20 Juta Pekerja Masih Mengalami Penyiksaan

Saat ini lebih dari 20 juta pekerja masih mengalami kerja paksa, dan kondisi ini terjadi di negara berkembang dan negara maju.

oleh Siska Amelie F Deil diperbarui 06 Des 2013, 11:55 WIB
Diterbitkan 06 Des 2013, 11:55 WIB
siksa-ilustrasi-131205b.jpg
Saat ini lebih dari 20 juta pekerja masih mengalami kerja paksa, baik buruh yang bekerja di pertanian, pabrik, atau sebagai pembantu rumah tangga. Kondisi ini merupakan persoalan yang terjadi di negara berkembang bahkan di negara maju seperti Amerika Serikat (AS).
 
Hal itu berdasarkan laporan Organisasi Buruh Internasional (International Labor Organization/ILO). Seperti dikutip dari Voice of America, Jumat (6/12/2013), kisah-kisah kerja paksa masih mewarnai topik tenaga kerja di zaman modern ini. Seperti misalnya yang terjadi di India dengan jutaan anak kecil dipaksa untuk bekerja.

Pada Juni, polisi juga menyelamatkan ratusan pekerja di perkebunan tomat di Meksiko. Para pekerja perkebunan mengaku dirinya tidak dibayar sesuai dengan gaji yang disepakati.

Bulan lalu, di Los Angeles, pihak yang berwenang mengumumkan penyelesaian kasusnya dengan Del Monte Fresh Produce, serta gugatannya  pada pemasok tenaga kerja dan para petani lainnya. Sementara itu, para petani lain masih melangsungkan negosiasi dengan agen penyalur tenaga kerja tersebut.

Salah satu petani di perkebunan Hawaii yang beruntung dari 150 buruh asal Thailand adalah Thiem Chayadit. Dia akan menerima jatah dari dana ganti rugi sebesar US$ 1,2 juta yang digelontorkan Del Monte.

Baginya, ini merupakan kabar baik mengingat dia meminjam uang sebesar US$ 20 ribu untuk masuk ke AS. Dia mengaku tak pernah dibayar selama bekerja di Hawaii. Dia merasa sangat frustasi karena kesulitan mencari uang untuk melunasi utangnya di Thailand.

Tak hanya itu, kasus penyiksaan tenaga kerja juga menimpa salah satu warga Indonesia yang bekerja di California, AS.
Ima Matul yang bekerja sebagai pembantu rumah tangga mengaku ditawari gaji besar saat masih berada di Indonesia.

"Siapa yang tak mau datang ke AS? Mereka berjanji menawarkan gaji sebesar US$ 150 per bulan dan satu hari libur per minggu. Saya juga tak perlu membayar visa, parpor dan tiket penerbangan," tutur Ima.

Faktanya, selama tiga tahun dia dipaksa bekerja tujuh hari seminggu, disiksa dan tidak dibayar. Untungnya, dia berhasil meminta bantuan dari tetangga sang majikan dan berhasil kabur dari rumah tersebut.

Saat ini dia telah bekerja di lembaga nirlaba Coalition to Abolish Slavery and Trafficking yang membantunya menyusun lembaran baru kehidupannya.

Sementara itu, Catherine Chen yang bekerja di Humanity United, Washington mengatakan organisasinya telah bekerja sama dengan pemerintah AS untuk menemukan berbagai cara baru guna membantu korban kerja paksa di negaranya. Dia juga menjelaskan, penjualan manusia kini tersebar secara global, maka pemerintah, lembaga sosial dan hukum harus bekerjasama mengatasi masalah tersebut.

" Salah satu hal yang paling mendesak yang perlu selamat adalah akses ke perumahan yang aman , akses ke bantuan hukum dasar, perawatan kesehatan mental , perawatan medis . Beberapa bahkan hal-hal dasar seperti sikat gigi dan sabun , hal-hal yang selamat sering tidak memiliki ketika mereka keluar dari situasi mereka , " kata Chen .

Pengacara daerah Komisi Anna Park mengatakan tindakan hukum adalah bagian dari upaya yang lebih luas oleh pemerintah AS untuk mengakhiri kerja paksa , dalam hal ini menggunakan hukum terhadap diskriminasi karena asal negara .

"Sering kali Anda mendengar cerita tentang orang-orang melarikan diri dari pekerjaan mereka . Anda tidak benar-benar mendengar istilah tersebut dalam kasus-kasus diskriminasi kerja normal, " kata Park .

Pada All Saints Episcopal Church di Pasadena, California,  Ima Matul menggambarkan penderitaannya sebagai pembantu rumah tangga setelah dia direkrut di Indonesia .

"Siapa yang tidak ingin datang ke Amerika Serikat? Mereka berjanji saya US$ 150 per bulan dan hari libur , dan saya tidak perlu membayar biaya apapun untuk penerbangan , visa , paspor , " kata Matul .

Tapi selama tiga tahun , dia dipaksa untuk bekerja tujuh hari seminggu, disiksa dan tidak dibayar. Ima berbicara sedikit bahasa Inggris ketika dia tiba di Amerika Serikat , tapi akhirnya cukup belajar untuk menulis sebuah catatan kepada tetangga , yang membantu pelariannya .

"Saya masih ingat persis bagaimana hal itu dan bagaimana hal itu ketika saya melarikan diri," kata Ima .

Dia sekarang bekerja untuk Koalisi non-profit untuk Memusnahkan Perbudakan dan Perdagangan , yang membantunya menciptakan kehidupan baru dan membantu orang lain terperangkap dalam perbudakan tenaga kerja .

Anggota Gereja, Aubin Wilson mengatakan, dia mengundang Ima untuk berbicara kepada perempuan jemaat untuk mempublikasikan masalah tersembunyi .

"Dan untuk menciptakan kesadaran dan meningkatkan uang dan meloloskan peraturan yang berhenti perdagangan ini di jalurnya , " kata Wilson. (Sis/Ahm)



POPULER

Berita Terkini Selengkapnya