YLKI Tolak PPN 12%: Pemerintah Kejar Pajak Orang Kaya, Bukan Rakyat Kecil

Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) menolak rencana pemerintah untuk menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen yang direncanakan berlaku pada awal tahun 2025.

oleh Septian Deny diperbarui 21 Nov 2024, 19:00 WIB
Diterbitkan 21 Nov 2024, 19:00 WIB
Ilustrasi pajak
Ilustrasi pajak. (Photo by 8photo on Freepik)

Liputan6.com, Jakarta Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) menolak rencana pemerintah untuk menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai atau PPN menjadi 12 persen yang direncanakan berlaku pada awal tahun 2025.

Plt Ketua Pengurus Harian YLKI Indah Suksmaningsih menyebut, kenaikan PPN menjadi 12 persen akan memberi beban tambahan bagi masyarakat yang tengah menghadapi kesulitan ekonomi.

"Jika PPN dipaksakan naik lagi menjadi 12 persen pada 2025, hal ini akan semakin memperburuk daya beli konsumen," ujar Indah di Jakarta, Kamis (21/11).

Menurutnya, kenaikan PPN menjadi 12 persen berpotensi menimbulkan ketidakadilan. Menyusul, adanya potensi kebijakan pengampunan pajak atau Tax Amnesty Jilid III yang akan berlaku usai DPR RI menyetujui Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 tahun 2016.

"Pemerintah seharusnya tak membebani konsumen dengan pajak yang tinggi, sementara pengemplang pajak justru tidak mendapatkan sanksi tegas. Pemerintah harusnya fokus pada peningkatan kepatuhan pajak di kalangan pengusaha kakap dan para pengemplang, agar beban pajak tidak jatuh lagi-lagi pada rakyat kecil," tegasnya.

Saat ini, masyarakat masih terbebani kenaikan PPN dari 10 persen menjadi 11 persen pada April 2022 lalu. Dengan ini, kenaikan PPN tidak realistis untuk diterapkan pada tahun depan.

Jika dipaksakan, lanjut Indah, masyarakat kemungkinan akan menunda atau bahkan membatalkan pembelian barang-barang yang dikenakan pajak tinggi. Seperti barang elektronik, pakaian, dan peralatan rumah tangga.

"Dampaknya, dunia usaha dan industri pun akan terimbas, dengan penurunan penjualan yang berujung pada lesunya roda ekonomi," ucapnya.

 

Kenaikan Cukai Rokok

20160930- Bea Cukai Rilis Temuan Rokok Ilegal-Jakarta- Faizal Fanani
Sejumlah batang rokok ilegal diperlihatkan petugas saat rilis rokok ilegal di Kantor Direktorat Jenderal Bea Cukai, Jakarta, Jumat (30/9). Rokok ilegal ini diproduksi oleh mesin dengan total produksi 1500 batang per menit. (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Sebaliknya, YLKI justru mengkritik sikap pemerintah yang membatalkan kenaikan cukai rokok dan minuman manis. Padahal, dua kebijakan tersebut bisa menjadi alternatif untuk meningkatkan pendapatan negara tanpa membebani masyarakat.

"Penerapan cukai rokok dan minuman manis juga memiliki manfaat ganda, yaitu meningkatkan pendapatan dan mengendalikan dampak kesehatan," ucapnya.

Sebagai solusi, YLKI mengusulkan agar pemerintah menangguhkan atau bahkan membatalkan rencana kenaikan PPN 12 persen.

Langkah ini dianggap sebagai solusi yang lebih bijaksana dalam melindungi daya beli masyarakat dan menjaga stabilitas ekonomi Indonesia ke depan.

 

Reporter: Sulaeman

Sumber: Merdeka.com

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya