Bandung Punya Perguruan Silat Gratis Khusus Disabilitas

Dedy, merupakan contoh salah seorang warga Bandung yang melayangkan protes dengan tindakan nyata, untuk menghasilkan solusi kendala yang dihadapi oleh kelompok disabilitas.

oleh Liputan6.com diperbarui 20 Feb 2020, 15:01 WIB
Diterbitkan 20 Feb 2020, 15:01 WIB
Sekolah Pencak Silat Disabilitas
anak-anak disabilitas mulai dilatih mengenal seni pencak silat yang ada di sekolah, dan dalam perjalanannya APSIDI mulai memperlihatkan denyut perkembangannya. (Foto: Istimewa/Dedy Ardian)

Liputan6.com, Bandung - Sore yang mendung itu, sayup - sayup terdengar suara alat musik ritmis dan seruling tradisional di Sekolah Luar Biasa BC Yayasan Pendidikan dan Latihan Anak Berkelainan (SLB BC YPLAB) Wartawan Bandung. Pusat suara berada di sudut sekolah yang terletak di Jalan Komplek Wartawan IV No 31a, Turangga, Kecamatan Lengkong, Kota Bandung, Jawa Barat.

Saat didekati, suara dua alat musik itu semakin jelas berasal dari alat pemutar lagu dengan pengeras suara. Terdengar pula suara lantang instruksi mengarahkan sebuah gerakan. Pencak silat, jika dilihat sekilas dari gerakannya.

Tampak dari belakang pekarangan yang tidak begitu luas, sekelompok remaja bahkan anak-anak bergerak rapi, mengikuti arahan seorang pelatih di depannya. Namun saat mengitari lokasi latihan pencak silat itu, baru terlihat pesertanya adalah kelompok disabilitas.

“Niat awalnya adalah sebuah kekecewaan dengan harga terapis anak-anak difabel yang begitu mahal. Maka dari itu saya berpikir keras dan mencari ide bagaimana caranya menyatukan sebuah terapi, seni dan olahraga,” kata Dedy Ardian, pelatih pencak silat khsusus disabilitas kepada Liputan6.com, Bandung, Kamis, 20 Februari 2020.

Pilihan akhir, jatuh pada bela diri pencak silat ucap Dedy. Pada dasarnya, Dedy bukanlah pelatih salah satu bela diri tradisional Indonesia itu. Dia hanya seorang pengajar di sebuah sekolah luar biasa di Kota Bandung.

 

Bentuk Protes terhadap Pelayanan bagi Disabilitas

Berbekal modal nekad, pengabdian dan rasa kecewa terhadap pelayanan terapis bagi disabilitas, akhirnya Dedy mulai berguru perlahan dibantu oleh istrinya. Alhasil, beberapa jurus dan gerakan pencak silat dicoba disederhanakan sesuai kemampuan mereka.

“Saya yang langsung ngelatihnya. Jurus-jurus dan rangkaian gerak, saya menyadapnya dari istri saya. Nama istri saya, Iim Komalawati kebetulan salah satu anggota perguruan pencak silat Simpay Wargi Budhi Kancana,” tutur Dedy.

Dedy, merupakan contoh salah seorang warga Bandung yang melayangkan protes dengan tindakan nyata, untuk menghasilkan solusi kendala yang dihadapi oleh kelompok disabilitas. Malas, mungkin itu kata yang tepat bagi seorang Dedy, melayangkan protes dengan bersilat lidah tanpa bukti.  

Padahal, peran negara sangat penting untuk mewujudkan keadilan bagi para penyandang disabilitas agar mendapat jaminan fasilitas yang sama, sehingga tidak ada lagi diskriminasi karena perbedaan tersebut. Sebagaimana UU Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat dan menurut UU Nomor 20 Tahun 2003, disebutkan bahwa Sistem Pendidikan Nasional menekankan hak setiap warga negara untuk memperoleh pendidikan sesuai dengan jenjang, jalur, satuan, bakat, minat, dan kemampuannya tanpa diskriminasi.

“Pada hakikatnya setiap individu manusia memiliki potensi yang berbeda-beda. Setiap individu tidak akan mempunyai potensi yang sama persis seperti individu yang lain. Dalam diri individu sudah terdapat potensi terpendam yang dapat dimaksimalkan tergantung bagaimana peran eksternal untuk memaksimalkan potensi individu tersebut,” ungkap Dedy.

Membentuk Asosiasi Pencak Silat Disabilitas

Agar potensi terpendam kelompok disabilitas dapat disalurkan lanjut Dedy, pada tanggal 17 Februari 2018 dibentuklah Asosiasi Pencak Silat Disabilitas (APSIDI). Dedy bilang, asosiasi itu dibentuk dari aktivitas anak-anak disabilitas yang mempunyai kemampuan di bidang seni.

Dedy menjelaskan di tanggal yang sama, anak-anak disabilitas mulai dilatih mengenal seni pencak silat yang ada di sekolah, dan dalam perjalanannya APSIDI mulai memperlihatkan denyut perkembangannya. APSIDI ini hadir karena pada hakikatnya setiap individu manusia memiliki potensi yang berbeda-beda.

“Sebagaimana dijelaskan dalam UU Nomor 4 Tahun 1997 pasal 1 tentang penyandang cacat, dijelaskan bahwa disabilitas atau kecacatan adalah setiap orang yang mempunyai kelainan fisik dan atau mental yang dapat mengganggu atau merupakan rintangan dan hambatan untuk melakukan kehidupan secara selayaknya. Para difabel dikategorikan sebagai penyandang cacat fisik, mental atau keduanya,” ungkap Dedy.

Menurut penjelasan undang - undang tersebut terang Dedy, penyandang disabilitas adalah orang orang yang terlahir dengan dua kelainan fisik atau mental seperti pola pikir yang membuat perkembangan mereka tidak sesuai dengan manusia yang normal. Akan tetapi, kondisi yang demikian tidak menghambat mereka untuk menunjukkan bahwa mereka mampu menjadi atlet yang berprestasi baik di level nasional maupun internasional walaupun dalam keadaan disabilitas.

Pada sisi lain Dedy menuturkan selain olahraga, seni menjadi media penting menuangkan ekspresi bagi setiap orang, termasuk penyandang disabilitas. Seni bahkan mampu menjadi sarana terapi dan ajang eksistensi bagi mereka yang berkebutuhan khusus. 

“Pada zaman urban ini masyarakat dituntut untuk memberikan kreativitas dalam berkarya, karena sebuah kreativitas seni tidak memandang siapa pun yang akan melakukannya. Dalam pasal yang lain yaitu pasal 28 C Undang-undang Dasar 1945 dituliskan bahwa setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia,” ujar Dedy.

Pada dasarnya para penyandang disabilitas harus mampu berinteraksi dan berdiri sendiri dengan menumbuhkan semangat dan kemampuan berkreativitas dalam seni dan olahraga. Kunci utama adalah kehendak dan usaha. 

Mereka memiliki kehendak untuk mengikuti rehabilitasi di antaranya rehabilitasi tubuh melalui seni relaksasi. Melalui pendekatan dengan mendengarkan musik dan melihat tarian, bahkan mengajarkannya sehingga bisa merelaksasi fisik dan pikiran agar tidak semakin lemah.

“Untuk itu kepada disabilitas yang ikut latihan, saya berikan pola latihan dengan pemanasan, gerak dasar jurus, latihan ibing (aplikasi jurus ke dalam gerakan yang diiringi musik, terus pendinginan dan pola latihannya di ulang-ulang. Latihannya dari jam 13.00 WIB sampai jam 14.30 WIB,” tandas Dedy.

Gratis

Dedy mengingatkan, seluruh kegiatan pencak silat khusus disabilitas yang digagasnya sama sekali tidak dipungut biaya alias gratis. Modalnya hanya satu untuk calon peserta dan orang tua, yaitu cukup modal ikhlas dan mau membawa anak ke tempat latihan.

Program gratis latihan pencak silat khusus disabilitas ini, terus dibewarakan oleh Dedi disetiap ada kesempatan. Salah satunya adalah saat pertunjukan anak didiknya. Terakhir kampanye latihan pencak silat gratis ini usai pertunjukan serupa di Universitas Islam Nusantara (Uninus) bulan Desember 2019 lalu.

“Sudah satu tahunan, sekarang peserta latihan pencak silat gratis terakhir ada 29 orang. Usia tidak dibatasi, numpang promo nih latihannya setiap Kamis jam 13.00 WIB di Jalan Wartawan Buah Batu Bandung,” sebut Dedy. 

Dedy bersyukur inisiatifnya tersebut mendapatkan respon positif dari para orang tua siswa. Dirinya bahagia dengan ‘kemenangan kecil’ yang diraihnya.

Sabar dan ikhlas dalam mencari solusi bagi peningkatan kapasitas kelompok disabilitas. Dedy mengklaim dirinya bukan orang baik, namun selalu berusaha lebih baik dalam memperjuangkan hak disabilitas.

Durasi latihan dua jam setengah latihan pencak silat khusus disabilitas pun berakhir. Gerimis tetap turun, tetapi keceriaan peserta latihan disabilitas tidak padam. (Arie Nugraha)   

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya