Liputan6.com, Jakarta Anggota Komisi IV DPR RI periode 2024-2029 Rokhmin Dahuri, memproyeksikan pendapatan Indonesia di sektor perikanan bisa mencapai Rp41,62 triliun jika Pemerintah mampu mengembangkan 2.000 kapal ikan modern di perairan Indonesia dan Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI).
"Kami pernah menghitung, kalau kita mengembangkan 2.000 kapal modern saja di perairan Indonesia maka pendapatan bersihnya sekitar Rp41,62 triliun," kata Rokhmin dalam Diskusi Publik KNTI 'Arah Kebijakan Baru Pemerintah Indonesia pada Tata Kelola Perikanan', Selasa (29/10/2024).
Baca Juga
Bahkan, kata Rokhmin, jika Indonesia mampu mengembangkan hingga 5.000 kapal ikan modern maka bisa memperoleh pendapatan di sektor perikanan sebesar Rp104 triliun.
Advertisement
"Nah, kalau usulan saya 5.000 kapal, kita bisa dapat Rp104 triliun. Kalau dilakukan kemarin-kemarin pak Prabowo makin demen sama maritim," ujarnya.
Namun untuk mewujudkan hal itu, Pemerintah melalui KKP terlebih dahulu harus bisa melakukan revitalisasi seluruh pelabuhan perikanan supaya tidak hanya sebagai tambat-labuh kapal ikan, tetapi juga sebagai kawasan Industri Perikanan Terpadu yakni, tersedia industri hulu hingga hilirnya, dan tersedia jasa penunjang, dan memenuhi persyaratan sanitasi, higienis serta kualutas dan keamanan pangan bagi hasil tangkap ikan nelayan.
"Mimpi saya maunya pelabuhan Indonesia macam di Islandia yang terintegrasi," ujarnya.
Kemudian, BUMN maupun BUMD, koperasi dan swasta menyediakan sarana produksi perbekalan melaut seperti kapal ikan, alat tangkap, mesin kapal, BBM, energi terbarukan, beras dan lainnya yang berkualitas tinggi, dengan harga relatif murah, dan kuantitas mencukupi untuk nelayan di Indonesia.
Ikan Hasil Tangkapan Nelayan
Selain itu, yang tak kalah penting, Pemerintah harus menjamin seluruh ikan hasil tangkapan nelayan di seluruh wilayah NKRI dapat dijual dengan harga sesuai nilai keekonomian yakni menguntungkan nelayan, dan tidak memberatkan konsumen dalam negeri.
Selanjutnya, ia mengusulkan agar pemerintah menyediakan mata pencaharian alternatif bagi nelayan. Dimana pada saat nelayan tidak bisa melaut karena paceklik ikan maupun cuaca buruk biasanya berlangsung 3-4 bulan dalam setahun, Pemerintah wajib menyediakan mata pencaharian alternatif seperti menyediakan perikanan budidaya, pengolahan hasil perikanan, pariwisata bahari, agroindustri, dan potensi ekonomi lokal lainnya.
"Supaya nelayan tidak terjerat rentenis, seperti selama ini," pungkasnya.
Advertisement
Penghasilan Nelayan di Era Prabowo Bakal Dinaikkan Jadi Rp 7,5 Juta Sebulan, Bisa?
Anggota Komisi IV DPR RI periode 2024-2029, Rokhmin Dahuri, menyatakan bahwa Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) di bawah kabinet Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka perlu menerapkan pendekatan terpadu dalam mewujudkan perikanan tangkap yang mampu menyejahterakan nelayan.
Rokhmin menegaskan bahwa KKP di Kabinet Merah Putih harus serius dalam menetapkan kebijakan di sektor perikanan. Ia berharap pendapatan nelayan di era kepemimpinan Prabowo dapat meningkat, sehingga nelayan di Indonesia bisa mendapatkan penghasilan minimal Rp7,5 juta per bulan.
“Kebijakan pada on fishing di KKP harus serius, perikanan tangkap terukur sebaiknya menggunakan pendekatan ekonomi, bukan pendekatan biologi. Pastikan berapa jumlah kapal ikan dan nelayan yang boleh beroperasi di setiap Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) agar pendapatan nelayan minimal mencapai Rp7,5 juta per orang per bulan,” ujar Rokhmin dalam Diskusi Publik KNTI bertema 'Arah Kebijakan Baru Pemerintah Indonesia pada Tata Kelola Perikanan', Selasa (29/10/2024).
Merusak Lingkungan
Menurut Rokhmin, langkah lain untuk meningkatkan kesejahteraan nelayan adalah dengan memberantas Illegal, Unreported, Unregulated (IUU) dan destructive fishing.
Sebagai informasi, destructive fishing adalah praktik penangkapan ikan yang merusak, seperti menggunakan bahan peledak atau racun. Praktik ini menjadi ancaman utama bagi pengelolaan potensi perikanan Indonesia.
“Berantas IUU dan destructive fishing, seluruh nelayan seharusnya mengikuti pedoman Responsible Fisheries yang diterbitkan oleh FAO,” tambahnya.
Selain itu, Rokhmin menyoroti kurangnya penyediaan mata pencaharian alternatif bagi nelayan oleh KKP. Di Indonesia, banyak nelayan tidak dapat melaut selama 3-4 bulan karena cuaca buruk dan paceklik ikan. Akibatnya, mereka tidak memiliki penghasilan dan banyak yang terjebak dalam kemiskinan.
“Mata pencaharian alternatif ini belum disediakan oleh KKP. Di seluruh dunia, termasuk Indonesia, nelayan minimal 3-4 bulan tidak bisa melaut akibat cuaca buruk atau paceklik ikan, dan pemerintah tidak memberikan alternatif penghasilan,” ujarnya.
Advertisement