3 Tokoh Sepak Bola Indonesia yang Pernah Angkat Senjata

Perlawanan tidak hanya dilakukan lewat lapangan hijau, tapi juga ambil bagian di medan pertempuran.

oleh Marco Tampubolon diperbarui 10 Nov 2017, 19:00 WIB
Diterbitkan 10 Nov 2017, 19:00 WIB
Soeratin PSSI
Patung Soeratin, pendiri PSSI di depan Balai Persis Solo, tempat digelarnya Kongres PSSI pertama periode 1930-1940. (Bola.com/Nicklas Hanoatubun)

Liputan6.com, Jakarta Setiap 10 November, Indonesia merayakan Hari Pahlawan. Momen ini dimanfaatkan untuk mengenang jasa mereka yang berjuang mengusir penjajah. Tidak hanya lewat kontak senjata dan jalur diplomasi, perlawanan juga ternyata dilakukan lewat sepak bola. 

Sejarah mencatat bahwa sepak bola juga jadi alat bagi masyarakat Indonesia dalam membangkitkan rasa nasionalisme demi menjaga semangat persatuan dan kesatuan. 

Perlawanan dari lapangan hijau bermacam rupa. Salah satunya melalui pembentukan Persatuan Sepakraga Seluruh Indonesia (PSSI) di Mataram pada 19 April tahun 1930. PSSI didirikan untuk menandingi organisasi serupa yang mengakomodasi kepentingan klub-klub bentukan Belanda, yakni NIVB atau NIVU (Nederlandsche Indische Voetbal Unie). 

Saat Piala Dunia 1938 berlangsung, PSSI ngotot ingin mengirimkan pemain-pemain pribumi mewakili Indonesia. Namun, NIVB juga ternyata punya kandidat sendiri. Sebagai jalan tengah, kedua organisasi ini pun sepakat mengadu kekuatan timnas yang dibentuk. 

Namun belakangan, NIVB ingkar dan memilih mengirim pasukannya ke Piala Dunia 1938. 

Perlawanan demi perlawanan yang diberikan anak bangsa lewat jalur sepak bola juga telah memunculkan sejumlah tokoh. Mereka memiliki peran masing-masing dalam melawan penjajah. Sebagian bahkan mewujudkannya lewat kiprah mereka di lapangan hijau. 

Berikut adalah tiga tokoh sepak bola Indonesia yang ikut berjuang mengusir penjajah:

1. Soeratin Soesrosoegondo

Latar belakangan sepak bola tidak terlalu kental bagi pria kelahiran Yogyakarta ini. Semasa mudanya, Soeratin menempuh pendidikan sekolah teknik di Jerman. Ia lulus sebagai insinyur sipil, 1927. Meski demikian, semangatnya mengusir penjajah tidak perlu diragukan. 

Soeratin bahkan ikut angkat senjata bersama Tentara Keamanan Rakyat (TKR) berpangkat kolonel. Sumpah Pemuda 1928 lalu mengilhaminya membentuk organisasi PSSI sebagai wadah membangkitkan semangat nasionalisme masyarakat Indonesia lewat sepak bola. 

Setelah berkeliling ke berbagai daerah di Jawa, Soeratin akhirnya mendirikan PSSI 1930. Dia juga terpilih menjadi ketua umum PSSI pertama. 

 

 

Maulwi Saelan

Maulwi Saelan
Maulwi Saelan saat beraksi bersama Timnas Indonesia di Olimpiade 1956 Melbourne, Australia. (Bola.com/Dok. Pribadi)

Namanya mencuat saat memperkuat timnas Indonesia melawan Uni Soviet pada Olimpiade Melbourne 1956. Maulwi menjadi tembok tangguh Tim Merah Putih saat itu.

Pada duel pertama, timnas Indonesia sukses memaksa Uni Soviet bermain 0-0. Sayang, Indonesia akhirnya tersingkir setelah kalah pada leg kedua dengan skor 0-4.

Maulwi juga berjasa membantu Indonesia meraih medali perunggu di Asian Games 1958 dan melaju ke semifinal Asian Games 1954.

Di luar kiprah gemilang di sepak bola, Maulwi ikut angkat senjata melawan penjajah.  Tercatat, Maulwi pernah ambil bagian dalam pertempuran melawan Belanda, antara lain penyerbuan markas NICA di Makassar pada 1945.

Kiprah cemerlang Maulwi di militer membuatnya masuk sebagai anggota pasukan pengamanan presiden pada 1962. Maulwi terhitung pengawal setia Presiden Sukarno.

Maulwi wafat pada 10 Oktober 2016 di kediamannya di Jakarta Barat.

 

Raden Maladi
Raden Maladi (wikipedia)

Raden Maladi

Maladi lebih dulu menjadi penjaga mistar gawang timnas Indonesia ketimbang Maulwi Saelan. Ia tercatat aktif memperkuat sepak bola Indonesia hingga 1940. 

Maladi juga pernah menjabat sebagai Ketua Umum PSSI 1950-1959. Sementara di ranah politik, Maladi pernah menjabat sebagai Menteri Penerangan (1959-1962) dan Menteri Pemudan dan Olahraga (1964-1966).

Maladi tidak hanya berjuang di lapangan hijau. Seperti halnya Maulwi dan Soeratin, Maladi juga ikut angkat senjata mengusir penjajah. Salah satunya saat Pertempuran Empat Hari di Solo. Pada 2003, pemerintah Kota Solo menyematkan nama Raden Maladi pada stadion legendaris, Stadion Sriwedari, untuk menghormati pria yang wafat 30 April 2001 itu.

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya