Liputan6.com, Jakarta - Mengawali tahun 2024, industri hiburan nasional langsung dihebohkan dengan aturan kenaikan pahak hiburan hingga 75%. Para artis yang memiliki usaha hiburan pun langsung teriak. Tak cuma itu, para pengusaha juga menggugat aturan tersebut ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Heboh mengenai pajak hiburan di awal tahun ini dimulai saat Hotman Paris Hutapea, pemilik usaha beach club di daerah Canggu, Bali, berteriak lewat media sosialnya. Ia gusar karena usahanya termasuk dalam objek pajak hiburan minimal 40 persen berdasarkan aturan baru dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (HKPD) yang merupakan turunan dari Undang-Undang Cipta Kerja.
Advertisement
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 Tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah Pasal 58 Ayat (2) terhadap Undang-Undang Dasar Tahun 1945 yang menyebutkan bahwa khusus tarif PBJT atas jasa hiburan pada diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap/spa ditetapkan pating rendah 40 persen dan paling tinggi 75 persen.
Advertisement
"Apa ini benar! ? Pajak 40 persen? Mulai berlaku januari 2024?? Super tinggi? Ini mau matikan usaha?? Ayok pelaku usaha teriaaakkk(Kelangsungan industri pariwisata di Indonesia terancam)," tulisnya ulang dalam unggahan di Instagram @hotmanparisofficial pada 6 Januari 2024.
Protes dari Hotman Paris tersebut langsung disambut oleh penyanyi Inul Daratista di media sosial.
"Baca ini kok aku jadi heran yo, gak mematikan gimana 40-75%? Itungane piye (hitungannya gimana)? Dibebankan ke costumer?" keluh Inul Daratista pada Kamis, 11 Januari 2024.
Pengamat pajak dari Center for Indonesia Tax Analysis (CITA) Fajry Akbar, menilai naiknya pajak hiburan sebesar 40 persen dan maksimal 75 persen dari sebelumnya hanya 15 persen, tentunya pelaku usaha dan konsumen akan terimbas dampaknya.
Jika dibandingkan dengan negara lain, tarif khusus untuk sektor diskotik, bar, kelab malam, Spa dan sejenisnya di Indonesia (dalam UU HKPD) memang lebih tinggi dibandingkan dengan negara lain.
Di Thailand, diskotik dan sejenisnya dikenakan dalam bentuk cukai dan tarifnya 5 persen. Sedangkan di Malaysia masuk ke dalam service tax dengan tarif 6 persen.
Sedangkan di Filipina, dia dikenakan dalam bentuk tarif PPN yang lebih tinggi. Filipina menggunakan sistem tarif PPN multi tarif. Tarif standar PPN di Filiipina 12 persen sedangkan untuk diskotek dan sejenisnya 18 persen.
"Di Indonesia, diskotik, kelab malam, dan sejenisnya dikenakan dalam bentuk pajak daerah dengan tarif minimum sebesar 40 persenApakah berdampak bagi pariwisata? tidak pukul rata bagi setiap daerah," kata Fajry kepada Liputan6.com pada Januari 2024.
Menko Luhut Bertindak
Para menteri pun menenangkan para pengusaha hiburan ini. Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Menparekraf) Sandiaga Uno menuturkan, Kementerian akan melakukan sosialisasi pajak hiburan ini. Ia pun memastikan penetapan pajak bagi penyedia jasa hiburan hingga 75 persen tidak akan mematikan usaha sektor pariwisata.
Sedangkan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto ikut buka suara mengenai keluhan sejumlah pihak mengenai tarif pajak hiburan termasuk spa yang naik ini. Menurut dia, pemerintah pusat akan melakukan pembicaraan dengan pemerintah daerah karena besaran tarif pajak ditentukan oleh pemerintah kabupaten dan kota.
Ia pun sudah mendengar keluhan pelaku pariwisata termasuk pengusaha jasa hiburan dan spa di Bali terkait kenaikan tarif pajak itu. "Nanti saya sampaikan itu (ke pemerintah daerah) kan itu karena regulasi pemda," ucapnya.
Bahkan tanggapan lebih lantang disampaikan oleh Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan. Dia langsung mengambil keputusan kalau penerapan pajak hiburan ditunda sementara waktu.
Menko Luhut mengaku mendapat kabar ini ketika berada di Bali. Dia langsung mengambil langkah cepat dengan memanggil sejumlah pejabat terkait. Pemerintah memutuskan untuk menunda terlebih dahulu.
"Jadi kita mau tunda dulu aja pelaksanaannya, itu satu. Karena itu dari komisi XI DPR RI kan itu sebenarnya, jadi bukan dari pemerintah ujug-ujug terus jadi gitu," ujar Luhut melalui Instagram @luhut.pandjaitan, Rabu (17/1/2024).
Advertisement
Jokowi Turun Tangan
Setelah melakukan beberapa kali rapat, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menyebut pemerintah menyiapkan diskon Pajak Penghasilan (PPh) Badan bagi palaku usaha di sektor hiburan. Menyusul, tencana kenaikan pajak hiburan berkisar 40-75 persen.
Ketentuan pajak hiburan sebetulnya tertuang pada bagian Pajak Barang dan Jasa Tertentu (PBJT) dalam Undang-Undang Harmonisasi Keuangan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Sederet menteri dan Presiden Joko Widodo (Jokowi) pun langsung menggelar rapat terkait dinamika aturan tersebut.
“Untuk tetap mendukung pengembangan sektor pariwisata di daerah, Pemerintah akan memberikan insentif fiskal berupa pengurangan PPh Badan berupa fasilitas pajak yang ditanggung Pemerintah (DTP),” ucap Menko Airlangga dalam keterangannya, Sabtu (20/1/2024).
Rinciannya, pemerintah akan memberikan Insentif Fiskal terhadap PPh Badan atas Penyelenggara Jasa Hiburan. Utamanya untuk Sektor Pariwisata akan diberikan berupa pengurangan pajak dalam bentuk pemberian fasilitas Ditanggung Pemerintah (DTP) sebesar 10 persen dari PPh Badan, sehingga besaran PPh Badan yang besarnya 22 persen akan menjadi 12 persen.
Secara umum, pemberian insentif fiska sebelumny ditetapkan dengan Peraturan Kepala Daerah (Perkada), dengan memberitahukan kepada DPRD. Dengan ruang regulasi pada Pasal 101 UU HKPD, Bupati/ Walikota dapat menetapkan tarif yang lebih rendah dari 75 persen atau bahkan lebih rendah dari batas minimal 40 persen.
“Penerapan insentif fiskal dilaksanakan sesuai karakteristik wilayah, dengan pertimbangan budaya dan penerapan syariat Islam (seperti di Aceh), sehingga beberapa daerah tetap dapat meneruskan tarif pajak yang ada, sedangkan daerah yang berbasiskan pariwisata dapat menetapkan tarif sebagaimana tarif pajak sebelumnya,” terang Menko Airlangga.
Pengusaha Resmi Gugat
Para pengusaha industri pariwisata yang tergabung dalam Dewan Pengurus Pusat Gabungan Industri Pariwisata Indonesia (DPP GIPI) resmi masih melawan. Gabungan pengusaha mendaftarkan uji materi tentang pajak hiburan ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Pengajuan itu dipimpin oleh Ketua Umum GIPI Hariyadi Sukamdani serta Kuasa Hukum DPP GIPI Muhammad Joni, S.H., M.H, Managing Partner Law Office Joni & Tanamas dan Pengurus DPP GIPI beserta Pelaku Usaha Hiburan.
Mereka mendaftarkan ke MK untuk Pengujian Materi atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah Pasal 58 Ayat (2) terhadap Undang-Undang Dasar Tahun 1945 yang menyebutkan bahwa khusus tarif PBJT atas jasa hiburan pada diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap/spa ditetapkan paling rendah 40% dan paling tinggi 75%.
GIPI menyatakan penetapan tarif pajak hiburan pada pasal tersebut tidak berdasarkan prinsip-prinsip yang tepat dan berpotensi menyebabkan diskriminasi terhadap pelaku usaha hiburan.
Hariyadi Sukamdani berharap melalui uji materiil ini, MK dapat mencabut Pasal 58 Ayat 2 pada Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 sehingga penetapan tarif Pajak Barang dan Jasa Tertentu (PBJT) yang termasuk dalam jasa kesenian dan hiburan adalah sama, yaitu antara 0-10 persen.
"Dengan dicabutnya Pasal 58 Ayat 2 pada Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022, maka tidak ada lagi diskriminasi penetapan besaran pajak dalam usaha jasa kesenian dan hiburan," ucap Hariyadi Sukamdani saat konpres di Gedung MK, pada Februari 2024.
Advertisement