Liputan6.com, Jakarta Memiliki anak dengan disabilitas adalah anugerah sekaligus tantangan tersendiri bagi para orangtua. Tak seperti anak biasa, anak spesial membutuhkan perawatan yang khusus dan kesabaran ekstra.
Seperti dikisahkan oleh Dewi Pertiwi, ibu dari Jakarta Barat yang berjuang membesarkan buah hatinya yang menyandang Down Syndrome, Ahmad Fikry.
Baca Juga
Dalam merawat Fikry, tak jarang wanita yang berprofesi sebagai dosen di perguruan tinggi swasta ini menghadapi dilema. Salah satu dilema yang sempat dihadapi adalah ia harus merawat buah hatinya dengan intens tapi di sisi lain ada pekerjaan sehari-hari yang perlu diselesaikan.
Advertisement
Ia pun memilih untuk fokus merawat Fikry dan mengambil cuti selama dua semester.
“Usia bulan ketiga Fikry mulai menjalani terapi-terapi, saya mengajukan cuti di luar tanggungan perusahaan, pekerjaan saya sebagai dosen perguruan tinggi swasta, dengan mengambil cuti selama 2 semester,” ujar Dewi kepada Disabilitas Liputan6.com melalui pesan tertulis Sabtu (24/7/2022).
Cuti panjang yang diambil, ia manfaatkan untuk melatih dan mendampingi Fikry untuk melakukan berbagai terapi yang disarankan dokter klinik tumbuh kembang.
“Saya fokus pada proses tumbuh kembangnya, dan hasilnya cukup memuaskan. Fikry punya ekspresi bagus, tertawa, sedih, merespons, cukup bisa bergerak normal seperti tengkurap, duduk, dan merangkak dan berjalan di usia 18 bulan yang tidak terlalu tertinggal dengan pertumbuhan anak reguler,” katanya.
* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Berkembang dengan Baik
Pengorbanan cuti kerja dua semester ternyata berbuah baik. Ibu berusia 58 ini kembali beraktivitas ketika putranya menginjak usia 3.
“Saya mulai mencari baby sitter untuk menggantikan saya mengasuh Fikry. Bersamaan dengan itu, Fikry sudah saya masukkan ke play group.”
Usia 3 hingga 8 tahun adalah masa keemasan bagi Fikry. Di usia ini ia belajar banyak. Bahkan, di masa-masa play group dan taman kanak -kanak, Fikry berkembang seperti anak-anak TK pada umumnya.
Ia aktif ikut senam, menari, menyanyi, mengenal semua jenis warna, dan membaca buku cerita pendek, juga menghafal juz amma dan mengaji iqro.
Fikry yang merupakan anak ketiga juga dikenalkan dengan berbagai bacaan. Jika dibandingkan dengan kakak-kakaknya, ia memang lebih lambat menguasai keterampilan membaca. Kakak-kakaknya yang non disabilitas bisa membaca di usia 3 dan 4 tahun. Sedangkan Fikry bisa membaca di usia 7.
Namun, semakin lama, Dewi melihat ada kemunduran perkembangan Fikry seiring dengan pekerjaannya sebagai dosen semakin sibuk.
“Dilema saya ketika saya mulai sibuk, saya pun melihat kemunduran perkembangannya.”
* BACA BERITA TERKINI LAINNYA DI GOOGLE NEWS
Advertisement
Rela Kerja Part Time
Melihat ada kemunduran dalam perkembangan Fikry, Dewi pun tak tinggal diam. Saat buah hatinya mulai masuk Sekolah Dasar (SD) Inklusi, ia memutuskan untuk mengambil posisi bekerja part time atau paruh waktu.
“Saya memutuskan untuk mengambil posisi bekerja part time, artinya saya hanya mengambil posisi mengajar tanpa jabatan struktural. Saya mengharapkan bisa lebih banyak membersamai Fikry dengan program-program terapi yang masih dibutuhkan.”
Sebelumnya, Dewi menjelaskan, Fikry terdeteksi sebagai Anak dengan Down Syndrome (ADS) ketika usianya kurang lebih 1 bulan. Awalnya dokter obgyn yang menyampaikan bahwa ada kelainan genetik pada Fikry.
“Kami memutuskan untuk memeriksa kromosom Fikry di laboratorium dan hasil lab menyatakan bahwa Fikry memiliki jumlah kromosom 47 yang artinya memiliki kelebihan jumlah kromosom dari yang semestinya yaitu 46. Fikry punya kelainan kromosom 21 yang disebut trisomy.”
Pada masa mengandung, Dewi justru merasa dalam kondisi yang lebih baik dibandingkan pada masa mengandung kedua kakak Fikry sebelumnya.
“Hanya pada kandungan berusia 6 bulan, ketika USG dilakukan dokter, dokter mengatakan ‘air ketuban dalam kandungan terlalu banyak’ itu satu-satunya komentar dokter yang saya ingat.”
Kehamilan Normal dan Sehat
Saat mengandung, Dewi baru menyelesaikan pengobatan masalah darah yang disebut Idiopatik Trombositopenia Purpura (ITP). Ia pun melakukan terapi farmakologi kurang lebih 18 bulan dengan minum obat kortikosteroid.
“Setelah 3 bulan saya tidak konsumsi kortikosteroid, saya mengandung Fikry. Kehamilan normal biasa saja dan saya merasa sehat. Jadi hampir tidak ada masalah kesehatan pada masa kehamilan.”
Tak dapat dimungkiri, awal mengetahui anak bungsunya menyandang Down Syndrome membuat Dewi merasa seperti orang paling malang di dunia.
“Awalnya kami merasa menjadi orang yang paling malang sedunia, orang yang paling menderita.”
Namun, seiring waktu berjalan, Fikry pun mulai memperlihatkan perkembangan yang membahagiakan.
Anak bungsu Dewi itu mulai menunjukkan harapan yang membuatnya lebih semangat dan optimis.
“Perasaan optimis pun tumbuh, akhirnya perasaan (merasa malang) itu pupus dan hilang sama sekali. Alhamdulillah saat ini saya justru melihat dimensi yang lain dari keberadaan Fikry. Dia adalah anugerah Allah yang terbaik untuk kami.
Kini di usia 20, Fikry sudah bisa melakukan berbagai hal sederhana secara mandiri, seperti mandi dan cari handuk sendiri.
“Sekarang kami sangat bersyukur diberi anak spesial, walaupun masyarakat belum merata mempunyai pandangan yang baik terhadap anak spesial,” pungkasnya.
Advertisement