Liputan6.com, Jakarta - Presiden Joko Widodo (Jokowi) mewanti-wanti Presiden Terpilih Prabowo Subianto agar lifting minyak Indonesia harus didorong untuk ditingkatkan setiap tahunnya.
"Jangan sampai lifting minyak kita, kita biarkan turun, seberapa pun, seliter pun enggak boleh, harus naik, setiap tahun harus naik," kata Jokowi, saat menghadiri malam puncak hari ulang tahun ke-79 Pertambangan dan Energi, di Jakarta, ditulis Jumat (11/10/2024).
Baca Juga
Ia pun menegaskan, agar produktivitas sumur-sumur minyak yang dimiliki Indonesia dioptimalkan. Hal itu penting dilakukan untuk memitigasi jika produksi minyak dalam negeri mengalami penurunan. Sebab, jika tidak dioptimalkan produksinya, maka mau tidak mau Pemerintah harus mengeluarkan biaya yang besar melakukan impor minyak.
Advertisement
"Saya titip, yang berkaitan dengan lifting minyak harus naik. dengan cara apapun harus naik. Sumur-sumur yang kita miliki, produktifkan. Karena begitu produksi turun, uang yang dikeluarkan kita besar sekali,” ujar Jokowi.
Sebelumnya, menjelang berakhirnya masa jabatannya sebagai Presiden, Jokowi mengaku telah menerima laporan dari Menteri Keuangan Sri Mulyani mengenai penurunan lifting minyak yang tidak boleh dibiarkan terus berlanjut.
Dia menuturkan, walaupun secara volume produksi minyak dalam negeri mengalami penurunan yang kecil, tapi dilihat secara nilai anggaran sangat besar. Oleh karena itu, Jokowi mewanti-wanti agar Pemerintahan selanjutnya bisa menekan impor minyak.
"Kalau kita hitung, minyaknya hanya kecil turun 100, turun 50. Tapi kalau dihitung ke uang, berarti impor minyak dan gas kita, itu ratusan triliun yang harus kita keluarkan. Artinya dia devisa kita hilang," ucap dia.
Jokowi menyebut banyak cara untuk menggenjot lifting migas di dalam negeri, hal itu bisa dilakukan oleh pemerintah, BUMN, maupun bekerja sama dengan swasta dan asing.
"Entah itu dikerjain sendiri, BUMN Pertamina, entah itu dikerjain dengan kerja sama dengan sektor swasta, entah itu dikerjain dengan perusahaan asing, semuanya dilakukan," pungkasnya.
10 Hari Lagi Lengser, Jokowi Pamer PNBP Sektor ESDM Capai Rp 1.800 Triliun
Sebelumnya, Presiden Jokowi (Jokowi) mengatakan sektor Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) merupakan sektor yang sangat strategis dan memiliki potensi dan memberikan multiplier effect yang besar bagi perekonomian nasional.
Hal itu dibuktikan selama dua periode Jokowi memimpin sebagai Presiden, Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dari sektor ESDM mencapai Rp1.800 triliun.
"Kita tahu, dari 2014 sampai hari ini, PNBP yang diterima oleh negara dari ESDM berarti 10 tahun, besar sekali. Kurang lebih Rp 1.800 triliun. Kalau melihat dua tahun lalu, 2022, itu Rp 348 triliun kemudian di 2023 Rp 229 triliun. Pertahunnya juga sangat besar sekali," kata Jokowi dalam sambutannya di acara Puncak Penghargaan Subroto 2024, di Jakarta, Kamis (10/10/2024).
Menurut Jokowi, nilai tambah di sektor ESDM sangat penting sekali. Karena nilainya sangat besar, oleh karena itu ia selalu mendorong dilakukan hilirisasi di sektor ESDM. Lantaran, berbagai proyek hilirisasi di sektor mineral dan batubara (minerba) telah menunjukkan hasil positif
"Harus ada di dalam negeri. Bukan mentahan yang kita kirim kemudian yang menikmati negara-negara lain. Enggak bisa seperti itu lagi. Kesempatan kerja malah tercipta di sana, keuntungan malah mereka yang nikmati. Enggak bisa," ujarnya.
Jokowi menegaskan, Indonesia harus lebih mandiri lagi untuk ke depannya. Jangan terus menerus dimanfaatkan negara lain. Oleh sebab itu, ia selalu menekankan pentingnya hilirisasi dalam upaya mendorong nilai tambah bagi ekonomi Indonesia.
"Kita sudah 400 tahun lebih mengirim barang-barang mentah ke luar negeri. Yang kaya mereka, yang menjadi negara maju mereka, kita tidak bisa melompat. Inilah yang sering saya sampaikan pentingnya hilirisasi," pungkasnya.
Advertisement
Bahlil Soal Rencana Perbaikan ESDM: Dongkrak Lifting Minyak hingga Beresi 300 Izin
Sebelumnya, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia mengungkapkan, dirinya telah mandat oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk melakukan perbaikan-perbaikan dalam pengelolaan sektor ESDM.
Meski baru dilantik Agustus 2024 lalu, Bahlil menyebut tidak bisa dijadikan alasan untuk tidak melakukan penataan ke arah yang lebih baik.
"Tuntutan perintah dari Pak Presiden Jokowi itu bukan saya baru belajar, di ESDM harus tancap gas. Karena saya melanjutkan apa yang sudah dilakukan oleh pemimpin terdahulu Pak Arifin yang sudah baik saya lanjutkan. Tapi kalau yang belum maka kita melakukan perbaikan," kata Bahlil dalam keterangan resmi Kementerian ESDM, Minggu (29/9/2024).
Penataan-penataan yang dilakukan, sambung Bahlil, salah satunya mendongkrak angka lifting minyak bumi. Mengingat kondisi konsumsi minyak berada di angka 1,5-1,6 juta barel per hari.
Sedangkan produksi minyak nasional hanya berada pada angka 600 ribu barel per hari. Sehingga menyebabkan membengkaknya impor minyak dan mengurangi devisa negara.
Untuk mengatasi permasalahan lifting minyak tersebut, ia membeberkan usaha yang dilakukan dengan reaktivasi sumur-sumur yang idle untuk diupayakan produksi minyaknya. Kemudian, dengan mengintervensi sumur eksisting lewat penerapan teknologi-teknologi agar ada kenaikan produksi. Seperti dilakukan oleh Pertamina di Blok Rokan, Riau, dengan memanfaatkan teknologi EOR.
Tak hanya itu, penataan percepatan perizinan juga menjadi salah satu fokusnya. Bahlil menyebut untuk izin eksplorasi minyak dan gas bumi butuh 300 izin.
"Bayangkan kalau (mengurus) izinnya satu izin satu hari, 1 tahun baru urus izin. Kalau satu izin bisa selesai dalam tiga hari, berarti 3 tahun hanya buat (mengurus) izin. Jadi bayangkan ke ketidakefektifan kita terhadap usaha hulu migas," tegas dia.
Layanan Perizinan di ESDM
Bahlil mengatakan, layanan perizinan di ESDM sudah melalui Online Single Submission (OSS), namun belum maksimal karena masih harus dilakukan simplifikasi dalam perizinan. Sehingga akan dirapikan secara bertahap untuk mempercepat proses perizinan di Kementerian ESDM.
Hal lain yang perlu ditata, lanjutnya, bagaimana mendorong porsi pemanfaatan Energi Baru Terbarukan (EBT) dalam bauran energi. Indonesia masih kekurangan 8,1 GW, atau 8.100 MW, atau secara persentase masih kurang sekitar 8 persen dari target.
"(Bauran EBT) kita yang harusnya sudah 23 persen di tahun depan. Kita masih kurang sekitar 8,1 GW. Itu sama dengan kurang lebih sekitar 8 persen. kekurangan kita," pungkas Bahlil.
Advertisement