Liputan6.com, Jakarta Shell sempat diisukan bakal mencabut seluruh jaringan ritel dan stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU) miliknya di Indonesia. Lantaran perusahaan dihadapi situasi tak mudah dalam menjalankan bisnisnya di sektor hilir minyak dan gas bumi (migas).
Mulai dari kilang minyak mentah dengan kapasitas 237 ribu barel per hari milik Shell di Singapura, yang diakuisisi oleh Chandra Asri Group dan Glencore. Sebelumnya, Shell juga sempat memaparkan rencana jangka menengah panjangnya, salah satunya dengan akan menutup 1.000 SPBU hingga 2025.
Advertisement
Baca Juga
Di sisi lain, Ketua Komite Investasi Asosiasi Perusahaan Minyak dan Gas Nasional (Aspermigas) Moshe Rizal mengatakan, Shell harus berhadapan dengan Pertamina yang sudah sangat menguasai bisnis penyaluran BBM di Tanah Air. Lantaran perusahaan pelat merah tersebut juga diberi amanah sebagai satu-satunya badan usaha yang berhak mendistribusikan BBM bersubsidi.
Advertisement
"Pertamina juga kan semakin lama semakin baik, dari kualitasnya, servisnya, dan lain sebagainya. Di satu sisi, Pertamina satu-satunya perusahaan yang diperbolehkan pemerintah untuk menjual BBM bersubsidi," kata Moshe kepada Liputan6.com, dikutip Senin (25/11/2024).
"Jadi ya susah kalau mau bersaing. Satu kualitasnya makin tinggi, Shell sudah mulai berkurang competitive advantage-nya, nilai jual dia terhadap kompetitornya sudah mulai disamai," dia menambahkan.
Skema Pemberian Subsidi BBM
Meskipun pemerintah berencana mengubah skema pemberian subsidi BBM menjadi bantuan langsung tunai (BLT) kepada penerima berhak, Moshe menilai itu belum serta merta jadi sinyal positif bagi badan usaha swasta untuk ikut mengelola SPBU di Indonesia.
Aktivitas Bisnis Shell
"Proses itu kan masih cukup lama (untuk menentukan siapa saja para penerima subsidi BBM yang berhak. Di satu sisi ya orang yang mampu juga reference-nya masih tetap ke Pertamina. Karena ya musti ada nilai tambah dari sisi harga, biaya," ungkapnya.
Selain di sektor hilir, Shell juga menjalankan aktivitas bisnis di sektor hulu. Tak menutup kemungkinan, kata Moshe, Shell berpikir untuk lebih memprioritaskan bisnisnya di sisi hulu.
"Apalagi kan mereka perusahaan besar. Mayoritas profit mereka yang dikhususkan ya di hulu. Kalau ini (hilir) sudah tidak pasti, lalu saingannya besar, pertumbuhannya dia lihat akan sulit untuk tumbuh ke depannya, lalu buat apa mereka teruskan? Mereka kan perusahaan major. Mereka akan fokus ke portofolio yang make sense bagi mereka, dibandingkan mengurusi yang masih abu-abu," tuturnya.
Advertisement