Citizen6, Jakarta Sukarno, putera sang Fajar yang lahir pada awal abad baru, 1901 itu memang memiliki pesona yang luar biasa. Orang Jawa meyakini, orang yang lahir di saat fajar menyingsing nasibnya kelak akan menjadi orang yang mulia, pemimpin besar bagi rakyatnya.
Dan hal itu terjadi pada Sukarno yang lahir pada 6 Juni di Surabaya.
Baca Juga
Kecintaan rakyat pada presiden Sukarno ini tampak pada acara-acara pidato yang selalu dihadiri oleh ribuan rakyat yang mengaguminya, begitu juga di setiap kota-kota yang dikunjunginya, rakyat menyambutnya gegap gempita.
Advertisement
Dalam Biografi Bung Karno, Penyambung Lidah Rakyat Indonesia, tulisan Cindy Adams yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Syamsu Hadi diceritakan bahwa presiden Indonesia pertama itu juga sangat dikenal oleh semua kalangan, terutama para rakyaat jelata.
Dalam biografi itu dipaparkan, Suatu malam Sukarno pergi dengan mobil kecil tanpa tanpa tanda pengenal.
“Suatu malam aku diam-dia pergi ke Senen, stasiun kereta api di Jakarta, ditemani seorang Komisaris Polisi. Aku keliling ditengah-tengah rakyat dan tak seorangpun memperhatikan kami. Akhirnya untuk memancing percakapan, aku bertanya pada seorang laki-laki. “Dari mana kau ambil batu bata dan bahan bahan bangunan yang kamu kumpulkan ini?”
Mendengar suara itu, seorang perempuan mengenalinya sebagai suara presidennya, dalam beberapa detik saja massa yang sangat banyak berdatangan. Dengan cepat komisaris itu membawa Sukarno pergi.
Tidak saja rakyat kebanyakan yang mengagumi dan mencintai Sukarno. Bahkan para pramuria, pekerja seks komersial pun sangat menghormati dan mengagumi Sukarno dengan memasang foto Sukarno di dinding-dinding kamar, tempat “praktek”nya.
Seperti apa reaksi Bung Karno melihat itu?
Cindy Adam, penulis biografi Bung Karno mengisahkan, waktu itu pukul 5 sore, waktu yang biasa dipakai Bung Karno jalan-jalan, seorang pejabat polisi mendatanginya dengan sikap sangat gelisah.
Polisi itu melaporkan bahwa ia dan timniya baru saja melakukan razia ke tempat pelacuran. Di lokalisasi tersebut ia menemukan foto Bung Karno terpasang di dinding di setiap kamar.
“Pak kami merasa gembira rakyat memuliakan Bapak, tetapi dalam hal ini kami merasa ragu apakah pantas kalau potret Presiden digantungkan di dinding di rumah Pelacuran. Apa yang harus kami lakukan? Apakah potret-potret Bapak harus dipindahkan dari dinding-dinding itu?”
“Jangan, “Tak usah fotoku diturunkan. Biarkan mataku yang tua dan letih itu menikmati pemandangan di sana,”jawab Sukarno.
**Ingin berbagi informasi dari dan untuk kita di Citizen6? Caranya bisa dibaca di sini