lemahnya perdagangan global.
"Perdagangan telah menjadi pendorong penting dalam pengentasan kemiskinan, dan tentu saja bagi negara-negara berkembang, perdagangan merupakan sumber pendapatan yang penting," imbuhnya.
Restrukturisasi Utang Diperlukan?
Jika pertumbuhan tetap rendah, menurut Kose, beberapa negara berkembang mungkin harus merestrukturisasi utang.
Hal itu dengan melakukan reprofiling jatuh tempo atau menyetujui pemotongan utang dengan kreditur.
"Cepat atau lambat Anda perlu merestrukturisasi utang dan Anda perlu memiliki kerangka kerja. Hal ini tidak terjadi seperti yang diharapkan oleh komunitas global," kata Kose.
Advertisement
Program Pemulihan Lonjakan Utang G20 Terhambat Penundaan
Pada tahun 2020, negara-negara G20 meluncurkan Kerangka Kerja Bersama, ketika pandemi berdampak buruk pada keuangan.
Program ini bertujuan untuk mempercepat dan menyederhanakan proses pemulihan negara-negara yang terlilit utang.
Namun proses tersebut terhambat oleh penundaan karena Zambia terjebak dalam kondisi gagal bayar (default) selama lebih dari tiga tahun.
"Jika pertumbuhan masih lemah dan kondisi pendanaan tetap ketat, Anda tidak akan melihat jalan keluar yang mudah dari masalah ini," kata Kose.
"Tetapi jika pertumbuhan secara ajaib meningkat, itu seperti obat," tambahnya.