Hari masih siang. Matahari cukup terik. Seorang pria paruh baya berjalan ke luar Camp Nou. Ia mendatangi Mini Estadi, stadion kecil tempat latihan akademi La Masia.
Awalnya pria itu hanya duduk santai di tribun. Ia sekadar memantau puluhan bocah di lapangan. Namun, ada satu bocah yang membuat raut mukanya serius. Matanya tak pernah lepas dari bocah 13 tahun itu.
Babak pertama usai. Pria paruh baya itu mendekati lapangan. "Hey kamu, sini!," kata pria itu memanggil pelatih akademi La Masia, Carles Rexach.
"Siapa nama anak yang bermain sisi kanan," tanya pria tersebut.
"Namanya Guardiola tuan. Anak yang bagus," jawab Rexach.
Selama beberapa menit, Rexach mengomentari permainan Guardiola. Namun pria itu tak menghiraukannya. "Coba kamu geser dia ke tengah sebagai pivot," pinta pria tersebut.
Pivot merupakan istilah kuno untuk gelandang jangkar. Posisi ini sulit dimainkan ketika itu. Tak banyak klub Spanyol yang menempatkan pemainnya di posisi tersebut.
Rexach awalnya ragu. Namun ia akhirnya menjalankan perintah seniornya tersebut.
Babak kedua usai. Pria paruh baya itu kembali mendekati Rexach. "Mulai sekarang saya mau lihat anak itu bermain sebagai pivot," tegas pria tersebut.
"Oke tuan Cruyff," jawab Rexach.
Ya, pria paruh baya yang dimaksud adalah Johan Cruyff, pemain sekaligus pelatih legendaris Barcelona. Di sinilah ia menemukan bakat emas Guardiola.
Setelah hari itu, Guardiola kecil yang masuk La Masia pada 1984 menghabiskan enam tahun hidupnya di akademi tersebut. Pada 1990, ia akhirnya menembus tim senior Azulgrana.
Saat itu Barca krisis gelandang. Guillermo Amor yang biasa jadi andalan di lini tengah absen saat Barca bertemu Cadiz CF.
Cruyff pun kemudian memberikan kesempatan kepada Guardiola yang baru berusia 19 tahun untuk melakukan debutnya. Sadar akan kesempatannya, Guardiola main habis-habisan. Ia tampil impresif di tengah dan melindungi pertahanan Barcelona.
Cruyff terkesan dengan debut Guardiola. Pada musim berikutnya, Guardiola muda langsung jadi andalan di tengah dan membantu Barca memenangi La Liga dan European Cup (sekarang Liga Champions).
Majalah terkemuka Italia, Guerin Sportivo, sampai melabelinya sebagai pemain terbaik dunia usia 21 tahun ke bawah. Duet Cruyff dan Guardiola tak berhenti sampai di situ.
Keduanya sukses memenangi La Liga lagi pada musim 1992–93 and 1993–94. Kedatangan Romario membuat Barca semakin kuat, sehingga mereka menembus final Liga Champions 1994. Sayangnya, Barca disikat AC Milan.
Dua musim setelah final itu, Cruyff meninggalkan Barcelona. Lalu, apa yang terjadi dengan Guardiola? Simak kelanjutan ceritanya di Kisah Guardiola: Jenderal di Antara Para Jenderal [2]. (Dari berbagai sumber/Vin)
Baca juga:
* 4 Faktor Sukses Real Madrid saat Hantam Galatasaray
* Kabar Duka untuk Pelatih Barcelona
* Tim Kesayangan Menang, Fans Wanita Ini Langsung Buka Baju
* Hasil Pertandingan Liga Champions
* Barca Tak Terpengaruh Gebrakan Madrid
* Real Madrid Mengamuk di Markas Galatasaray
* MU Jinakkan Leverkusen
Awalnya pria itu hanya duduk santai di tribun. Ia sekadar memantau puluhan bocah di lapangan. Namun, ada satu bocah yang membuat raut mukanya serius. Matanya tak pernah lepas dari bocah 13 tahun itu.
Babak pertama usai. Pria paruh baya itu mendekati lapangan. "Hey kamu, sini!," kata pria itu memanggil pelatih akademi La Masia, Carles Rexach.
"Siapa nama anak yang bermain sisi kanan," tanya pria tersebut.
"Namanya Guardiola tuan. Anak yang bagus," jawab Rexach.
Selama beberapa menit, Rexach mengomentari permainan Guardiola. Namun pria itu tak menghiraukannya. "Coba kamu geser dia ke tengah sebagai pivot," pinta pria tersebut.
Pivot merupakan istilah kuno untuk gelandang jangkar. Posisi ini sulit dimainkan ketika itu. Tak banyak klub Spanyol yang menempatkan pemainnya di posisi tersebut.
Rexach awalnya ragu. Namun ia akhirnya menjalankan perintah seniornya tersebut.
Babak kedua usai. Pria paruh baya itu kembali mendekati Rexach. "Mulai sekarang saya mau lihat anak itu bermain sebagai pivot," tegas pria tersebut.
"Oke tuan Cruyff," jawab Rexach.
Ya, pria paruh baya yang dimaksud adalah Johan Cruyff, pemain sekaligus pelatih legendaris Barcelona. Di sinilah ia menemukan bakat emas Guardiola.
Setelah hari itu, Guardiola kecil yang masuk La Masia pada 1984 menghabiskan enam tahun hidupnya di akademi tersebut. Pada 1990, ia akhirnya menembus tim senior Azulgrana.
Saat itu Barca krisis gelandang. Guillermo Amor yang biasa jadi andalan di lini tengah absen saat Barca bertemu Cadiz CF.
Cruyff pun kemudian memberikan kesempatan kepada Guardiola yang baru berusia 19 tahun untuk melakukan debutnya. Sadar akan kesempatannya, Guardiola main habis-habisan. Ia tampil impresif di tengah dan melindungi pertahanan Barcelona.
Cruyff terkesan dengan debut Guardiola. Pada musim berikutnya, Guardiola muda langsung jadi andalan di tengah dan membantu Barca memenangi La Liga dan European Cup (sekarang Liga Champions).
Majalah terkemuka Italia, Guerin Sportivo, sampai melabelinya sebagai pemain terbaik dunia usia 21 tahun ke bawah. Duet Cruyff dan Guardiola tak berhenti sampai di situ.
Keduanya sukses memenangi La Liga lagi pada musim 1992–93 and 1993–94. Kedatangan Romario membuat Barca semakin kuat, sehingga mereka menembus final Liga Champions 1994. Sayangnya, Barca disikat AC Milan.
Dua musim setelah final itu, Cruyff meninggalkan Barcelona. Lalu, apa yang terjadi dengan Guardiola? Simak kelanjutan ceritanya di Kisah Guardiola: Jenderal di Antara Para Jenderal [2]. (Dari berbagai sumber/Vin)
Baca juga:
* 4 Faktor Sukses Real Madrid saat Hantam Galatasaray
* Kabar Duka untuk Pelatih Barcelona
* Tim Kesayangan Menang, Fans Wanita Ini Langsung Buka Baju
* Hasil Pertandingan Liga Champions
* Barca Tak Terpengaruh Gebrakan Madrid
* Real Madrid Mengamuk di Markas Galatasaray
* MU Jinakkan Leverkusen