Pemerintah Diminta Tak Gegabah untuk Hidupkan Kembali Ujian Nasional

Terkait hal itu, Kepala Bidang Advokasi Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G) Iman Zanatul Haeri mengatakan, pemerintah dalam hal ini Kemdikdasmen, jangan dulu gegabah menghidupkan kembali ujian nasional.

oleh Putu Merta Surya Putra diperbarui 04 Jan 2025, 07:30 WIB
Diterbitkan 04 Jan 2025, 07:30 WIB
Siswa SD Jalani USBN
Siswa mengikuti Ujian Sekolah Berstandar Nasional (USBN) mata pelajaran Bahasa Indonesia di SD Negeri Cipinang 03, Jakarta, Senin (22/4). Siswa SD sederajat menjalani USBN mulai hari ini hingga 24 April 2019 dengan tiga mata pelajaran yang diujikan. (merdeka.com/ Iqbal S. Nugroho)

Liputan6.com, Jakarta Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Mendikdasmen), Abdul Mu'ti berencana akan evaluasi sistem pembelajaran, salah satunya mengenai kembali akan menghadirkan ujian nasional bagi pelajar Indonesia.

Terkait hal itu, Kepala Bidang Advokasi Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G) Iman Zanatul Haeri mengatakan, pemerintah dalam hal ini Kemdikdasmen, jangan dulu gegabah menghidupkan kembali ujian nasional.

"Jika UN digunakan sebagai penentu kelulusan siswa, ini jelas harus ditolak. Karena bersifat high-stakes testing bagi murid," kata dia dalam keterangannya, Sabtu (4/1/2025).

Iman menjelaskan, fungsi UN pada masa lalu mencampuradukan fungsi asesmen sumatif bagi murid, formatif bagi sekolah, bahkan dijadikan alat menyeleksi murid masuk ke jenjang pendidikan di atasnya dalam proses PPDB yang menggunakan nilai UN. Nilai UN tertera di belakang ijazah sebagai bentuk sertifikasi (penyertifikatan) capaian belajar siswa.

"UN pada masa lampau sangat tidak adil, hanya berorientasi kognitif, mendistorsi proses pendidikan itu sendiri, dan mengkotak-kotakan mana mata pelajaran penting dan yang tidak," jelas dia.

Meski demikian, Jika Mendikdasmen Mu'ti ingin menghidupkan UN seperti era menteri Muhadjir Effendi, di mana ujiannya tetap ada tapi tak menjadi penentu kelulusan, maka bisa saja diterapkan.

"Tetapi harus jelas tujuan, fungsi, skema, anggaran, kepesertaan, instrumen, teknis implementasi, dan dampaknya. Apakah ujiannya berbasis mata pelajaran, apa saja? Empat mata pelajaran Matematika, Bahasa Inggris, Bahasa Indonesia dan mata pelajaran pilihan untuk SMA/SMK/MA? Atau justru semua pelajaran yang di-UN-kan?," kata dia.

Kalau UN, lanjut dia, bertujuan untuk mengevaluasi implementasi kurikulum, harusnya semua mata pelajaran dalam Standar Isi yang diujikan.

"Jika UN berbasis mata pelajaran, risiko biaya akan besar. Biaya UN dulu menguras APBN sampai Rp500 miliar. APBN untuk Kemdikdasmen tahun 2025 saja hanya 33,5 triliyun. Rasanya anggaran UN yang besar itu akan mengganggu program prioritas pendidikan yang lain," jelas dia.

 

Sejumlah Rekomendasi

Karena itu, kata Iman, Kemdikdasmen perlu dilakukan evaluasi terhadap sistem pendidikan dalam rangka pengendalian mutu dan pencapaian standar nasional nasional sebagaimana perintah UU Sisdiknas.

Selain itu, berharap Pemerintah menghidupkan kembali lembaga mandiri dan independen yang berwenang melakukan evaluasi dan menilai pencapaian standar nasional pendidikan.

"P2G merekomendasikan agar Evaluasi Pendidikan Nasional (apapun namanya) yang akan dilaksanakan harus dilakukan secara terpadu, bersifat low-stakes, tidak berbasis mata pelajaran, dan fokus pada foundational skills," jelas dia.

Iman juga menuturkan, Kemdikdasmen hendaknya fokus kepada evaluasi untuk pemetaan kompetensi mendasar siswa yaitu: kompetensi literasi dan kompetensi numerasi. Sebab hasil tes terstandar nasional untuk menguji kemampuan dasar literasi dan numerasi dapat dijadikan alat ukur pemetaan mutu dan kompetensi murid secara nasional.

"Memang era Nadiem hingga sekarang ini sudah diadakan Asesmen Nasional (AN), tapi banyak kelemahannya," kata Iman.

Adapun sejumlah kelemahannya, diantaranya; metodologi pengambilan sampel yang kurang valid dan reliable, sekolah dengan jumlah siswa 700 atau 50 siswa di kelas 11 SMA/MA/SMK, samplingnya sama yaitu 45 orang.Kemudian, konten dan model soal AN merupakan kombinasi model soal PISA dan TIMSS, AN menciptakan diskriminasi kepada guru dan siswa yang minim akses internet, perangkat digital, dan listrik.

Selain itu, lanjut Iman, fakta lainnya, soal AN lebih sulit daripada soal PISA dan TIMSS.

"Tapi anehnya hasil nilai AN siswa secara nasional malah naik. Padahal hasil PISA menunjukkan skor Indonesia makin jeblok tahun 2022 lalu. Ini paradoksalnya AN," pungkas Iman.

DPR Akan Panggil Mendikdasmen soal Rencana Menghidupkan Kembali Ujian Nasional

Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Mendikdasmen), Abdul Mu'ti berencana akan evaluasi sistem pembelajaran, salah satunya mengenai kembali akan menghadirkan ujian nasional bagi pelajar Indonesia.

Terkait hal ini, Wakil Ketua Komisi X DPR RI Lalu Hadrian Irfani berencana akan memanggil Mendikdasmen untuk meminta penjelasan mengenai Ujian Nasional atau UN yang akan dihidupkan kembali.

"Kami akan mengundang Mendikdasmen dan mendengar penjelasan beliau terkait rencana UN. Tentu, kami juga akan menyampaikan usulan dan aspiri dari masyarakat," kata dia dalam keterangannya, Kamis (2/1/2025).

Menurut Lalu, pada dasarnya Komisi X DPR RI mendukung UN dilaksanakan kembali. Namun, ia mengingatkan bahwa UN jangan jadi momok bagi siswa.

"Kami mendukung penuh jika UN kembali dilaksanakan hanya saja hal itu tidak boleh menjadi momok bagi peserta didik termasuk meminimalkan keterlibatan polisi dalam proses persiapan maupun pengawasan," jelas dia.

Lalu menyatakan, UN harus menjadi alat untuk mengukur kualitas pendidikan di Indonesia, bukan menjadi syarat kelulusan. Menurut Lalu, selama tidak ada UN, banyak keluhan yang muncul dari para guru dan orang tua siswa.

Keluhan itu seperti semangat belajar siswa menurun dan anak terkesan seenaknya dan malas belajar. Akhirnya, kemampuan anak dalam akademik rendah.

Namun, kata Lalu, rencana UN itu harus dikaji secara matang, inovatif dan tidak menggunakan format lama. Selain itu, UN juga harus bisa meningkatkan kompetensi siswa.

Menurut Lalu, UN bukan hanya meningkatkan kompetensi kognitif siswa, tapi juga mesti meningkatkan kepribadian dan ketrampilan para siswa. Sebab, sebelumnya UN hanya fokus pada kompetensi kognitif siswa.

"Yang jelas UN reborn harus inovatif, mempunyai format berbeda, menyenangkan, dan bisa meningkatkan tiga kompetensi siswa," jelas Lalu.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya