Bank Indonesia (BI) menegaskan belum ada gagal bayar untuk utang luar negeri swasta hingga November 2013. Saat ini utang luar negeri swasta jangka panjang mencapai US$ 97,8 miliar.
Surat utang luar negeri jangka panjang itu dalam bentuk loan agreement sebesar US$ 91,3 miliar. Sementara itu, sebagian besar utang luar negeri swasta dilakukan oleh korporasi non keuangan sebesar US$ 106,1 miliar.
Sedangkan pangsa utang luar negeri perbankan hanya 16,8% atau senilai US$ 23,1 miliar.
"Berdasarkan laporan hingga November 2013 belum ada perusahaan yang default. Roll over memang ada tetapi sudah biasa kalau lender mereka mau negosiasi. Jadi belum ada laporan mengenai default," kata Direktur Eksekutif Departemen Statistik Bank Indonesia, Hendy Sulistowaty, dalam acara bincang-bincang media di gedung BI, Rabu (22/1/2014).
Hendy menambahkan, utang luar negeri swasta itu terutama mengarah kepada sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan mencapai 26%, industri pengolahan mencapai 20%, sektor pertambangan dan penggalian mencapai 18%, dan sektor listrik, gas dan air bersih mencapai 12%.
Hendy mengatakan, pertumbuhan tahunan utang luar negeri swasta pada sektor pertambangan dan penggalian ini menunjukkan akselarasi di saat sektor lain mengalami perlambatan.
"Banyak PMA di sektor tambang banyak. Sektor listrik seperti PLN membutuhkan dana untuk membangun listrik," kata Hendy.
Adapun sebagian dari utang luar negeri swasta yang diterima induk dan afiliasinya dengan pangsa 35% atau US$ 43,5 miliar pada November 2013. Utang dari induk atau afilisiasi ini merupakan utang relatif rendah risikonya.
Hendy menambahkan, utang luar negeri masih didominasi jangka panjang. Hal ini mengingat cicilan utang lebih rendah, dan didukung bunga pinjaman. (Ahm)
Baca juga:
Indonesia Kurang Bernafsu Cari Utang ke Luar Negeri
Masih Punya Utang, BUMI Belum Berniat IPO Anak Usaha
Tutup 2013, Cadangan Devisa RI Bertahan di US$ 99 Miliar
Surat utang luar negeri jangka panjang itu dalam bentuk loan agreement sebesar US$ 91,3 miliar. Sementara itu, sebagian besar utang luar negeri swasta dilakukan oleh korporasi non keuangan sebesar US$ 106,1 miliar.
Sedangkan pangsa utang luar negeri perbankan hanya 16,8% atau senilai US$ 23,1 miliar.
"Berdasarkan laporan hingga November 2013 belum ada perusahaan yang default. Roll over memang ada tetapi sudah biasa kalau lender mereka mau negosiasi. Jadi belum ada laporan mengenai default," kata Direktur Eksekutif Departemen Statistik Bank Indonesia, Hendy Sulistowaty, dalam acara bincang-bincang media di gedung BI, Rabu (22/1/2014).
Hendy menambahkan, utang luar negeri swasta itu terutama mengarah kepada sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan mencapai 26%, industri pengolahan mencapai 20%, sektor pertambangan dan penggalian mencapai 18%, dan sektor listrik, gas dan air bersih mencapai 12%.
Hendy mengatakan, pertumbuhan tahunan utang luar negeri swasta pada sektor pertambangan dan penggalian ini menunjukkan akselarasi di saat sektor lain mengalami perlambatan.
"Banyak PMA di sektor tambang banyak. Sektor listrik seperti PLN membutuhkan dana untuk membangun listrik," kata Hendy.
Adapun sebagian dari utang luar negeri swasta yang diterima induk dan afiliasinya dengan pangsa 35% atau US$ 43,5 miliar pada November 2013. Utang dari induk atau afilisiasi ini merupakan utang relatif rendah risikonya.
Hendy menambahkan, utang luar negeri masih didominasi jangka panjang. Hal ini mengingat cicilan utang lebih rendah, dan didukung bunga pinjaman. (Ahm)
Baca juga:
Indonesia Kurang Bernafsu Cari Utang ke Luar Negeri
Masih Punya Utang, BUMI Belum Berniat IPO Anak Usaha
Tutup 2013, Cadangan Devisa RI Bertahan di US$ 99 Miliar