Rp 1,31 Triliun Modal Asing Cabut dari Indonesia, Ada Apa?

Bank Indonesia (BI) mencatat modal asing mengalir keluar pada pekan kedua September 2024. Dihitung sejak awal 2024, tercatat masih banyak modal asing yang masuk ke Indonesia.

oleh Gagas Yoga Pratomo diperbarui 15 Sep 2024, 18:00 WIB
Diterbitkan 15 Sep 2024, 18:00 WIB
Ilustrasi dolar AS
Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) terus menguat, Jakarta, Kamis (23/10/2014) (Liputan6.com/Johan Tallo)

 

Liputan6.com, Jakarta Bank Indonesia (BI) mencatat modal asing mengalir keluar pada pekan kedua September 2024. Dihitung sejak awal 2024, tercatat masih banyak modal asing yang masuk ke Indonesia.

Asisten Gubernur Bank Indonesia Erwin Haryono menjelaskan, berdasarkan data transaksi 9-12 September 2024, nonresiden di pasar keuangan domestik tercatat jual neto Rp 1,31 triliun.

“Nonresiden tercatat jual neto Rp 1,31 triliun (jual neto Rp 0,18 triliun di pasar SBN, beli neto sebesar Rp 2,46 triliun di pasar saham dan jual neto Rp 3,59 triliun di pasar Sekuritas Rupiah Bank Indonesia,” kata Erwin dikutip dari situs resmi Bank Indonesia, Minggu (15/9/2024).

Erwin menambahkan, berdasarkan data setelmen sampai dengan 12 September 2024 pada semester-II 2024, nonresiden tercatat melanjutkan inflows sebesar Rp 44,33 triliun di pasar SBN, beli neto sebesar Rp 31,13 triliun di pasar saham, dan beli neto sebesar Rp 53,68 triliun di pasar Sekuritas Rupiah Bank Indonesia. 

“Bank Indonesia terus memperkuat koordinasi dengan Pemerintah dan otoritas terkait serta mengoptimalkan strategi bauran kebijakan untuk mendukung ketahanan eksternal ekonomi Indonesia,” jelas Erwin.

Adapun Premi CDS Indonesia 5 tahun per 12 September 2024 sebesar 69,63 bps, turun dibandingkan 6 September 2024 sebesar 70,45 bps.

Sedangkan Rupiah ditutup pada level (bid) Rp15.425 per dolar AS dan Yield SBN (Surat Berharga Negara) 10 tahun turun ke 6,58 persen.

Kenaikan Indeks Keyakinan Konsumen Tak Berarti Jika Daya Beli Melemah

Inflasi
Pedagang menata telur di pasar, Jakarta, Jumat (6/10). Dari data BPS inflasi pada September 2017 sebesar 0,13 persen. Angka tersebut mengalami kenaikan signifikan karena sebelumnya di Agustus 2017 deflasi 0,07 persen. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Sebelumnya, sejumlah harga pangan mengalami kenaikan sejak awal tahun ini. Contohnya telur, minyak goreng, hingga Beras. Kenaikan harga komoditas pangan ini dapat melemahkan daya beli masyarakat. Hal ini juga memperkecil keterjangkauan mereka pada pangan, terutama mereka yang tergolong berpenghasilan rendah.

Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Hasran menjelaskan, Laporan Bank Indonesia memang menyebutkan bahwa terjadi peningkatan keyakinan konsumen terhadap kondisi ekonomi. Hal ini tecermin dari Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) Agustus 2024 sebesar 124,4, lebih tinggi dibandingkan 123,4 pada bulan sebelumnya. Namun kenaikan indeks ini bukan segalanya.

“Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) mengalami peningkatan. Namun belum tentu merepresentasikan daya beli masyarakat terhadap komoditas pangan” terang Hasran dalam keterangan tertulis, Jumat (13/9/2024).

Sekalipun indeks keyakinan konsumen ini mengalami peningkatan, namun tidak begitu dengan daya beli terhadap komoditas pangan. Dalam beberapa tahun terakhir, harga pangan, baik dalam negeri maupun global, mengalami peningkatan.

Beberapa faktor penyebabnya adalah perang Rusia-Ukraina, konflik Israel-Palestina dan perang dagang antara China dan Amerika Serikat. Tidak hanya pangan secara langsung, namun aktivitas geopolitik dan geoekonomi tersebut juga mempengaruhi akses terhadap input-input pertanian seperti pupuk.

Perang Rusia dan Ukraina yang berkepanjangan membawa dampak yang cukup signifikan terhadap ketahanan pangan global. Keduanya merupakan sumber utama beberapa barang impor.

Ukraina memasok sekitar lebih kurang 24% dari total impor gandum Indonesia pada tahun 2020. Sementara itu, pupuk impor asal Rusia menyumbang sekitar 15% dari total pupuk impor Indonesia.

Terganggunya pasokan pupuk dunia akan membuat harga pupuk semakin tinggi. Tingginya harga pupuk dapat menyebabkan harga-harga komoditas, misalnya saja jagung dan kedelai, semakin tinggi.

 

Masalah Kenaikan Harga Pangan

BI Prediksi Inflasi Oktober Capai 0,05 Persen
Pedagang beraktivitas di salah satu pasar tradisional di Jakarta, Rabu (26/10/2022). Realisasi inflasi tersebut lebih rendah dari perkiraan sebelumnya sejalan dengan dampak penyesuaian harga BBM terhadap kenaikan inflasi kelompok pangan bergejolak dan inflasi kelompok harga diatur Pemerintah yang tidak sebesar prakiraan awal. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Sementara itu, serangan Israel ke Palestina yang berlangsung sejak Oktober 2023 melahirkan permasalahan baru seperti meningkatnya biaya logistik akibat penutupan beberapa jalur pelayaran oleh Yaman, kenaikan harga minyak mentah dan terganggunya rantai nilai global.

“Kenaikan harga pangan, bahkan beberapa diantaranya sudah terjadi sejak akhir 2022, menunjukkan adanya stimulus yang terjadi di rantai pasok. Ketersediaan pangan yang mencukupi perlu menjadi fokus untuk memastikan pangan dapat diakses oleh rumah tangga Indonesia. Apalagi, lebih dari 50% pengeluaran konsumsi rumah tangga dialokasikan untuk pangan.” tegasnya.

Dengan kata lain, sekalipun IKK, yang ditopang oleh keyakinan atas penghasilan konsumen dapat meningkat, hal tersebut tidak akan berarti apa-apa jika harga pangan masih tinggi. IKK hanya didasarkan pada pembelian terhadap durable goods atau barang tahan lama dimana pengeluaran tidak akan dilakukan secara rutin. Hal ini berbeda dengan pangan yang harus dibeli setiap hari oleh konsumen.

Fenomena ini sekaligus menekankan pentingnya menjaga ketahanan pangan dan memastikan daya beli masyarakat tetap kuat terhadap pangan. Pangan harus dapat diakses secara mudah, murah, dan berkualitas. 

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya