Citizen6, Jakarta: Ujian Nasional (UN) telah berlangsung selama sepuluh tahun. Menurut Koalisi Reformasi Pendidikan (KRP) kebijakan ini harus dihentikan. Karena hal ini berdampak buruk tidak saja secara psikologis, sosial, politik, keuangan, dan makin rendahnya mutu pendidikan anak bangsa baik di tingkat nasional maupun internasional.
Pada Konvensi Rakyat bertajuk "Evaluasi Satu Dasawarsa Ujian Nasional" pada 24 September 2013 di Gedung Joeang. Konvensi ini mengevaluasi UN dari persepktif hukum. Hasilnya menunjukkan selama satu dasawarsa UN bertentangan dengan UU Sisdiknas. Selain itu, pemerintah membangkang keputusan Mahkamah Agung. "Pembangkangan pemerintah terhadap keputusan MA harus dihentikan. Ini buruk sekali bagi pembelajaran bangsa," tutur praktisi dan pegiat pendidikan Suparman.
Dari perspektif pembelajaran, UN membunuh kreatifitas guru, membodohkan sistem belajar-mengajar, sehingga guru dan siswa sama-sama hanya melaksanakan latihan soal dan tidak lagi belajar, apalagi bernalar. "Budaya belajar direduksi menjadi berlatih soal ujian nasional," tegas Itje Chodidjah, aktivis Koalisi Reformasi Pendidikan dari Ikatan Guru Indonesia.
Dari perbandingan negara-negara di dunia, UN tidak banyak dilaksanakan karena dampaknya memerosotkan kualitas belajar siswa dan menciptakan ketakutan yang luar biasa. "Di Amerika tidak ada Ujian Nasional. UN hanya dilaksanakan di sejumlah negara bagian yang disesuaikan dengan kondisi setempat," tutur Elin Driana, dosen Uhamka yang juga menjadi salah satu Juru Bicara Koalisi Reformasi Pendidikan.
Dari banyak perspektif, kajian terbaru dari sisi psikologi diungkapkan Ifa Misbach. Dia menyebutkan UN telah menyebabkan dampak buruk bagi kepribadian, mental dan karakter siswa. "Hampir semua koresponden pernah menyontek dan tidak jujur dalam melaksanakan UN. Kebiasaan buruk ini akan mempengaruhi sikap dan perilaku siswa sepanjang hidupnya," tambah Ifa.
Prof Iwan Pranoto, guru besar ITB, yang memelopori terbentuknya Koalisi Reformasi Pendidikan ini mengungkapkan kesalahan pemerintah adalah tidak serius membuat kajian pemetaan mutu pendidikan dan analisis secara saintifik. "Pemerintah lalai melakukan pemetaan ini. Akibatnya pendidikan dan UN hanya menghasilkan siswa dan generasi nirnalar. Siswa diajarkan kemampuan usang yang tak cocok lagi diberikan pada abad digital seperti sekarang," tambahnya.
Koalisi Reformasi Pendidikan menyatakan pentingnya beberapa gagasan berikut ini sebagai fokus evaluasi UN.
1. Perlunya pemerintah melakukan reposisi terhadap Ujian Nasional kembali ke fungsi seharusnya, yaitu sebagai salah satu uji diagnostik untuk pemetaan kualitas layanan pendidikan dengan menaati kaidah-kaidah uji diagnostik yang tepat [dilakukan dengan pengambilan sampel, periodik 3-5 tahunan, mendalam, mencandra spektrum kecakapan yang benar-benar penting untuk kehidupan di abad 21], serta tidak dikaitkan dengan kelulusan peserta didik maupun penghakiman terhadap guru dan satuan pendidikan.
"Kita menginginkan perubahan yang fundamental. Ubah UN jadi uji diagnostik atau pemetaan, bila perlu tidak lagi disebut sebagai Ujian Nasional untuk Pemetaan, melainkan Evaluasi Pendidikan untuk Pemetaan, atau Survey Kualitas Pendidikan Nasional, atau Penilaian Pendidikan Indonesia, melalui uji sampling, dengan prioritas sekolah-sekolah yang kualitasnya masih rendah. Ini bertujuan untuk dasar pengambilan kebijakan intervensi pendidikan berkelanjutan.
2. Mengembalikan proses kelulusan peserta didik kepada satuan pendidikan sesuai amanat Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, sembari meningkatkan kemampuan satuan pendidikan dalam melakukan evaluasi pembelajaran yang bersifat menyeluruh dan berorientasi pada proses tumbuh kembang berkelanjutan dari peserta didik.
" Dengan tegas harus dinyatakan bahwa Guru dan Lembaga Pendidikanlah yang mengevaluasi proses pendidikan peserta didik sesuai dengan UU sidkiknas. Yang kita minta adalah dikembalikan lagi otonomi guru dan lembaga pendidikan dalam mengevaluasi proses pendidikan peserta didik sesuai dengan amanat UU Sisdiknas No. 20 tahun 2003," tegas Doni Koesoema.
3. Memperhatikan penempatan berbagai evaluasi pendidikan secara strategis dan berhati-hati sebagai bagian integral yang akan memperkaya dan mengarahkan proses pembelajaran, terutama setelah kengototan penerapan kurikulum baru, agar tidak mengulangi kesalahan penerapan kurikulum yang dinafikan oleh Ujian Nasional.
"Dengan dihapuskannya UN, kita tidak ingin membebani siswa dengan berbagai macam uji high-stake, kecuali sistem evaluasi formatif yang dilakukan oleh guru dan sekolah."
KRPÂ mengusulkan satu ujian high stakes pada akhir kelulusan SMA, itu pun hanya untuk menentukan pilihan fakultas di Universitas, bukan kelulusan siswa dari SMA. Kelulusan itu tetap ada pada otonomi sekolah. Dan Ujian High Stakes seperti ini dilakukan oleh lembaga Independen yang melibatkan masyarakat dan Universitas. Ujian High Stakes untuk masuk PT seperti ini pun bisa dihilangkan bila sistem seleksi masuk perguruan tinggi sudah dilakukan oleh lembaga independen. Jadi, sekolah akan fokus pada peningkatan kualitas pendidikan. Lembaga independen inilah yang akan menyeleksi mahasiswa baru. Intinya, jangan kita membebani pengalaman belajar anak-anak dengan berbagai macam evaluasi pendidikan yang tidak perlu.
4. Berfokus pada upaya penjaminan layanan pendidikan bermutu bagi setiap insan di setiap penjuru nusantara yang dilandasi oleh kajian seksama dan perencanaan strategis dalam satu dekade ke depan, agar setiap insan mampu mengembangkan kecakapan dan sikap yang relevan dengan kehidupan di abad 21 dengan tetap berlandaskan dan tidak mengabaikan nilai-nilai kebudayaan nasional Indonesia.
"Pemerintah WAJIB menjamin 8 Standard Layanan pendidikan sesuai amanat Undang-Undang di setiap sekolah, serta menaati Keputusan MA untuk melaksanakan mandat ini," ujar Kreshna Aditya, anggota KRP lainnya menambahkan. (Dhitta Puti Sarasvati/kw)
*Dhitta Puti Sarasvati adalah pewarta warga
Anda juga bisa mengirimkan artikel disertai foto seputar kegiatan komunitas atau opini Anda tentang politik, kesehatan, keuangan, wisata, social media dan lainnya ke Citizen6@liputan6.com.
Â
Pada Konvensi Rakyat bertajuk "Evaluasi Satu Dasawarsa Ujian Nasional" pada 24 September 2013 di Gedung Joeang. Konvensi ini mengevaluasi UN dari persepktif hukum. Hasilnya menunjukkan selama satu dasawarsa UN bertentangan dengan UU Sisdiknas. Selain itu, pemerintah membangkang keputusan Mahkamah Agung. "Pembangkangan pemerintah terhadap keputusan MA harus dihentikan. Ini buruk sekali bagi pembelajaran bangsa," tutur praktisi dan pegiat pendidikan Suparman.
Dari perspektif pembelajaran, UN membunuh kreatifitas guru, membodohkan sistem belajar-mengajar, sehingga guru dan siswa sama-sama hanya melaksanakan latihan soal dan tidak lagi belajar, apalagi bernalar. "Budaya belajar direduksi menjadi berlatih soal ujian nasional," tegas Itje Chodidjah, aktivis Koalisi Reformasi Pendidikan dari Ikatan Guru Indonesia.
Dari perbandingan negara-negara di dunia, UN tidak banyak dilaksanakan karena dampaknya memerosotkan kualitas belajar siswa dan menciptakan ketakutan yang luar biasa. "Di Amerika tidak ada Ujian Nasional. UN hanya dilaksanakan di sejumlah negara bagian yang disesuaikan dengan kondisi setempat," tutur Elin Driana, dosen Uhamka yang juga menjadi salah satu Juru Bicara Koalisi Reformasi Pendidikan.
Dari banyak perspektif, kajian terbaru dari sisi psikologi diungkapkan Ifa Misbach. Dia menyebutkan UN telah menyebabkan dampak buruk bagi kepribadian, mental dan karakter siswa. "Hampir semua koresponden pernah menyontek dan tidak jujur dalam melaksanakan UN. Kebiasaan buruk ini akan mempengaruhi sikap dan perilaku siswa sepanjang hidupnya," tambah Ifa.
Prof Iwan Pranoto, guru besar ITB, yang memelopori terbentuknya Koalisi Reformasi Pendidikan ini mengungkapkan kesalahan pemerintah adalah tidak serius membuat kajian pemetaan mutu pendidikan dan analisis secara saintifik. "Pemerintah lalai melakukan pemetaan ini. Akibatnya pendidikan dan UN hanya menghasilkan siswa dan generasi nirnalar. Siswa diajarkan kemampuan usang yang tak cocok lagi diberikan pada abad digital seperti sekarang," tambahnya.
Koalisi Reformasi Pendidikan menyatakan pentingnya beberapa gagasan berikut ini sebagai fokus evaluasi UN.
1. Perlunya pemerintah melakukan reposisi terhadap Ujian Nasional kembali ke fungsi seharusnya, yaitu sebagai salah satu uji diagnostik untuk pemetaan kualitas layanan pendidikan dengan menaati kaidah-kaidah uji diagnostik yang tepat [dilakukan dengan pengambilan sampel, periodik 3-5 tahunan, mendalam, mencandra spektrum kecakapan yang benar-benar penting untuk kehidupan di abad 21], serta tidak dikaitkan dengan kelulusan peserta didik maupun penghakiman terhadap guru dan satuan pendidikan.
"Kita menginginkan perubahan yang fundamental. Ubah UN jadi uji diagnostik atau pemetaan, bila perlu tidak lagi disebut sebagai Ujian Nasional untuk Pemetaan, melainkan Evaluasi Pendidikan untuk Pemetaan, atau Survey Kualitas Pendidikan Nasional, atau Penilaian Pendidikan Indonesia, melalui uji sampling, dengan prioritas sekolah-sekolah yang kualitasnya masih rendah. Ini bertujuan untuk dasar pengambilan kebijakan intervensi pendidikan berkelanjutan.
2. Mengembalikan proses kelulusan peserta didik kepada satuan pendidikan sesuai amanat Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, sembari meningkatkan kemampuan satuan pendidikan dalam melakukan evaluasi pembelajaran yang bersifat menyeluruh dan berorientasi pada proses tumbuh kembang berkelanjutan dari peserta didik.
" Dengan tegas harus dinyatakan bahwa Guru dan Lembaga Pendidikanlah yang mengevaluasi proses pendidikan peserta didik sesuai dengan UU sidkiknas. Yang kita minta adalah dikembalikan lagi otonomi guru dan lembaga pendidikan dalam mengevaluasi proses pendidikan peserta didik sesuai dengan amanat UU Sisdiknas No. 20 tahun 2003," tegas Doni Koesoema.
3. Memperhatikan penempatan berbagai evaluasi pendidikan secara strategis dan berhati-hati sebagai bagian integral yang akan memperkaya dan mengarahkan proses pembelajaran, terutama setelah kengototan penerapan kurikulum baru, agar tidak mengulangi kesalahan penerapan kurikulum yang dinafikan oleh Ujian Nasional.
"Dengan dihapuskannya UN, kita tidak ingin membebani siswa dengan berbagai macam uji high-stake, kecuali sistem evaluasi formatif yang dilakukan oleh guru dan sekolah."
KRPÂ mengusulkan satu ujian high stakes pada akhir kelulusan SMA, itu pun hanya untuk menentukan pilihan fakultas di Universitas, bukan kelulusan siswa dari SMA. Kelulusan itu tetap ada pada otonomi sekolah. Dan Ujian High Stakes seperti ini dilakukan oleh lembaga Independen yang melibatkan masyarakat dan Universitas. Ujian High Stakes untuk masuk PT seperti ini pun bisa dihilangkan bila sistem seleksi masuk perguruan tinggi sudah dilakukan oleh lembaga independen. Jadi, sekolah akan fokus pada peningkatan kualitas pendidikan. Lembaga independen inilah yang akan menyeleksi mahasiswa baru. Intinya, jangan kita membebani pengalaman belajar anak-anak dengan berbagai macam evaluasi pendidikan yang tidak perlu.
4. Berfokus pada upaya penjaminan layanan pendidikan bermutu bagi setiap insan di setiap penjuru nusantara yang dilandasi oleh kajian seksama dan perencanaan strategis dalam satu dekade ke depan, agar setiap insan mampu mengembangkan kecakapan dan sikap yang relevan dengan kehidupan di abad 21 dengan tetap berlandaskan dan tidak mengabaikan nilai-nilai kebudayaan nasional Indonesia.
"Pemerintah WAJIB menjamin 8 Standard Layanan pendidikan sesuai amanat Undang-Undang di setiap sekolah, serta menaati Keputusan MA untuk melaksanakan mandat ini," ujar Kreshna Aditya, anggota KRP lainnya menambahkan. (Dhitta Puti Sarasvati/kw)
*Dhitta Puti Sarasvati adalah pewarta warga
Anda juga bisa mengirimkan artikel disertai foto seputar kegiatan komunitas atau opini Anda tentang politik, kesehatan, keuangan, wisata, social media dan lainnya ke Citizen6@liputan6.com.
Â