Liputan6.com, Jakarta Kementerian Perindustrian (Kemenperin) mencatat terdapat tujuh perusahaan ubin keramik yang gulung tikar alias bangkrut. Hal itu dampak dari meningkatnya harga gas dan derasnya impor dari China.
Hal itu disampaikan Ketua Tim Kerja Pembina Industri Keramik dan Kaca Kementerian Perindustrian Ashady Hanafie dalam Diskusi INDEF terkait Menguji Rencana Kebijakan BMAD Terhadap Keramik, di Jakarta, Selasa (16/7/2024).
Baca Juga
"Jadi, mulai parahnya itu kenapa industri keramik kita turun drop karena ada kenaikan harga gas, jadi sebelum 2015 kita jaya daya saing kita tinggi bahkan utilisasi 90 persen, setelah itu naik mulai turun drop daya saing kita rendah kalah bersaing harga dan diperparah dengan impor masuk yang murah," ujar Ashady.
Advertisement
Dikutip dari paparannya, Ashady menilai lonjakan impor ubin keramik yang membanjiri pasar dalam negeri terutama dari Tiongkok berimbas kepada tujuh perusahaan industri ubin keramik yang menghentikan produksinya.
Oleh karena itu, akhirnya pada tahun 2016 Kementerian Perindustrian mulai mendorong penerapan hambatan perdagangan internasional melalui trade remedies, seperti pemberlakuan Bea Masuk Tindakan Pengamanan (BMTP), serta Bea Masuk Anti-Dumping (BMAD) untuk menjaga industri keramik dalam negeri.
Berikut daftar tujuh perusahaan ubin keramik yang telah berhenti produksi:
- PT Indopenta Sakti Teguh
- PT Indoagung Multiceramics Industry
- PT Keramik Indonesia Assosiasi - Cileungsi
- PT KIA Serpih Mas - Cileungsi
- PT Ika Maestro Industri
- PT Industri Keramik Kemenangan Jaya
- PT Maha Keramindo Perkasa
Sederet Dampak Impor Keramik ke Indonesia, Angka Pengangguran Bisa Meledak
Komite Anti Dumping Indonesia (KADI) sudah merekomendasikan BMAD atas impor ubin keramik yang berasal dari RRT dengan pengenaan tarif maksimal 199,98 persen, untuk menjaga industri keramik dalam negeri.
Lantas sejauh mana rencana pengenaan kebijakan BMAD ini efektif dalam mendorong industri dalam negeri?
Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) menilai rekomendasi penerapan BMAD tersebut akan memberikan beberapa dampak negatif.
Kepala Center of Industry, Trade, and Investment, INDEF Andry Satrio Nugroho, mengatakan implikasi jika BMAD dari hasil investigasi KADI diterapkan maka yang pertama akan terjadi trade diversion, impor akan beralih ke negara lain selain China.
"Trade diversion, kami melihat juga bahwa cukup besar angka diversion ke India dan Vietnam, karena ini dua ekpsortir terbesar untuk HS 690721," kata Andry dalam Diskusi INDEF terkait Menguji Rencana Kebijakan BMAD Terhadap Keramik, di Jakarta, Selasa (16/7/2024).
Dampak kedua, pasar persaingan semakin kecil, opsi konsumen semakin sedikit, sehingga harga keramik semakin mahal. Menurutnya, produsen dalam negeri akan ikut serta meningkatkan margin keuntungan dengan cara menaikkan harga jual, karena harga impor keramik meningkat tajam.
Â
Advertisement
Harga Keramik
Selain itu, praktis semakin rendah kuantitas atau volume keramik di pasar, disaat permintaan keramik domestik meningkat, maka harga yang diterima konsumen akan semakin mahal.
"Kami melihat produsen dalam negeri akan ikut serta menaikkan margin dengan cara menaikkan harga jual, karena harga impor keramik meningkat tajam," ujarnya.
Ketiga, dampak negatifnya yakni banyak sektor yang akan terdampak diantaranya sektor retail, real estate atau property, importir, forwarder, logitik yang akan melakukan efisiensi tenaga kerja, sehingga berpotensi meningkatkan penganngguran.
Dampak keempat, dikhawatirkan terjadinya retaliasi yang akan dilakukan oleh pihak China. Sebagai informasi, retaliasi adalah tindakan balasan oleh suatu negara terhadap negara yang menyebabkan kerugian terhadapnya.
"Kemungkinan yang akan terjadi adalah retaliasi balasan terhadap produk-produk asal Indonesia yang akan dilakukan pihak China," pungkasnya.
Kemenperin Ungkap Biang Kerok Bikin Industri Keramik Indonesia Menderita
Sebelumnya, Ketua Tim Kerja Pembina Industri Keramik dan Kaca Kementerian Perindustrian Syahdi Hanafi, mengungkapkan permasalahan mengenai kinerja industri keramik di tanah air sudah berlangsung lama.
Permasalahan itu bermula ketika harga gas mulai naik pada tahun 2015. Kenaikan harga gas tersebut membuat kinerja industri keramik menurun, bahkan daya saingnya pun rendah.
"Jadi, mulai parahnya itu kenapa industri keramik kita turun drop karena ada kenaikan harga gas. Sebelum 2015 kita jaya, daya saing kita tinggi bahkan utilisasi 90 persen, setelah itu naik mulai turun drop daya saing kita rendah kalah bersaing harga," kata Syahdi dalam Diskusi INDEF terkait Menguji Rencana Kebijakan BMAD Terhadap Keramik, di Jakarta, Selasa (16/7/2024).
Apalagi ditambah dengan masuknya impor keramik yang membuat produk keramik dalam negeri semakin kalah, karena keramik impor harganya lebih murah.
"Diperparah dengan impor masuk yang murah, di Indonesia konsumennya masih concern terhadap harga," ujarnya.
Melihat hal tersebut, akhirnya pada tahun 2016 Kementerian Perindustrian mulai mendorong penerapan hambatan perdagangan internasional melalui trade remedies, seperti pemberlakuan Bea Masuk Tindakan Pengamanan (BMTP), serta Bea Masuk Anti-Dumping (BMAD) untuk menjaga industri keramik dalam negeri.
"Dengan BMAD, terkait dengan ubin keramik ini sebenarnya sudha cukup lama memiliki permasalahan yang berat dan jadi trade remedies yang dikenakan itu mulai tahun 2016 kita mulai mengajukannya karena sudah suffer (menderita)," pungkasnya.
Advertisement