Seperti Apa Citizen Journalism yang Ideal?

Dalam bicara buku UMN, Pepih Nugraha memaparkan Citizen Journalism telah menjadi transmisi. Warga bukan hanya sebagai penerima tapi pewarta.

oleh Liputan6 diperbarui 15 Okt 2013, 07:30 WIB
Diterbitkan 15 Okt 2013, 07:30 WIB
131015pepih.jpg
Citizen6, Tangerang: Dalam acara bicara buKu (RAK) Universitas Multimedia Nusantara (UMN) yang digelar perdana, Jumat 11 September 2013, Pepih Nugraha dalam bukunya yang berjudul Citizen Journalism (CJ) memaparkan CJ telah menjadi sebuah transmisi, warga bukan hanya sebagai penerima saja tapi juga sebagai pewarta.

Sebagai wartawan maupun citizen journalist (CJ), Kang Pepih menjelaskan konsep citizen journalist yang ideal. Yakni harus memiliki nose for news, yakni curiosity (keingintahuan), skeptic (keragu-raguan), observation (mengawasi), change (mengamati perubahan perilaku), dan compare (mengamati perbandingan). Berangkat dari sana, CJ bisa menuliskan berita atau opini yang dituangkan dalam postingan di blog ataupun media seperti Kompasiana. Bukan hanya itu saja, tapi juga mencakup fiksi, tips, dan tutorial. Tulisan tentunya juga harus memperhatikan news value.

Meski demikian, ada hal yang perlu digarisbawahi, CJ tidak bisa disebut sebagai wartawan. "Citizen Journalism lebih pas disebut pewarta warga, karena kalau kita menjadi seorang wartawan, pertama kita harus punya pekerjaan itu. Lalu kita perlu melakukan cover both side terhadap suatu isu dan juga verifikasi. Pewarta warga tidak melakukan itu. Yang terakhir, wartawan akan terpaku pada kode etik wartawan sementara CJ hanya berpegang pada netiket atau sopan santun berinternet," ungkap wartawan Kompas sekaligus manajer Kompasiana itu. 

Ia juga menambahkan di samping perbedaan tersebut, tetap ada 7 dosa besar yang harus dihindari oleh wartawan maupun CJ, dan semuanya dijelaskan dalam buku Citizen Journalism karangannya.

Dalam acara tersebut, Kang Pepih turut sharing mengenai asyiknya menjadi CJ dengan blog pribadi. Ia mulai menggeluti social media (blog) tahun 2005 dengan blog bernama 'Beranda T4 Berbagi'. Salah satu postingannya ialah ia mempertanyakan dan menganalisa mengapa orang Indonesia kalau ada acara bangku terdepan selalu kosong. Apakah karena orang Indonesia sangat menghormati senior atau merasa rendah diri untuk duduk di depan. 

"Kalau saya tulis berita ecek-ecek seperti itu di harian Kompas, tidak mungkin. Apa urusannya, itu opini bukan peristiwa, bukan berita. Tapi kalau saya nulis di blog asik-asik aja, nggak ada yang larang dan bahkan ada yang berkomentar, bertestimoni. Lama-lama merasa asik nulis di blog," katanya.

Kegiatan ngeblog Kang Pepih tersebut akhirnya menjadi bahan kritikan di kalangan wartawan Kompas, tapi itu malah membuatnya semakin teguh. Tahun 2008, ia pun mendapat kesempatan untuk membentuk Kompasiana dengan mengedepankan connecting dan sharing.

"Saya nulis, tiba-tiba sudah ada yang komen. Itulah arti dari connecting, bisa terhubung, bisa sharing meskipun beritanya ecek-ecek. Kalau di Kompas cetak hanya bisa sharing, tapi saya tidak tahu gimana reaksi pembaca terhadap tulisan saya," ujarnya.

Hingga tahun yang kelima, Kompasiana yang terbuka untuk publik dan gratis, bisa menghasilkan 1000 tulisan setiap harinya. "Inilah gairah warga yang tak bisa ditahan," tuturnya. (Chininta Rizka Angelia/Mar)

Chininta Rizka Angelia adalah Public Relation Executive|Universitas Multimedia Nusantara dan juga pewarta warga yang bisa dihubungi lewat akun Twitter: @umn_serpong, Email: chininta@umn.ca.id, dan Facebook: Universitas Multimedia Nusantara.

Anda juga bisa mengirimkan artikel disertai foto seputar kegiatan komunitas atau opini Anda tentang politik, kesehatan, keuangan, wisata, social media dan lainnya ke Citizen6@liputan6.com.

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya