Liputan6.com, Jakarta - Kebijakan energi agresif yang dikenal dengan slogan "Drill Baby, Drill!" yang akan dijalankan oleh Presiden Amerika Serikat, Donald Trump akan memberikan dampak signifikan pada pasar energi global.
Slogan ini mencerminkan kebijakan untuk meningkatkan produksi minyak domestik Amerika Serikat (AS), yang pada gilirannya dapat memengaruhi keseimbangan pasokan dan permintaan energi dunia, termasuk bagi negara-negara penghasil minyak seperti Indonesia.
Lantas bagaimana dampak kebijakan ini bagi Indonesia, khususnya dalam sektor minyak dan gas (sektor migas)?
Advertisement
Country Head Indonesia dari Rystad Energy, Sofwan Hadi menuturkan, fokus Amerika Serikat adalah untuk meningkatkan produksi minyak domestik, bahkan melampaui kebutuhan mereka sendiri. Hal ini bisa berisiko membuat Amerika Serikat mengekspor minyak dengan harga lebih murah, yang akan memengaruhi harga minyak global.
Jika produksi minyak AS meningkat pesat, pasokan minyak dunia akan bertambah, dan harga minyak bisa menurun, yang tentu saja akan berdampak pada negara-negara penghasil minyak lainnya.
"Menurut saya fokus, Amerika, mereka akan, menempatkan, masalah ini ya, jadi, salah satu karakter dari Trump ya, mungkin adalah satu agak, agak egocentric ya, jadi mungkin mereka enggak, enggak merasakan butuh kita, yang perlu kita fokuskan, kita lihat dampaknya, kayak tadi, ke dampaknya kalau mereka, punya produksi minyak lebih banyak, di luar kebutuhan mereka, tentunya minyaknya akan dijual keluar, dengan harga murah," kata Sofwan dalam media briefing bertema “Mewujudkan Ketahanan Energi Untuk Capai Cita-cita Indonesia Emas” di Jakarta, Selasa (17/12/2024).
Bagi Indonesia, yang memiliki potensi besar di sektor migas, peningkatan produksi Amerika Serikat dapat menambah tantangan dalam menjaga kestabilan harga dan permintaan.
Sofwan menambahkan, meski proyeksi harga minyak tetap stabil di sekitar 70 dolar Amerika Serikat per barel hingga 2025, adanya peningkatan produksi Amerika yang sangat besar bisa menurunkan harga, yang tentu merugikan Indonesia, terutama di saat negara ini berusaha mengembangkan lapangan minyak dan gas yang lebih dalam (deep water) yang membutuhkan biaya investasi besar.
Tantangan Besar
Namun, meski demikian, Sofwan menggarisbawahi, Indonesia tidak perlu terlalu khawatir akan penurunan permintaan global dalam jangka pendek. Permintaan energi diprediksi akan terus meningkat, terutama dengan potensi pertumbuhan ekonomi global yang mengarah pada konsumsi energi yang lebih tinggi.
"Kita khawatirkan kalau justru malah, demand-nya turun, produksi naik, artinya harga menurun, itu kita yang, apalagi kita yang baru mau develop, deep water, yang justru enggak murah, jadi harus ya, harus bener-bener ikutin harga jual," ujarnya.
Di sisi lain, salah satu tantangan besar bagi Indonesia adalah bagaimana mengelola potensi migas yang ada, mengingat banyaknya proyek yang membutuhkan investasi tinggi, terutama dalam sektor deep water. Untuk itu, Indonesia perlu menyesuaikan kebijakan yang ada, baik dalam hal kerjasama dengan negara-negara seperti Amerika Serikat, maupun dalam mengoptimalkan sumber daya domestik.
Di sisi lain, kebijakan "Drill Baby, Drill!" juga memberikan peluang bagi Indonesia untuk lebih agresif dalam mengembangkan potensi migas dalam negeri. Jika permintaan minyak global tetap tinggi, dan harga stabil, Indonesia bisa mendapatkan manfaat besar, terutama jika bisa meningkatkan produksi dan efisiensi dalam sektor migas.
Advertisement
Bahlil Lahadalia Ancam Kontraktor Jika Tak Kunjung Produksi Minyak Bumi
Sebelumnya, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia meminta Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) untuk segera menyusul rencana pengembangan di wilayah kerja (WK) minyak bumi. Tujuannya, meningkatkan produksi minyak bumi di Indonesia.
Dia mencatat, lifting minyak bumi RI hanya berkisar 600.000 barel per hari (bopd), sementara kebutuhannya mencapai 1,6 juta bopd. Maka sisanya dipenuhi lewat impor. Bahlil mencatat saat ini ada 301 wilayah yang sudah dieksplorasi namun belum memiliki plan of development (PoD).
"Kami kemarin sudah melakukan konsolidasi sampai dengan tadi dengan KKKS, kami menyampaikan kami mohon dukungan Bapak-Bapak semua, Bapak-Ibu. Dari 301 wilayah yang sudah dilakukan eksplorasi tapi belum PoD, kita akan memaksa untuk PoD," tegas Bahlil dalam Rapat Kerja dengan Komisi XII DPR RI, di Jakarta, Rabu (13/11/2024).
Jika perintah itu tak kunjung dituruti, Bahlil akan meninjau wilayah kerja tersebut. Jika sampai tenggat waktu tertentu belum juga digarap, wilayah kerjanya bisa ditawarkan ke investor lain.
"Kalau sampai dengan waktu yang ditentukan, mereka juga masih banyak alasan, maka tidak menutup kemungkinan untuk kita melakukan tinjau. Dan, bisa-bisa kalau memang mereka tidak punya keseriusan, kita tawarkan kepada investor lain," jelasnya.
"Salah satu contoh, katakanlah yang ada di Maluku, (Blok) Masela, tapi sekarang sudah mulai proses tender. Itu kalau seandainya mereka lambat sudah ada investasi yang mau masuk mungkin bisa kita gandengkan dengan mereka," dia menambahkan.
Manfaatkan Teknologi
Bahlil menyoroti penggunaan teknologi untuk meningkatkan lifting minyak. Dia merujuk pada keberhasilan produksi minyak bumi yang digarap ExxonMobil.
"Informasi bagus adalah untuk ExxonMobile yang tadinya cuma diperkirakan kurang lebih sekitar 100.000 barrel per day. Kemudian kami masuk di bulan Agustus itu sudah mencapai 140.000 barrel per day. Hari ini dia sudah mencapai 163.000 barrel per day karena dia intervensi pakai teknologi dengan tata kelola yang baik," kata dia.
"Mungkin model ini salah satu alternatif yang akan kita pakai untuk mendorong KKKS lain dalam rangka mendorong untuk meningkatkan produktivitasnya," imbuh Bahlil.
Advertisement