Liputan6.com, Jakarta - Pemerintah Amerika Serikat (AS) melalui Kantor Perwakilan Dagang (USTR) menyoroti Gerbang Pembayaran Nasional (GPN) yang digagas oleh Bank Indonesia (BI). Hal ini tertuang dalam laporan National Trade Estimate (NTE) Report on Foreign Trade Barriers yang dirilis akhir Maret 2025.
USTR menjelaskan berdasarkan Peraturan BI Nomor 19/08/2017 tentang Gerbang Pembayaran Nasional (GPN) mengharuskan semua transaksi ritel domestik menggunakan kartu debit dan kredit diproses melalui lembaga switching GPN yang berlokasi di Indonesia dan memiliki izin dari BI.
Baca Juga
"Peraturan ini menetapkan batas kepemilikan asing sebesar 20 persen bagi perusahaan yang ingin memperoleh lisensi switching untuk berpartisipasi dalam GPN, serta melarang penyediaan layanan pembayaran elektronik lintas batas untuk transaksi ritel domestik dengan kartu debit dan kredit," tulis USTR dikutip Liputan6.com, Senin (21/4/2025).
Advertisement
Selain itu, melalui Peraturan BI No. 19/10/PADG/2017 mewajibkan perusahaan asing untuk membentuk perjanjian kemitraan dengan lembaga switching GPN yang memiliki izin di Indonesia agar dapat memproses transaksi ritel domestik melalui GPN.
"BI harus menyetujui perjanjian tersebut, dan persetujuan diberikan dengan syarat perusahaan asing tersebut mendukung pengembangan industri domestik, termasuk melalui alih teknologi," tulis USTR.
Â
AS Khawatir Akses Kartu Kreditnya Terbatas di Indonesia
Tak berhenti disitu saja, USTR juga menyoroti terkait Peraturan BI No. 22/23/PBI/2020, yang berlaku mulai Juli 2021. PBI ini diterbitkan untuk mengimplementasikan Cetak Biru Sistem Pembayaran 2025 dari BI. Peraturan ini menetapkan kategorisasi kegiatan sistem pembayaran berdasarkan risiko serta sistem perizinan.
Dalam Peraturan tersebut menetapkan batas kepemilikan asing sebesar 85 persen untuk operator layanan pembayaran non-bank, yang juga dikenal sebagai perusahaan pembayaran front-end, namun investor asing hanya dapat memiliki maksimal 49 persen saham dengan hak suara. Batas kepemilikan asing untuk operator infrastruktur sistem pembayaran, atau perusahaan back-end, tetap sebesar 20 persen.
"Para pemangku kepentingan menyatakan kekhawatirannya terkait kurangnya konsultasi dari BI sebelum penerbitan peraturan-peraturan tersebut," tulis USTR.
Adapun pada Mei 2023, BI mewajibkan kartu kredit pemerintah untuk diproses melalui GPN dan mewajibkan penggunaan serta penerbitan kartu kredit pemerintah lokal.
"Perusahaan pembayaran dari AS khawatir bahwa kebijakan baru ini akan membatasi akses terhadap opsi pembayaran elektronik dari AS," tulis USTR.
Â
Advertisement
QRIS Juga Kena Tegur AS
Kemudian, USTR juga menyoroti mengenai penerapan QRIS yang diatur dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur (PADG) Nomor 21/18/PADG/2019 berpotensi membatasi ruang gerak perusahaan asing untuk bersaing di pasar pembayaran digital Indonesia.
"Perusahaan-perusahaan AS, termasuk penyedia layanan pembayaran dan bank, menyampaikan kekhawatirannya karena selama proses penyusunan kebijakan kode QR oleh BI," tulis US
