Liputan6.com, Jakarta Tampillah dengan segenap kemampuan dan kekuatan, namun tanpa beban. Lalu, jangan lupa berharaplah lawan mengalami hari buruk. Hanya dua resep itu yang bisa dibawa tim-tim semenjana saat menghadapi tim-tim raksasa.
Baca Juga
- Saat Balon Dijadikan Penonton Sepak Bola di Negeri Para Dewa
- Bikin Sirkuit Baru Pengganti Sentul, Misi Mustahil?
- MU Membosankan, Ferguson Pilih Nonton City
Ada pula semangat kebencian yang menjadi dasar tim semenjana bertekad kalahkan tim besar. Di Jerman, ada semangat alle gegen Bayern, sedangkan di Inggris ada anything but United.
Tanpa penampilan sepenuh hati, mendulang poin hanyalah harapan hampa.Tekad itu pula yang diusung para penggawa Real Betis saat hendak menjamu Real Madrid, akhir pekan lalu. "Melawan Madrid sangatlah sulit. Kami sepakat, pekan ini akan berjuang sangat keras selama 90 menit," ucap Antonio Adan, kiper Betis.
Adan cs. menunjukkan tekad tersebut di lapangan. Mereka tampil agresif, tak kenal lelah, dan tak kenal takut. "Hari ini, Anda tak akan bisa menunjuk seorang dari kami sebagai pemain terbaik. Semua pemain mengeluarkan seratus persen kemampuan. Itu pula yang membuat kami mampu mendulang satu poin yang sangat berharga," kata eks kiper Madrid ini.
Betis pantas berbangga hati. Pasalnya, merekalah yang pertama kali membuat Madrid di bawah asuhan Zinedine Zidane gagal menangguk kemenangan. Sebelumnya, Cristiano Ronaldo dkk. tampil garang. Deportivo La Coruna dibantai 5-0, sedangkan Sporting Gijon dihajar 5-1.
Hasil imbang itu memang belum bisa dikatakan setback atau kemunduran bagi Madrid. Namun, Los Blancos dan Zidane perlu waspada. Ini kali ketiga secara beruntun mereka gagal menuai kemenangan tandang. Sebelumnya, Cristiano Ronaldo cs. kalah 0-1 dari Villarreal dan imbang 2-2 dengan Valencia. Hingga jornada ke-21, dari sepuluh lawatan, Madrid hanya meraih empat kemenangan.
Khusus bagi Zidane, ini juga alarm dini. Optimisme memang harus terus dinyalakan, namun kewaspadaan juga wajib ditingkatkan. Bila jornada-jornada berikut tak dilalui dengan rentetan kemenangan, masa bulan madunya dengan Los Blancos terancam usai lebih cepat. Apalagi sejak awal tak sedikit yang meragukan kemampuannya sebagai pelatih.
Advertisement
KIAN SINGKAT
Mempertahankan masa bulan madu selama mungkin adalah tantangan tersendiri bagi para pelatih, terutama mereka yang berada di klub-klub besar. Sejak milenium baru, para pelatih di liga-liga teras Eropa macam Premier League, La Liga, dan Serie-A bak berjalan di atas mata pedang. Terpeleset sedikit saja, luka yang didapatkan.
Sepanjang paruh pertama musim 2015-16, laporan League Managers’ Association (LMA) menyebutkan, sebanyak 29 manajer mengalami pemecatan di empat kasta teratas kompetisi sepak bola Inggris. Lima di antaranya di Premier League dan sepuluh di Divisi Championship.
Bila dirata-rata, para manajer yang dipecat itu hanya bertugas selama 1,58 tahun.Sementara itu, andai ditarik lebih jauh, dari Januari 2015, di Premier League saja ada 12 manajer yang tercelat.
Fenomena serupa juga terjadi di Spanyol. Sepanjang 2015, tingkat pergantian pelatih di Divisi Primera malah lebih tinggi dibanding Premier League. Dari Cosmin Contra pada 5 Januari 2015 hingga Sergio Gonzalez pada 14 Desember 2015, ada 16 entrenador yang harus terdepak dari kursinya. Rata-rata masa tugas mereka hanyalah 1,1 tahun.
Sekarang ini, masa bulan madu pelatih rata-rata hanya berlangsung sekitar tiga hingga empat bulan. Contohnya, tengok saja Jurgen Klopp. Saat direkrut Liverpool pada 8 Oktober 2015, manajer asal Jerman itu disambut bak Tuhan yang pasti membuat The Reds tampil rancak dan berjaya. Namun, tiga bulan kemudian, Klopp mulai dihantam kritik.
Gara-gara badai cedera pemain yang membuat The Reds sempat kehabisan stok bek tengah, Klopp dituding sebagai biang masalah. Oleh Sam Allardyce, manajer Sunderland, dan Raymond Verheijen, pelatih asal Belanda yang menulis buku Complete Handbook of Conditioning for Soccer, Klopp dituduh terlalu kaku dalam menerapkan falsafah sepak bolanya sehingga membuat para pemain bertumbangan dihantam cedera otot.
Kisah serupa dialami Louis van Gaal yang kini terus tersudut dan dikabarkan sempat mengajukan pengunduran diri dari kursi manajer Manchester United pada akhir pekan lalu. Saat datang pada awal musim 2014-15, Van Gaal disanjung sebagai sosok yang akan mengembalikan kejayaan Setan Merah.
Paul Scholes menyebut eks pelatih Ajax Amsterdam itu sebagai orang yang sangat genius dan Man. United akan menjalani musim yang jauh lebih baik dibanding saat ditangani David Moyes. “Saya rasa, dia akan meningkatkan performa tim sebanyak 20 hingga 25 persen dari musim lalu,” kata dia seperti dikutip The Guardian, 8 Juli 2014.
Empat bulan kemudian, pandangan Scholes berubah. Dia menilai Red Devils stagnan di tangan Van Gaal. Secara khusus, dalam kolomnya di London Evening Standard, dia mempertanyakan putusan tak membeli defender baru pada bursa transfer. Sejak itu, Scholes menjadi kritikus nomor wahid bagi Van Gaal dan Man. United.
Advertisement
TEKANAN BERLIPAT
Tekanan seperti itu sebenarnya bukan hal baru. Dari masa ke masa, pelatih kerap kali menjadi figur tragis di sepak bola. Ketika sebuah tim meraih kejayaan, pelatih bukanlah pihak pertama yang disanjung sebagai pahlawan. Pemainlah yang paling dielu-elukan. Namun, bila sebuah tim mengalami keterpurukan, pelatihlah yang pertama-tama dituding sebagai biang keroknya.
Seiring perkembangan zaman, tekanan yang dihadapi pelatih kian besar. Itu karena kekuatan pihak-pihak di sekitarnya yang juga kian membesar. “Seiring kemunculan para pemilik klub yang sangat berkuasa, para petinggi klub jadi figur publik dan (bersikap) jauh lebih dramatis dari sebelumnya,” jelas Mike Carson dalam The Manager: Inside The Minds of Football’s Leaders.
Lebih lanjut, Carson mengungkapkan, “Para pemain top yang semula memiliki rasa segan, kini menggunakan jasa agennya untuk menekan pelatih. Publik yang semula hanya berbincang di bar dan pub, kini menusukkan pengaruh lewat media sosial. Lalu, insan pers yang tadinya menjadi penjaga standar sepak bola, kini punya cukup pengaruh untuk membuat seorang pelatih tercelat dari kursinya.”
Richard Bevan, Chief Executive LMA, menyatakan hal yang sama. “Sepak bola profesional benar-benar bisnis yang ditentukan oleh hasil dengan ekspektasi para pemilik, petinggi klub, dan suporter yang selalu naik dari tahun ke tahun,” ungkap dia seperti dikutip BBC.
Hal terberat bagi pelatih tentu saja ketika berhadapan dengan para pemain. Pemecatan Jose Mourinho pada 17 Desember 2015 adalah buktinya. Chris Sutton, eks striker Blackburn Rovers dan Chelsea, meyakini ketegangan dengan para pemain, terutama Eden Hazard, adalah sebab utama pemecatan Mourinho.
“Tak ada keraguan bahwa Jose Mourinho adalah seorang genius. Tapi, dia kehilangan para pemain,” ungkap dia di Radio Five Live, tiga hari usai pemecatan Mourinho. “Ada perseteruan dengan Eden Hazard dan pada akhirnya (itu juga) menyangkut hasil yang diraih tim.”
Kekuatan para pemain ini pula yang ditengarai membuat Rafael Benitez terdepak dari kursi pelatih Madrid pada 4 Januari silam. Seperti halnya Mourinho di Chelsea, Benitez dikorbankan oleh sejumlah pemain yang tak suka terhadap gaya melatihnya. Mereka rela bermain buruk demi membuat sang pelatih dipecat.
Untung bagi Zidane, meski sempat dikabarkan ada sedikit gesekan dengan James Rodriguez, dia masih mampu menguasai para pemain. Coach Zizou malah diakui sanggup mengembalikan die Freude am Fussball ‘kegembiraan dalam sepak bola’. Seperti diakui Ronaldo, para pemain merasa jauh lebih nyaman bersama eks superstar Prancis tersebut.
Hubungan mesra dengan para pemain itu menjadi modal bagi Zidane untuk mempertahankan masa bulan madunya dengan Madrid. Meski begitu, dia tetap harus terus memberikan kemenangan demi kemenangan. Bagaimanapun, seperti kata Bevan, itulah yang jadi parameter utama.
Langkah terdekat Zidane tentu saja melanjutkan kemenangan besar di Santiago Bernabeu saat menjamu Espanyol pada akhir pekan ini. Lalu, memulai kemenangan tandang kala melawat ke kandang Granada sepekan mendatang.
*Penulis adalah pemerhati sepak bola dan komentator di sejumlah televisi di Indonesia. Asep Ginanjar juga pernah jadi jurnalis di Tabloid Soccer.