Potensi Carbon Capture and Storage Indonesia Capai 600 Gigaton, Ini Daftar Lengkap 20 Lokasinya

Menko Luhut menegaskan, Carbon Capture and Storage (CCS) dibutuhkan untuk mengurangi tingkat emisi yang dihasilkan. Menurutnya, net zero emission (NZE) di 2060 tidak akan tercapai tanpa CCS.

oleh Arief Rahman H diperbarui 07 Sep 2024, 10:20 WIB
Diterbitkan 07 Sep 2024, 10:20 WIB
Rapat koordinasi terkait Persiapan Penyelenggaraan World Water Forum (WWF) ke-10 bersama Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan selaku Ketua Panitia Nasional. (Dok kemenko Marves)
Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan mengungkapkan Indonesia memiliki pontesi hampir 600 gigaton carbon capture and storage. (Dok kemenko Marves)

Liputan6.com, Jakarta - Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan mengungkap kunci mencapai nol emisi karbon atau net zero emission (NZE) di 2060. Salah satunya adalah penangkapan dan penyimpanan karbon atau carbon capture and storage (CCS).

Dia mengungkapkan Indonesia memiliki pontesi hampir 600 gigaton carbon capture and storage. Dengan begitu, Indonesia bisa memainkan peran utama dalam mendukung pengurangah emisi karbon global.

"Untuk mengurangi emisi karbon. Namun, kita juga beruntung, hadirin sekalian, karena kita juga memiliki 600 gigaton penangkapan dan penyimpanan karbon, yang menurut saya merupakan salah satu yang sangat penting di masa depan," kata Menko Luhut dalam Indonesia International Sustainability Forum (ISF) 2024, di JCC Senayan, Jakarta, dikutip Sabtu (6/9/2024).

Dia mengatakan, CCS menjadi bagian penting dalam mengejar ambisi tersebut. Apalagi ada target nol emisi karbon dunia di 2060 atau lebih cepat.

Luhut menegaskan, CCS dibutuhkan untuk mengurangi tingkat emisi yang dihasilkan. Menurutnya, NZE tidak akan tercapai tanpa CCS.

"Karena Anda tidak dapat mencapai emisi nol pada tahun 2060 atau 2050 tanpa menyuntikkan CO2 ke carbon capture storage," tegasnya.

Secara teknis, emisi CO2 yang dihasilkan perlu diinjeksikan ke CCS di Indonesia. Dari situ, Indonesia juga bisa mendapatkan untung dari pungutan atas injeksi karbon tadi.

"Seperti yang saya sebutkan sebelumnya, kita beruntung memiliki yang satu ini. Setiap petrokimia, mereka memiliki CO2. Mereka juga harus mengirim ke Indonesia dan menyuntikkannya ke penyimpanan penangkapan karbon di Indonesia. Kemudian mereka harus membayar Indonesia untuk ini," tuturnya.

"Jadi teknologi ini saat ini sedang dieksplorasi oleh pemerintah Indonesia, dan Exxon, dan Chevron," sambung Menko Luhut.

 

Potensi CCS Indonesia

Hadapi Global Warming, Mesin Penghisap Emisi Karbon Kini Dibangun
Indonesia memiliki pontesi hampir 600 gigaton carbon capture and storage. (Pixabay)

Sebelumnya, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) telah memetakan potensi CCS di Indonesia. Atas hitungannya, didapat potensi sebesar 570 gigaton.

Adapun, poteiini tersebar di sekitar 20 lokasi di seluruh Indonesia. Potensi penyimpanan karbon itu dibagi dari dua sumber, yakni dari reservoir minyak dan gas bumi (migas) yang habis dan akuiver garam.

Berikut rincian lokasinya:

  1. North East Java: 100.83 Giga Ton
  2. Tarakan: 91,92 Giga Ton
  3. North Sumatera: 53,34 Giga Ton
  4. Makassar Strait: 50,70 Giga Ton
  5. Central Sumatera: 43,54 Giga Ton
  6. Kutai: 43,00 Giga Ton
  7. Banggai: 40,31 Giga Ton
  8. South Sumatera: 39,69 Giga Ton
  9. Kendeng: 30,64 Giga Ton
  10. West Natuna: 13,15 Giga Ton
  11. Barito: 12,05 Giga Ton
  12. Seram: 11,58 Giga Ton
  13. Pasir: 10,36 Giga Ton
  14. Salawati: 8,75 Giga Ton
  15. West Java: 7,22 Giga Ton
  16. Sunda Asri: 6,52 Giga Ton
  17. Sengkang: 4,31 Giga Ton
  18. Bintuni: 2,13 Giga Ton
  19. North Serayu: 1,55 Giga Ton
  20. Bawean: 1,16 Giga Ton.

Pengusaha Tangkap Peluang Perdagangan Karbon-Insentif

Chief Sustainability Officer Asian Pulp and Paper (APP) Sinar Mas, Elim Sritaba, mengungkapkan faktor-faktor yang mendorong upaya mencapai nol emisi karbon atau net zero emission (NZE).
Chief Sustainability Officer Asian Pulp and Paper (APP) Sinar Mas, Elim Sritaba, mengungkapkan faktor-faktor yang mendorong upaya mencapai nol emisi karbon atau net zero emission (NZE).

Sebelumnya, Chief Sustainability Officer Asian Pulp and Paper (APP) Sinar Mas, Elim Sritaba, mengungkapkan faktor-faktor yang mendorong upaya mencapai nol emisi karbon atau net zero emission (NZE). Perdagangan karbon hingga insentif bagi pengguna energi baru terbarukan (EBT) dinilai menjadi kunci untuk mencapai ambisi tersebut.

Dia menjelaskan bahwa mengejar Net Zero Emission bukan berarti seluruh pekerjaan atau operasional tanpa emisi, tetapi ada peluang penyimpanan karbon di hutan.

Elim berharap perdagangan karbon dapat segera direalisasikan agar ekosistem tersebut dapat terbentuk dan berjalan dengan baik.

"Kita dapat melihat peluang tentang (penyimpanan) karbon di hutan, tetapi saat ini, tentu saja, jika Anda bertanya tentang kebijakan tersebut, saya pikir pemerintah dapat membuka kunci pasar karbon ini, benar, untuk menciptakan peluang dan bagaimana ekosistem ini dapat berjalan bersama," jelas Elim dalam Diskusi Tematik Indonesia International Sustainability Forum (ISF) 2024 di JCC Senayan, Jakarta, Jumat (6/9/2024).

"Untuk menjalankan proyek, kita tahu bahwa penyimpanan karbon ada di hutan, tetapi juga perlu investasi, bukan hanya uang, benar, untuk menjalankan proyek, dan kemudian pasar karbon dapat mendukungnya," lanjutnya.

Pakai Panel Surya

ISF 2024
Transportasi darat menjadi kontributor utama emisi karbon global menjadi salah satu isu yang dibahas pada rangkaian Indonesia International Sustainability Forum (ISF) 2024.

Dalam mengejar pengurangan emisi karbon, operasional APP Sinar Mas juga dilakukan dengan mengadopsi panel surya. Penerapan ini dilakukan di beberapa lingkup operasional perusahaan.

"Hal lain, menurut saya, dalam hal energi terbarukan, panel surya, kami sudah menerapkannya dalam scope 2 kami, tetapi untuk scope 1, agak sulit," kata dia.

Terkait penerapan EBT di operasional perusahaan, Elim juga berharap pemerintah memberikan insentif. Ini dinilai sebagai bentuk kerja sama untuk mengejar nol emisi karbon di masa depan.

"Tetapi berbicara tentang panel surya juga terkait dengan insentif bagi mereka yang menggunakan panel surya. Jadi, saya pikir kebijakan semacam ini harus bersama-sama, mencari solusi dengan pemerintah, dan bagaimana mereka dapat mendukung agar ekosistem bisa berjalan bersama, sambil menunggu teknologi baru yang dapat mengatasi tantangan ini," urainya.

Manfaat Biofuel

Sebelumnya, penggunaan minyak sawit sebagai campuran bahan bakar minyak (BBM) terus digenjot di Indonesia. Upaya ini terbukti mampu menekan emisi karbon dan menghemat devisa negara.

Executive Director Sinar Mas Agribusiness and Food, Jesslyne Widjaja, menyatakan bahwa permintaan biofuel terus meningkat setiap tahunnya. Meskipun implementasinya masih sangat kecil dibandingkan dengan total konsumsi BBM di sektor transportasi.

"Menurut saya, permintaan biofuel global sudah cukup signifikan saat ini, sekitar 150 juta ton atau lebih, dan masih tumbuh 2-3% per tahun. Namun, ini hanya mencakup sekitar 3-4% dari total konsumsi bahan bakar di sektor transportasi saat ini," kata Jesslyne dalam diskusi di Indonesia International Sustainability Forum 2024, di JCC Senayan, Jakarta, Jumat (6/9/2024).

Kurangi Emisi Karbon

Dia menjelaskan bahwa rata-rata biofuel dapat mengurangi emisi karbon sebesar 50-90 persen, tergantung dari campuran yang digunakan dalam pembuatan BBM ramah lingkungan tersebut.

Jesslyne menyadari adanya tantangan dalam memproduksi biofuel, seperti biaya produksi, ketersediaan pasokan bahan baku, kesiapan infrastruktur, serta dukungan kebijakan yang konsisten dari pemerintah. Meski begitu, Jesslyne menilai Indonesia telah cukup berhasil dengan implementasi bio solar 35 persen atau B35.

"Menurut saya, Indonesia telah menunjukkan apa yang mungkin dicapai dengan mandat pencampuran biodiesel 35 persen yang sangat berhasil, atau program B35, yang 100 persen berbasis sawit, menghasilkan 12 juta ton biodiesel dan mengurangi 30 juta ton emisi gas rumah kaca," tuturnya.

"Saya kira itu setara dengan sekitar 20 persen dari emisi transportasi Indonesia tahun lalu. Jadi, ini sangat berhasil, bukan? Ini juga menghemat devisa sebesar Rp 161 triliun dengan mengurangi impor bahan bakar fosil ke Indonesia," tambah Jesslyne.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya