Liputan6.com, Jakarta Menjalani sisa-sisa hari tua di kelilingi keluarga mungkin hanya menjadi angan-anganIdaRoyani. Nenek berusia 61 tahun ini terpaksa harus menghabiskan hari-harinya di balik dinginnya jeruji penjara karena tersandung kasus pembunuhan disertai pengeroyokan yang menewaskan tetangganya sendiri. Ramadan kali ini harusdilewatinya bersama ratusan narapidana (napi) lainnya di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Wanita Palembang,Sumatera Selatan (Sumsel).
Baca Juga
Tubuh yang sedikit lunglai dan air muka yang sedih mencerminkan sosok ibu tujuh anak ini. Enam tahun sudah dirinya menjadi bagian dari penghuni lapas yang berada di Jalan Merdeka, Palembang. Dia tak pernah membayangkan bakal menikmati aroma di balik jeruji besi yang selama ini menjadi momok paling menakutkan. Namun, karena ulah brutal kedua anaknya, Ida pun harus terseret ke ruang pesakitan dan terpisah dari keluarganya.
Warga Sungai Ceper, Desa Mesuji, Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI), Sumsel ini harus menahan kesedihan mendalam setelah ia, suaminya dan ketiga anaknya divonis hukuman penjara selama 17 tahun pada 2010 silam.
Advertisement
“Yang membunuh itu anak saya, Makridon dan Saidi, tapi saya, suami saya dan anak pertama saya harus ikut-ikutan di penjara. Padahal kami tidak ikut membunuh, tapi kami semua terseret. Sedih rasanya, karena kami tidak melakukan apa yang dituduhkan keluarga korban,” ucapnya lirih dengan mata yang berkaca-kaca.
Kejadian bermula pada 2010 lalu di Desa Mesuji, saat Makridon dan Saidi bertengkar hebat dengan tetangganya. Perkelahian mereka dipicu uang Rp 35 Juta milik Saidi yang digunakan korban saat bekerja di perusahaan kayu di Pulau Kalimantan. Alih-alih mempertanyakan uang tersebut, korban malah mengajak anaknya kembali bekerja agar uangnya segera kembali. Namun karena emosi tak terkontrol, korban dan kedua anaknya terlibat perkelahian hingga korban akhirnya harus meregang nyawa.
Satu Keluarga Dibui
Hingga saat ini, Ida masih bingung mengapa dirinya dan keluarganya diseret dalam kasus ini. Raut kesedihan pun terlihat dengan jelas di wajah nenek ini, terlebih dirinya tidak bisa lagi bertemu dengan suaminya dan ketiga anaknya yang dibui di Lapas Mata Merah Palembang. Terlebih, saat Ida mengetahui bahwa sang suami, Sugar (71), sering sakit-sakitan di dalam penjara.
“Sedih rasanya mendengar kondisi suami sering sakit-sakitan. Saya sebagai istri tidak bisa mengurusnya saat dia sakit. Anak pertama saya juga harus berpisah dengan istri dan anaknya yang masih kecil, padahal dia tidak ikut membunuh,” ucapnya lirih.
Setiap setahun sekali seusai lebaran, keempat anaknya sering mengunjungi Ida ke lapas. Ada sedikit kebahagiaan yang ia rasakan, saat Ida bisa berkumpul dengan anak-anaknya dan melihat cucu-cucunya dengan tingkah yang menggemaskan.
Ida ingin segera bebas dari balik penjara. Peluang bebas bersyarat pun menjadi kesempatan yang sedang ia usahakan untuk bisa menghirup udara bebas di luar tembok penjara.
Namun, Ida harus berpikir kembali selepas dirinya bisa menghirup kebebasannya tersebut. Rumah tempatnya bernaung bersama keluarganya dulu, kini sudah menjadi puing-puing reruntuhan karena sudah diporak-porandakan oleh amukan keluarga korban.
Anak-anaknya pun turut pindah dari Desa Mesuji, karena mereka ketakutan jikalau keluarga korban akan melampiaskan kemarahan ke mereka. Kini, Ida tidak tahu keberadaan pasti anak-anaknya dimana.
“Mereka pindah dari desa, tidak tahu sekarang tinggalnya di mana. Kata mereka ada yang pindah ke Kayu Agung, ada juga yang ke Lampung. Mereka sering berpindah-pindah tempat tinggal. Kalau saya bebas, saya juga bingung mau tinggal dimana,” katanya.
Ramadhan kali ini, nyaris tidak ada yang dirindukan sang nenek, kecuali berkumpul kembali bersama keluarganya dan bisa mengulang masa-masa indah di bawah atap rumahnya.
“Tidak ada keinginan apa-apa, saya hanya ingin bebas dan bertemu keluarga saya. Itu saja,” harapnya. (*)
Penulis: Nefri Ryu
Penyuka Travelling dan Menulis
Instagram : @nefri_ryu
Advertisement