Inflasi Sudah Melandai, Kenapa BI Tak Pangkas Bunga Acuan?

Meskipun inflasi Indonesia saat ini berada pada level yang rendah, keputusan untuk mempertahankan BI Rate pada level 6,25 persen sejak April lalu diambil dengan pertimbangan stabilitas ekonomi global.

oleh Tim Bisnis diperbarui 02 Agu 2024, 19:20 WIB
Diterbitkan 02 Agu 2024, 19:20 WIB
Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo dalam konferensi Pers KSSK, Senin (8/5/2023). Perry mengatakan, suku bunga acuan BI 7-Day Reverse Repo Rate (BI7DRR) sebesar 5,75 persen dianggap sudah memadai. (Tira/Liputan6.com)
Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo dalam konferensi Pers KSSK, Senin (8/5/2023). Perry mengatakan, suku bunga acuan BI 7-Day Reverse Repo Rate (BI7DRR) sebesar 5,75 persen dianggap sudah memadai. (Tira/Liputan6.com)

Liputan6.com, Jakarta - Bank Indonesia (BI) telah menahan suku bunga selama kurang lebih empat bulan berturut-turut. Sejak tengah april hingga awal Agustus ini BI Rate masih bertahan di level 6,25%.  

Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo mengungkapkan alasan di balik keputusan menahan BI Rate meskipun inflasi Indonesia menunjukkan tren penurunan. Biasanya, jika inflasi turun maka BI biasanya mengambil kebijakan moneter longgar.

Perry menjelaskan meskipun inflasi Indonesia saat ini berada pada level yang rendah, keputusan untuk mempertahankan BI Rate pada level 6,25 persen sejak April lalu diambil dengan pertimbangan stabilitas ekonomi global.

"Untuk BI rate kenapa kemarin setelah April kami naikkan menjadi 6,25%, dalam dua bulan kemarin kami tahan. Karena mestinya BI rate itu sudah turun," kata Perry dalam konferensi pers, Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK), Jakarta, Jumat (2/8/2024).

"Mestinya. Karena BI rate itu adalah ditentukan bagaimana proyeksi inflasi ke depan. Dan inflasi tahun ini itu rendah," sambung dia.

Menurut Perry, salah satu tantangan utama adalah kenaikan terus-menerus dalam surat utang luar negeri, khususnya US Treasury Note yang memberikan tingkat imbal hasil lebih tinggi dibandingkan dengan surat berharga negara (SBN) Indonesia.

Hal ini mengharuskan BI untuk mempertahankan suku bunga SRBI pada tingkat yang lebih tinggi sebagai langkah untuk mencegah arus keluar modal dan menjaga nilai tukar tetap stabil.

Reporter: Ayu

Sumber: Merdeka.com

 

Tekanan Nilai Tukar

BI Kembali Pertahankan Suku Bunga Acuan di 5 Persen
Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo bersiap menyampaikan hasil Rapat Dewan Gubernur (RGD) Bank Indonesia di Jakarta, Kamis (19/12/2019). RDG tersebut, BI memutuskan untuk tetap mempertahankan suku bunga acuan 7 Days Reverse Repo Rate (7DRRR) sebesar 5 persen. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Perry juga menambahkan meskipun suku bunga SRBI saat ini lebih tinggi dari suku bunga SBN, keputusan ini diambil untuk menghindari tekanan pada nilai tukar dan mencegah potensi capital outflow yang bisa mengganggu stabilitas ekonomi domestik.

"Sehingga kenapa suku bunga SRBI-nya tadi lebih tinggi dari SBN. Karena memang US Treasury Note 2 tahun lebih tinggi dari yang bond. Dan juga untuk menghindari tadi tekanan nilai tukar sehingga kami menjual lebih banyak SRBI dan suku bunga SRBI-nya lebih tinggi," papar dia.

Menurutnya, langkah ini diambil untuk memastikan bahwa perekonomian Indonesia tetap terlindungi dari fluktuasi global yang dapat memengaruhi pasar keuangan.

Pengumuman BI Rate Juli

Bank Indonesia Pertahankan Suku Bunga Acuan di Level 6,25%
Bank Indonesia melalui Rapat Dewan Gubernur (RDG) pada 19-20 Juni 2024 memutuskan untuk mempertahankan suku bunga acuan atau BI Rate di level 6,25%. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia pada 16-17 Juli 2024 memutuskan untuk mempertahankan BI-Rate sebesar 6,25%, suku bunga Deposit Facility sebesar 5,50%, dan suku bunga Lending Facility sebesar 7,00%.

Keputusan ini konsisten dengan kebijakan moneter yang pro-stability sebagai langkah pre-emptive dan forward looking untuk memastikan tetap terkendalinya inflasi dalam sasaran 2,5±1% pada 2024 dan 2025.

Fokus kebijakan moneter dalam jangka pendek diarahkan untuk memperkuat efektivitas stabilisasi nilai tukar Rupiah dan menarik aliran masuk modal asing.

Sementara itu, kebijakan makroprudensial dan sistem pembayaran tetap pro-growth untuk mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.

Kebijakan makroprudensial longgar terus ditempuh untuk mendorong kredit/pembiayaan perbankan kepada dunia usaha dan rumah tangga.

Kebijakan sistem pembayaran diarahkan untuk memperkuat keandalan infrastruktur dan struktur industri sistem pembayaran, serta memperluas akseptasi digitalisasi sistem pembayaran.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya