BNI Sebut Kebijakan Baru Devisa Hasil Ekspor SDA Berdampak Positif pada Likuiditas

Direktur Keuangan BNI Novita Widya Anggraini mengatakan dengan peraturan ini jumlah pihak ketiga dalam bentuk valas akan meningkat.

oleh Gagas Yoga Pratomo diperbarui 22 Jan 2025, 22:00 WIB
Diterbitkan 22 Jan 2025, 22:00 WIB
BNI Sebut Kebijakan Baru Devisa Hasil Ekspor SDA Berdampak Positif pada Likuiditas
PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk (BBNI) menilai kebijakan baru pemerintah soal Devisa Hasil Ekspor Sumber Daya Alam (DHE SDA) dengan wajib ditempatkan 100 persen dalam setahun di Indonesia bisa berdampak positif bagi likuiditas perbankan. (Foto: istimewa)... Selengkapnya

Liputan6.com, Jakarta - PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk (BBNI) atau BNI menilai kebijakan baru pemerintah soal Devisa Hasil Ekspor Sumber Daya Alam (DHE SDA) dengan wajib ditempatkan 100 persen dalam setahun di Indonesia bisa berdampak positif bagi likuiditas perbankan.

Direktur Keuangan BNI Novita Widya Anggraini mengatakan dengan peraturan ini jumlah pihak ketiga dalam bentuk valas akan meningkat.  Novita mengungkapkan sampai Desember 2024, total devisa hasil ekspor (DHE) yang ada di BNI tercatat USD 1,3 miliar.

"Jumlah ini terdiri dari 13 persen deposito valas, dengan sebanyak 70 persen di antaranya adalah dalam bentuk giro," kata Novita dalam Konferensi Pers, Rabu (22/1/2025).

Menurut Novita, dengan adanya kebijakan tersebut, BNI akan mendapatkan dampak positif dalam hal cost of fund seiring dengan meningkatnya jumlah DHE.

BNI mencatatkan pertumbuhan kredit tumbuh 11,6 persen YoY menjadi Rp 775,87 triliun dari Rp 695,09 triliun pada periode sama tahun sebelumnya. 

Ia menuturkan, pertumbuhan kredit ini didukung oleh segmen korporasi yang naik 17,6 persen dan konsumer yang meningkat 14,5 persen. Perusahaan Anak juga mencatatkan pertumbuhan kredit signifikan sebesar 79,7 persen YoY dengan profitabilitas tetap terjaga.

Ekspansi kredit yang prudent diikuti dengan penguatan kualitas aset, tercermin dari Non-Performing Loan (NPL) yang turun menjadi 2 persen, serta Loan at Risk (LaR) dan Credit Cost masing-masing turun menjadi 10,3 persen dan 1,1 persen.

"Meskipun kualitas aset kami kuat, BNI tetap berhati-hati dan bertumbuh secara konservatif di tengah ketidakpastian global," ujar Novita dalam konferensi pers.

Dengan pertumbuhan kredit yang sehat dibarengi oleh efisiensi operasional, pendapatan sebelum pencadangan atau Pre-Provisioning Income (PPOP) mampu menunjukkan perbaikan. 

Secara kuartalan, PPOP periode tiga bulanan di Kuartal IV-2024 menyentuh angka tertinggi sebesar Rp 9,5 triliun, sehingga total PPOP sepanjang 2024 mencapai Rp 34,83 triliun.

 

NPL Coverage Terjaga

Gedung BNI (Dok: BNI)
Gedung BNI (Dok: BNI)... Selengkapnya

BNI telah melakukan pembentukan CKPN secara memadai selama 2024, tercermin dari Loan at Risk Coverage yang mencapai 48,8 persen serta NPL Coverage yang terjaga di level 255,8 persen. Fundamental yang solid ini menjadi landasan bagi BNI untuk dapat tumbuh secara prudent pada 2025.

BNI juga mendapatkan tambahan likuiditas dari Kebijakan Insentif Likuiditas Makroprudensial (KLM) Bank Indonesia sebesar 2,6 persen pada 2024. 

"Insentif KLM tersebut memungkinkan kami untuk tetap mencatat pertumbuhan kredit yang sehat pada 2024 dengan rasio LDR di level 96 persen" ungkap Novita.

Dengan pertumbuhan kredit yang sehat dan didukung DPK yang kuat terutama dari pertumbuhan tabungan ritel, BNI mampu menjaga rasio Net Interest Margin (NIM) tahun 2024 di level 4,2 persen. Selain itu, NII juga konsisten tumbuh secara kuartalan sehingga BNI berhasil mencatatkan total NII sebesar Rp 40,48 triliun pada 2024.

Eksportir Wajib Simpan 100 Persen Devisa Hasil Ekspor Bakal Genjot Likuiditas Valas

Ilustrasi OJK
Ilustrasi OJK (Liputan6.com/Andri Wiranuari)... Selengkapnya

Sebelumnya, Pemerintah Indonesia segera melakukan revisi terhadap Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 36 Tahun 2023 tentang Devisa Hasil Ekspor (DHE) dari kegiatan pengusahaan, pengelolaan, dan/atau pengolahan Sumber Daya Alam (SDA).

Menteri Koordinator (Menko) Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto mengungkapkan melalui revisi ini, pemerintah menetapkan kewajiban penyimpanan DHE 100 persen di dalam negeri selama satu tahun, yang mulai berlaku pada 1 Maret 2025.

Langkah ini dipandang sebagai upaya untuk memperkuat cadangan devisa Indonesia, yang diperkirakan dapat mencapai hingga USD 90 miliar.

Namun, bagaimana dampaknya terhadap sektor perbankan?

Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan (PBKN) OJK, Dian Ediana Rae, menilai perubahan penyimpanan DHE dalam jangka waktu satu tahun berpotensi meningkatkan likuiditas valuta asing (valas) di dalam negeri.

Kendati demikian, Dian menegaskan implikasi detail dari perubahan ini masih dalam tahap pendalaman. Namun hal yang pasti adalah dampaknya terhadap likuiditas valas.

"Nah, saya belum bisa announce itu. Karena kita sedang perdalam. Karena baru kemarin kan. Bagaimana kita untuk bisa memastikan bahwa ketentuan yang baru itu diimplementasikan. Terus bagaimana bank bisa melakukan apa, gitu. Nah, tapi saya belum bisa sampaikan," kata Dian saat ditemui usai menghadiri CEO Forum Perbanas 2025, di Ritz Carlton Mega Kuningan, Jakarta, Rabu (22/1/2025).

 

OJK: Perubahan penyimpanan DHE bisa tingkatkan likuiditas Valas

Logo OJK. Liputan6.com/Nurmayanti
Logo OJK. Liputan6.com/Nurmayanti... Selengkapnya

Menurut dia, dengan lebih banyak devisa yang disimpan di bank-bank domestik, diharapkan sektor perbankan dapat memperoleh sumber dana yang lebih besar untuk mendukung pertumbuhan ekonomi lebih lanjut.

Sehingga semua DHE yang disimpan di bank akan berperan penting dalam memelihara stabilitas pasar valuta asing, yang pada gilirannya dapat mempengaruhi berbagai sektor ekonomi lainnya.

"Tentu, tentu. Itu yang kita harapkan. likuiditas Valas di dalam negeri juga pentingkan. Dan itu yang akan bisa mendorong pertumbuhan ekonomi lebih lanjut. Kita perlu sumber-sumber dana yang lebih besar. Dan nanti lihat bagaimana. Karena itu kan semua disimpan di bank," jelas Dian.

Harapan Pengusaha soal Revisi Kebijakan DHE

Sebelumnya, Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia bersama Anggota Luar Biasa (ALB Asosiasi, Himpunan, Gabungan, dan Ikatan) menggelar FGD mengenai Rencana Perpanjangan Kebijakan Devisa Hasil Ekspor. Hasil FGD ini menyimpulkan bahwa implementasi Peraturan Pemerintah (PP) No. 36 Tahun 2023 tentang Devisa Hasil Ekspor (DHE) perlu untuk direvisi. 

 

Perlu Dievaluasi

Wakil Ketua Umum Kebijakan Fiskal dan Kebijakan Publik Kadin Indonesia, Suryadi Sasmita menuturkan, kebijakan DHE yang sudah berjalan selama kurang lebih satu tahun perlu dievaluasi karena tidak efektif dalam implementasinya meskipun bertujuan baik untuk memperkuat cadangan devisa serta fungsi stabilitas nilai tukar.

"Kami melihat bahwa PP No. 36 Tahun 2023 kurang efektif dalam tahapan implementasi jika tujuannya untuk memperkuat nilai tukar Rupiah," ujar Suryadi dalam keterangan tertulis, Rabu (15/1/2025). 

Faktanya, setahun terakhir rupiah masih terus menghadapi pelemahan. Selain itu, sektor swasta juga terus menerus menghadapi tantangan terhadap arus kas operasional perusahaan di tengah ketidakpastian ekonomi global.

"Terlebih lagi, tidak seluruh perusahaan juga dapat memperoleh kemudahan akan kredit perbankan domestik sehingga mencari pendanaan dari luar negeri,” tambah Suryadi.

Suryadi lebih lanjut menjelaskan berbagai perusahaan yang turut terdampak oleh kewajiban yang terdapat dalam aturan PP No. 36 Tahun 2023 tentang DHE ini menghadapi banyak tantangan dalam mengatur operasional usaha dan kesehatan arus kas perusahaan.

Infografis Efek Donald Trump Menang Pilpres AS ke Perekonomian Global
Infografis Efek Donald Trump Menang Pilpres AS ke Perekonomian Global. (Liputan6.com/Abdillah)... Selengkapnya
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya