Pemasungan, Bentuk HAM Penyandang Disabilitas Mental yang Terabaikan

Ketua Perhimpunan Jiwa Sehat Indonesia Yeni Rosa Damayanti menyinggung ragam disabilitas yang terkesan dilupakan pada peringatan Hari Disabilitas Internasional pada 3 Desember kemarin.

oleh Ade Nasihudin Al Ansori diperbarui 04 Des 2019, 19:00 WIB
Diterbitkan 04 Des 2019, 19:00 WIB
Disabilitas mental
Menurut Yeni, masih ada individu ODGJ yang belum terpenuhi hak kebebasannya sebagai manusia.

Liputan6.com, Jakarta Ketua Perhimpunan Jiwa Sehat Indonesia (PJSI) Yeni Rosa Damayanti menyinggung ragam disabilitas yang terkesan dilupakan pada peringatan Hari Disabilitas Internasional pada 3 Desember kemarin. Yeni menyebut, ragam disabilitas yang dimaksud yakni disabilitas mental atau Orang dengan Gangguan Jiwa (ODGJ).

Menurut Yeni, masih ada individu ODGJ yang belum terpenuhi hak kebebasannya sebagai manusia.

"Masih ada sekitar 4000 ODGJ yang dipasung di Jakarta. Pemasungan ini tentunya merampas hak kebebasan mereka sebagai manusia," kata Yeni dalam konferensi pers bertajuk 'Mereka yang Dilupakan: Pelanggaran HAM di Panti-Panti Rehabilitasi Psikososial, Rabu (4/12/2019) di Jakarta Pusat.

Yeni menambahkan, keadaan ini sudah berlangsung lama. Penyiksaan dan pelayanan tidak manusiawi acap kali diberikan kepada para ODGJ. Misalnya seperti yang terjadi di Panti Galuh Bekasi dan Panti Al Ridwan Cilacap.

"Bahkan kita tak usah jauh-jauh ke pedesaan untuk melihat pemasungan. Di tengah kota Bekasi saja masih ada praktik pemasungan," ucap Yeni. 

 

Tak Cukup Hanya Ratifikasi

Komnas HAM mengeluarkan laporan berjudul "HAM Penyandang Disabilitas Mental di Panti Rehabilitasi Sosial" dan mengungkap beberapa fakta. Berdasarkan laporan tersebut, Komnas HAM menganggap masih ada pembiaran oleh negara terhadap perampasan hak ODGJ karena panti-panti yang tidak layak itu beroprasi di bawah izin pemerintah atau bukan panti ilegal.

Selain itu juga banyak perbuatan yang merendahkan martabat ODGJ. Contohnya, pemasungan, pengurungan, merantai kaki atau tangan, dan membiarkan mereka makan dan buang hajat di ruangan yang sama.

Ketua Komnas HAM Ahmad Taufan Damanik menyebut harus ada tindakan pemerintah untuk memperbaiki keadaan tersebut. Ratifikasi konvensi PBB tentang Hak-Hak Penyandang Disabilitas pada 2011 dan UU No. 8 tahun 2016 dirasa belum cukup.

"Pemerintah itu sudah meratifikasi konvensi penyandang disabilitas tahun 2011. Kemudian 2016 mengeluarkan UU No. 8 tentang penyandang disabilitas. Ada langkah maju sebetulnya, tetapi belum diikuti dengan upaya pemerintah secara serius untuk merevisi regulasi, peraturan termasuk program terkait dengan penyandang disabilitas," kata Taufan dalam acara yang sama.

Taufan berpendapat, seharusnya langkah pertama adalah merevisi peraturan di bawahnya yang bertentangan dengan prinsip yang terkandung. Isi UU harus menghormati mereka sebagai manusia sama dengan yang lain. Dalam praktiknya masih ada yang menyimpang. Praktik ini tidak direview dan dibiarkan berjalan terus, padahal bertentangan dengan prinsip undang-undang. 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya