Liputan6.com, Jakarta - Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani menuturkan, masih diskusi dengan presiden terpilih Prabowo Subianto terkait kebijakan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen.
Selain PPN, Sri Mulyani juga berkoordinasi mengenai kebijakan cukai minuman berpemanis dalam kemasan (MBDK). "Kami terus berkomunikasi dan berkonsultasi dengan presiden terpilih,” ujar Sri Mulyani, Selasa, 27 Agustus 2024, seperti dikutip dari Antara, Rabu (28/8/2024).
Baca Juga
Ia menuturkan, ada beberapa hal dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang masih dikoordinasikan dengan tim presiden terpilih, baik dari sisi penerimaan dan belanja negara. Salah satunya termasuk kebijakan cukai minuman berpemanis dalam kemasan (MBDK).
Advertisement
Akan tetapi, kepastian dari berbagai program itu akan diumumkan oleh Prabowo Subianto usai pelantikan presiden.
“Untuk kebijakan yang memiliki dampak sosial, politik, dan ekonomi yang cukup luas, nanti presiden terpilih yang akan menetapkan dan menyampaikan. Kami terus berkoordinasi dengan intensif,” tutur Sri Mulyani.
Sebelumnya, saat Konferensi Pers RAPBN 2025 di Jakarta beberapa waktu lalu, Sri Mulyani mengatakan, Presiden terpilih Prabowo Subianto sudah menyadari kebijakan yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) tersebut.
"Sudah disampaikan di dalam kabinet, presiden terpilih maupun presiden sekarang sangat menyadari mengenai UU HPP itu,” ujar Sri Mulyani.
Dalam UU HPP disebutkan berdasarkan Pasal 7 ayat 1 UU HPP, tarif PPN yang sebelumnya sebesar 10 persen diubah menjadi 11 persen yang sudah berlaku pada 1 April 2022, dan kembali dinaikkan PPN 12% paling lambat pada 1 Januari 2025.
UU HPP
Meski demikian, UU HPP juga memberikan ruang untuk mengubah PPN menjadi paling rendah 5 persen dan maksimal 15 persen. Pemerintah menargetkan meningkatkan pendapatan negara sebesar 6,4 persen pada tahun depan, yakni menjadi Rp2.996,9 triliun. Dari jumlah itu, Rp2.490,9 triliun di antaranya berasal dari penerimaan pajak.
"Nanti akan kita lihat potensi ekonomi, rasio pajak, ekstensifikasi dan lain-lain,” ujar dia.
Sri Mulyani juga menyoroti Pemerintah telah memberikan kebijakan pembebasan PPN pada sejumlah kelompok, seperti kebutuhan pokok, pendidikan, kesehatan dan transportasi. Bendahara Negara itu menyebut insentif ini dinikmati pada kelompok kelas menengah hingga atas.
"UU HPP sangat menjelaskan bahwa barang kebutuhan pokok, pendidikan, kesehatan, dan transportasi itu tidak kena PPN,” tambah Sri Mulyani.
Advertisement
Ancaman PHK Massal Gara-Gara Cukai Minuman Berpemanis, Pengusaha Tuntut Ini
Sebelumnya, Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta Widjaja Kamdani meminta agar pemerintah bisa lebih melibatkan kelompok pengusaha dalam penyusunan aturan lanjutan soal cukai minuman berpemanis.
Shinta mengatakan, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) sebetulnya sudah melakukan audiensi dengan pihak pengusaha terkait Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024, yang juga menaungi soal aturan cukai minuman berpemanis.
"Saat ini kami harapkan untuk aturan turunannya itu kami lebih dilibatkan. Jadi konsultasi ini bisa berjalan, dan kami juga sudah melibatkan semua asosiasi," pinta Shinta dalam sesi temu media di Kantor Apindo, Jakarta, Jumat (23/8/2024).
Menurut dia, pengusaha memang menaruh perhatian lebih terhadap pungutan cukai untuk minuman berpemanis. Pasalnya, itu akan memunculkan efek pengganda alias multiplier effect pada ruang gerak pelaku usaha makanan dan minuman. Khususnya dalam menjalankan usaha dan menjangkau konsumen sebagai target market dari produknya.
Selain itu, kebijakan tersebut pun bakal menimbulkan efek domino terhadap kegiatan ekonomi. Mulai dari penurunan daya beli masyarakat hingga ancaman pemutusan hubungan kerja (PHK) massal.
"Kalau cukai naik, harganya juga akan naik, daya beli masyarakat bisa turun. Dan ketika permintaan turun bisa berdampak kepada produksi. Jika berkepanjangan akan berdampak pula kepada permintaan produksi dan pengurangan tenaga kerja," paparnya.
Sebab, ia menyebut sektor makanan dan minuman memberikan kontribusi terhadap PDB industri non migas sebesar 39 persen, dan menyumbang 6,55 persen terhadap PDB nasional.
Tak hanya faktor ekonomi, Shinta pun merasa tak yakin batas maksimal kandungan gula, garam dan lemak (GGL) dalam produk pangan olahan seperti tercantum dalam PP 28/2024 bisa langsung menurunkan angka penyakit.
"Jadi menentukan batas maksimal GGL di produksi pangan olahan saja tidak serta merta menurunkan angka penyakit yang disebabkan gula yang tinggi," tegas Shinta.
Minuman Berpemanis Kena Cukai pada 2025 Bikin Pengusaha Khawatir
Sebelumnya, Direktur Jenderal Industri Agro Kementerian Perindustrian (Kemenperin) Putu Juli Ardika mengungkapkan, sektor industri menyimpan kekhawatiran terkait rencana pengenaan cukai minuman berpemanis dalam kemasan (MBDK) pada tahun depan.
"Keluhan enggak ada, tapi ada kekhawatiran. Biasa, perubahan-perubahan itu pasti ada kekhawatiran. Tapi kita harus tetap kawan, bagaimana orang berusaha tetap nyaman, memberikan kepastian," ujar Putu saat ditemui di Kantor Kemenperin, Jakarta, Selasa (20/8/2024).
Menurut laporan yang didapatnya, Putu menyampaikan, para pengusaha cemas jika pengenaan cukai minuman berpemanis bakal mengubah komposisi dari produk yang ada. Sehingga berpotensi menimbulkan kenaikan harga bagi konsumen.
"Memang pengaturan ini dikhawatirkan, pada saat diberlakukan masih perlu penyesuaian karena terkait dengan ingredients, susunan komposisi produknya. Biasa lah, secara fundamental ada perubahan ada kekhawatiran. Tapi mudah-mudahan ini jalannya bisa dilaksanakan dengan lancar dan smooth," urainya.
Kendati begitu, Putu belum bisa memperkirakan berapa besar kenaikan harga produk akibat pengenaan cukai tersebut.
"Saya belum berani mengatakan, karena nanti dikoordinasikan oleh Menko PMK, dan nanti semua kementerian/lembaga dan pemangku kepentingan semua," imbuh dia.
Advertisement