Pengusaha mengharapkan Bank Indonesia (BI) tidak lagi menaikan tingkat suku bunga acuan atau BI rate pada tahun depan. Kenaikan BI Rate dinilai dapat membahayakan pertumbuhan ekonomi Indonesia.
"Tahun depan masih kita lihat lagi. Tapi saya pikir sudah cukup dulu. Kita lihat lagi perkembangan dari impor ekspor kita. Kalau defisitnya sudah bisa terbantu, untuk apa lagi dinaik-naikan," ujar Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO), Sofjan Wanandi, seperti ditulis Jumat (22/11/2013).
Dia menilai, bila BI rate terus dinaikan pada tahun depan, maka akan berdampak negatif pada pertumbuhan ekonomi dan memberi efek yang luas di berbagai sektor perekonomian.
"Ini berbahaya untuk ekonomi kita, sebab kalau terus diciut-ciutkan pertumbuhan kita malah bisa di bawah 5%. Menghambat semua, terutama pengangguran," kata Sofjan.
Selain itu, untuk jangka panjang, hal ini juga dinilai malah menghambat stabilitas nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat. Apalagi nilai tukar Rupiah masih melemah.
"Ga bisa (stabil), karena rupiah saja hari ini Rp 12 ribu. Saya pikir sebenarnya masalah jangka pendek yang boleh saja dilakukan tapi kalau jangka panjang akan berbahaya," katanya.
Yang perlu dilakukan pemerintah saat ini, lanjut Sofjan, dengan memperbaiki sektor riil melalui paket-paket kebijakan yang telah keluarkan oleh pemerintah, sehingga dunia usaha bisa tumbuh dan dapat mendorong pertumbuhan ekonomi.
"Masalahnya di rill sektor kita, itu saja. Tapi kan masalah sektor riil bisa diselesaikan dengan paket-paket kebijakan yang sudah ditetapkan. Nah itu harus dilaksanakan dengan cepat," tandas Sofjan.
BI telah menaikan suku bunga acuan atau BI rate sebesar 25 basis poin dari 7,25% menjadi 7,5% beberapa waktu lalu. Kenaikan ini ditujukan untuk mengendalikan defisit transaksi berjalan.
Selain itu, BI juga menaikkan suku bunga Fasilitas Simpanan Bank Indonesia (FaSBI Rate) dari 5,5% menjadi 5,75% dan suku bunga pinjaman Bank Indonesia (lending facility) dari 7,25% menjadi 7,5%. (Dny/Ahm)