Dilengkapi Bahasa Isyarat, Warga Difabel Tangerang Rayakan Natal di Gereja Katedral

Restu rela menempuh jarak jauh untuk mendapatkan aksesibilitas beribadah di Gereja Katedral dengan menggunakan bus setiap minggunya.

oleh Ade Nasihudin Al Ansori diperbarui 26 Des 2019, 10:00 WIB
Diterbitkan 26 Des 2019, 10:00 WIB
Penyandang tuna rungu
Ki-ka: Frans Susanto, Suster Maria, Restu. Ada berbagai manfaat yang Restu dapatkan setelah bergabung dengan Paturka Gereja Katedral. (Foto: Liputan6.com/Ade Nasihudin Al Ansori)

Liputan6.com, Jakarta Tersedia akses bagi penyandang disabilitas menjadi alasan para difabel beribadah dan merayakan Natal di Gereja Katedral. Sejak 2001 silam, gereja Katolik yang terletak di area Jakarta Pusat ini memang telah menyediakan penerjemah bahasa isyarat bagi jemaat penyandang tuli. 

Restu, seorang jemaat tuli bergabung dengan Paguyuban Tuna Rungu Katolik (Paturka) Gereja Katedral sejak dua tahun silam. Ada berbagai manfaat yang ia dapatkan dari paguyuban ini.

“Saya bisa mendapatkan akses, di sini ada penerjemah bahasa isyarat untuk bisa mendengar firman Tuhan, juga membantu teman-teman tuli lainnya untuk mendapatkan akses yang sama.  Akses itu bukan dalam ibadah saja tapi juga hal lainnnya seperti seminar,” kata Restu melalui penerjemah bahasa isyarat, Frans Susanto.

Frans yang merupakan satu-satunya penerjemah bahasa isyarat di Katedral mengaku sudah melayani jemaat difabel di Gereja Katedral sejak 2002. Sedang Paturka sendiri sudah berdiri sejak 2001 silam. Restu yang merasa terbantu menyampaikan pesannya pada Frans.

“Tolong tetap melayani, jangan bosan-bosan walau sudah hampir 20 tahun di sini,” katanya.

 

Berasal dari Tangerang

Restu sebetulnya bukan berasal dari Jakarta melainkan dari Tangerang. Ia rela menempuh jarak jauh untuk mendapatkan aksesibilitas beribadah ini dengan menggunakan bus setiap minggunya. Menurutnya, di gereja lain khususnya di Tangerang belum ada penerjemah bahasa isyarat.

“Saya juga sudah mengajak teman-teman untuk beribadah di Katedral, tapi banyak teman mengeluh karena jaraknya jauh. Saya tetap berusaha untuk panggil mereka dengan memberi contoh, walaupun jauh saya tetap mau datang ke sini,” katanya.

Selain memiliki akses ibadah, Restu juga mengaku mendapatkan aksesibilitas lainnya seperti adanya kelas bahasa isyarat dan pelatihan keterampilan seperti menjahit. Ia mengaku belum bisa menjahit tapi teman-temannya sudah bisa.

“Saya berharap dapat mengajak semua teman tuli bukan hanya yang Katolik saja untuk melakukan kegiatan positif bersama-sama, pemberdayaan ekonomi, dan menumbuhkan rasa toleransi,” kata Restu.

Ia juga berpesan pada teman-teman difabel agar tak menyerah untuk mengadvokasi, meminta hak, dan aksesibiltas di fasilitas umum. 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya