Liputan6.com, Jakarta - Indonesia dan Kenya resmi menandatangani Articles of Agreement (AOA) G20 Global Blended Finance Alliance (GBFA) untuk pembiayaan gabungan ekonomi berkelanjutan dan proyek sustainable development growth (SDG).
Penandatangan itu dilakukan oleh Menko Marves Luhut Binsar Pandjaitan dan Perdana Menteri Kenya Musalia Mudava di Jakarta, pada Kamis (17/10/2024).
Baca Juga
Sebagai informasi, GBFA merupakan komunitas internasional yang bergerak meuwujudkan tujuan pembangunan berkelanjutan (sustainable development goals/SDGs), yang mencakup ekonomi berkelanjutan hingga aksi iklim di negara-negara berkembang.
Advertisement
Anggota GBFA terdiri dari Uni Emirat Arab (UEA), Fiji, Prancis, Sri Lanka, Republik Demokratik Kongo, Kenya, Luksemburg, dan Kanada.
"Terima kasih khusus kepada Kenya atas komitmennya untuk menandatangani AOA untuk Global Blended Finance G20 Bali hari ini," ujar Luhut dalam pidatonya di Park Hyatt, Jakarta Pusat, Kamis (17/10/2024).
"Kami menyadari bahwa tidak mudah untuk mencapai target (SDG) ini, tetapi saya percaya dengan semangat kebersamaan kita bisa melakukannya. Maka dari itu artikel perjanjian GBFA G20 Bali hari ini sangat penting," tuturnya.
Lebih lanjut, Luhut menuturkan bahwa dengan menggabungkan modal dari sektor publik, filantropi, dan sektor swasta, ia optimis GBFA G20 Bali dapat meningkatkan investasi, menciptakan pasar baru, dan membuka triliunan dolar yang dibutuhkan untuk menutup kesenjangan pembiayaan.
Dia juga mengungkapkan, pihaknya akan segera menyampaikan laporan ke presiden terpilih, Prabowo Subianto terkait kesepakatan baru dengan GBFA hari ini. Ia menyebut, keputusan tersebut akan menjadi kabar baik mengingat bersamaan dengan momentum hari ulang tahun Prabowo.
"Saya akan memberitahunya lusa saat bertemu. Ketika Anda (Prabowo) merayakan ulang tahun di Hambalang, kami sedang membahas artikel perjanjian ini," beber Luhut.
Setelah Kenya meneken kerja sama SDG dengan Indonesia, Luhut berharap, negara mitra lain yang sudah melakukan LOI bisa mengikuti dan memulai program ekonomi berkelanjutan hingga pencegahan perubahan iklim.
"Saya yakin anggota lain akan segera bergabung," ucapnya.
Retno Marsudi Serukan Pemulihan Kepercayaan Terhadap Multilateralisme di Pertemuan G20
Sebelumnya, Menteri Luar Negeri Republik Indonesia Retno Marsudi menghadiri Pertemuan Para Menteri Luar Negeri G20 yang diselenggarakan di sela-sela Sidang Majelis Umum PBB di New York (25/9/2024).
Dalam pidatonya, Menlu Retno menyampaikan kekhawatirannya terhadap tanda- tanda kegagalan multilateralisme yang semakin terlihat, termasuk perpecahan tata kelola global, menurunnya kepercayaan antara negara-negara, dan ketidakmampuan sistem internasional dalam merespons tantangan-tantangan baru.
"Kegagalan multilateralisme akan berdampak signifikan dan berpotensi membawa dunia menuju masa di mana kekuatan mendominasi keadilan," ujar Menlu Retno, dikutip dari laman Kemlu.go.id, Kamis (26/9).
Lebih lanjut, Menlu Retno menyoroti situasi kemanusiaan yang semakin memburuk di Palestina sebagai contoh nyata rapuhnya sistem multilateral saat ini.
Genosida di Gaza dan meningkatnya ketegangan di Timur Tengah, menurut Menlu Retno, menjadi pengingat akan urgensi penegakan hukum internasional dan penghormatan terhadap hak asasi manusia secara konsisten dan tanpa standar ganda.
"Kita tidak boleh biarkan apa yang terjadi di Ukraina, di Gaza, di Tepi Barat dan di Lebanon menjadi norma (internasional) baru", ungkap Menlu Retno.
Meski demikian, Menlu Retno tetap optimis bahwa multilateralisme masih bisa diperbaiki. "Peran G20 strategis untuk mengembalikan kepercayaan terhadap sistem multilateral dan memperkuat tata kelola global yang inklusif dan adil", tegas Menlu Retno.
Advertisement
3 Poin Penting yang Disampaikan Retno Marsudi
Dalam pidatonya, ada tiga poin penting yang diangkat Menlu Retno:
Pertama, perlu adanya keterwakilan yang lebih baik dalam tata kelola global.
Reformasi harus dilakukan agar sistem ini lebih inklusif, representatif, dan efisien, dengan memperhatikan realitas dunia saat ini di mana negara-negara Global South mewakili 85 persen populasi dunia dan memiliki kontribusi ekonomi yang semakin besar.
Kedua, pentingnya memajukan kepercayaan strategis dan keadilan. Kepercayaan hanya dapat dipulihkan jika tindakan-tindakan yang diambil negara maju sesuai dengan kewajiban mereka, terutama terkait dengan pendanaan iklim dan pembangunan berkelanjutan.
Menlu Retno menegaskan bahwa diperlukan upaya nyata untuk menjembatani kesenjangan antara komitmen global dan tindakan nyata di lapangan.
Singgung Soal Kecerdasan Buatan (AI)
Ketiga, adaptasi terhadap tantangan-tantangan baru yang muncul, termasuk kebutuhan akan kerangka baru untuk tata kelola digital, regulasi siber, dan kecerdasan buatan (AI).
Hal ini penting untuk memastikan bahwa kemajuan teknologi dapat dinikmati oleh semua pihak, bukan hanya segelintir orang. Selain itu, aksi nyata dalam menghadapi perubahan iklim juga harus ditingkatkan.
Dalam konteks ini, Indonesia mendukung "G20 Call to Action on Global Governance Reform" yang berfokus pada upaya memodernisasi tata kelola global agar lebih siap menghadapi tantangan abad ke-21, serta memastikan bahwa sistem tersebut lebih adil dan inklusif bagi semua negara.​​
 Â
Advertisement