Nelayan (bukan) Dagangan Politik

Memasuki tahun politik, kegiatan untuk mendapatkan perhatian konstituen makin marak. Politik diartikan sebagai sarana untuk mencapai kekuasa

oleh Liputan6 diperbarui 25 Okt 2013, 07:42 WIB
Diterbitkan 25 Okt 2013, 07:42 WIB
kapal-imigran-gelap-131001b.jpg
Citizen6, Jakarta: Memasuki tahun politik, kegiatan untuk mendapatkan perhatian konstituen makin marak. Politik diartikan sebagai sarana untuk mencapai kekuasaan. Tetapi nyatanya di Indonesia politik menjelma sebagai alat untuk memperkaya diri dan golongan. Padahal jika dilakukan dengan baik politik menjadi kekuatan untuk membangun kesejahteraan bersama. Berbagai strategi dilakukan parpol untuk merebut hati masyarakat melalu kampanye, spanduk, iklan menyentuh hati dan tak lupa disertai dengan janji-janji manis. masyarakat Indonesia sudah cerdas dalam memilih pemimpin yang benar-benar amanah. Sebenarnya media komunikasi hanya sebagai alat bantu untuk sosialisasi yang dibutuhkan adalah sejauh mana parpol atau calon wakil rakyat berperan nyata untuk masyarakat.

Arif Satria (2000), nelayan merupakan kelompok sosial yang selama ini terpinggirkan,baik secara sosial, ekonomi, maupun politik. Lihat saja tingkat kesejahteraan nelayan masih jauh dari kata sejahtera. Data Badan Pusat Statistik mencatat jumlah nelayan miskin di Indonesia pada tahun 2011 mencapai 7,87 juta orang atau 25,14 persen dari total penduduk miskin nasional yang mencapai 31,02 juta orang. Selain itu, pendapatan nelayan Indonesia berada di bawah standar garis kemiskinan yang ditetapkan Bank Dunia yakni sebesar Rp520 ribu per bulan.

Secara sosial nelayan tidak mampu menjangkau kebutuhan pokok seperti sandang, papan, pangan dan kesehatan serta pendidikan yang layak. Pemerintah melalui KKP sudah menganggarkan untuk peningkatan kesejahteraan nelayan tahun 2012 sebesar 1,17 triliun. Tapi belum mampu mengentaskan nelayan dari kemiskinan. Walaupun Indonesia sudah berganti presiden sebanyak 6 kali tapi tak diiringi peningkatan kesejahteraan nelayan. Sebagai kaum miskin nelayan menjadi sasaran empuk komoditas politik bagi parpol dan wakil rakyat dalam melamggengkan kekuasaannya.

Di Jepang, sinergis antara wakil rakyat dan nelayan dalam melawan kebijakan pemerintah Jepang  yang mengurangi kebijakan subsidi untuk nelayan sehingga subsidi tidak lagi dikurangi.  Selain itu adanya kepercayaan tinggi antara nelayan dan wakil rakyatnya sehingga secara otomatis akan mendukung perpolitikan. Berbanding terbalik dengan keadaan di Indonesia. Menurut Yugi Kadin Bidang Kelautan dan Perikanan yang mengungkapkan nelayan sebagai pekerja di sektor ini menurutnya selalu dijadikan simbol kampanye karena ketidakseriusan pemerintah dalam membangun sektor perikanan dan kelautan (detik.com).

Jika saja, politisi Indonesia memandang nelayan bukan memandang sebagai objek suksesi politisi semata tentunya akan mampu meningkatkan kesejahteraan nelayan. Lihat saja ketika para politisi sudah meraih posisi empuk seakan amnesia dengan janji manisnya. Hanya tersisa kalender, kaos dan sembako dari politisi yang menguap. Politisi Indonesia seharusnya mencontoh politisi Jepang dalam mengelola trust konstituen terutama nelayan. Nelayan memang lemah, tapi bukan menjadi komoditas dagangan kaum politisi. Terbukalah hati kaum politisi, jadikan nelayan sebagai kaum yang harus disejahterakan bukan hanya diberi janji manis belaka. Nelayan sejahtera, Indonesia Makmur! (Restu Putri Astuti / kw)

Restu Putri Astuti adalah pewarta warga.

Mulai 16 Oktober-1 November ini, Citizen6 mengadakan program menulis bertopik "6 Alasan Aku Cinta Indonesia". Ada merchandise eksklusif bagi 6 artikel terpilih. Syarat dan ketentuan bisa disimak di sini.

Anda juga bisa mengirimkan artikel disertai foto seputar kegiatan komunitas atau opini Anda tentang politik, kesehatan, keuangan, wisata, social media dan lainnya ke Citizen6@liputan6.com.



POPULER

Berita Terkini Selengkapnya