Liputan6.com, Jakarta - Tak banyak pihak yang menyangka, Real Madrid bisa kalah 0-2 dari Wolfsburg di leg pertama perempat final Liga Champions. Sebelum pertandingan, Pelatih Wolfsburg, Dieter Hecking pun tak muluk-muluk menargetkan kemenangan bagi timnya.
"Madrid punya skuad bagus dengan para pemain kelas dunia. Mereka salah satu favorit juara. Tapi kami akan mencoba mengganggu mereka dan saya pikir, tim saya bisa melakukannya," kata Hecking sebelum pertandingan.
Publik, termasuk Hecking, boleh saja merasa inferior dengan nama besar Madrid. Namun sepak bola bukanlah matematika. Tidak peduli sebesar apapun sebuah klub, mereka bisa saja kalah bahkan oleh klub yang lebih kecil.
Baca Juga
- Kata Rio Haryanto Soal Beda Mobil dengan Pascal
- Rio Haryanto: Dulu Harus Nunggu Taksi, Kini Banyak yang JemputÂ
- Kisah Fans Cantik Rio Haryanto Bertemu Idola
Dan Wolfsburg membuktikan hal itu. Andre Schurrle dan kawan-kawan berhasil menyulap Wolfsburg Arena menjadi neraka bagi Real Madrid.
Diawali dari gol penalti di menit 18, Ricardo Rodriguez, Wolfsburg menutup laga dengan kemenangan 2-0 setelah Arnold menciptakan gol kedua di menit 25.
Bagi Madrid, kekalahan itu membuat mereka terpojok. Meski bakal bermain di Santiago Bernabeu di leg kedua, banyak pihak memprediksi Madrid bakal keluar dari Liga Champions.
Advertisement
Apalagi, merujuk statistik, Madrid selalu gagal lolos dalam delapan partai terakhir di Liga Champions, jika mereka kalah lebih dahulu di leg pertama.
Angin berbalik. Madrid yang semula diunggulkan kini berada dalam posisi terpojok. Pertanyaan yang sekarang muncul adalah, bisakah Madrid membalikan keadaan ketika statistik dan hasil leg pertama tak menguntungkan mereka?
Spirit Juanito
Untuk menjawabnya, semifinal Piala UEFA (sekarang Liga Europa) musim 1984/85 bisa menjadi acuan. Ketika itu, Madrid bersua Inter Milan di babak semifinal.
El Real kalah 0-2 lebih dulu oleh Inter di Giusseppe Meazza dalam partai yang dihelat 10 April 1985. Dua gol Inter dicetak Liam Brady dan Alessandro Altobelli. Usai pertandingan, pemain Madrid, Juanito langsung menghampiri bek Inter, Graziano Bini.
Juanito, yang kemudian menjadi legenda Madrid, ketika itu berkata "Noventa minuti en el Bernabéu son molto longo." Dalam bahasa Indonesia, kalimat itu berarti 90 menit di Bernabeu adalah waktu yang sangat lama.
Dua pekan kemudian, giliran Madrid yang menjamu Inter di Bernabeu. Entah karena kalimat Juanito itu atau bukan, Madrid tampil trengginas di hadapan publiknya sendiri.
Madrid langsung unggul dua gol sebelum turun minum. Dua gol itu mereka cetak lewat aksi Carlos Alonso Gonzales atau yang lebih dikenal dengan nama Santillana. Madrid kemudian menang 3-0Â atas Inter setelah Michel mencetak gol ketiga di menit 59.
Madrid pun lolos ke babak final dengan kemenangan agregat 3-2 atas Inter. Di final, Madrid bertemu wakil Hungaria, Videoton FC.Dalam final yang dihelat dengan format dua leg, Madrid menang dengan agregat 3-1 dan merengkuh trofi Piala UEFA.
Saat itu, trofi tersebut menjadi yang pertama bagi Madrid dalam 19 tahun terakhir sejak meraih trofi Liga Champions musim 1965-66.
Kisah Juanito dan Madrid di Piala UEFA musim 1984-85 mungkin bisa mejadi pelecut semangat bagi Zinedine Zidane. Sebagai pelatih, Zidane toh tak punya pilihan selain tetap optimistis.
Tak peduli keadaan saat ini, Zidane harus tetap memompa semagat timnya untuk menatap leg kedua, pekan depan.