Penelitian: Santri Lama Cenderung Berperilaku Lebih Positif pada Penyandang Disabilitas

Penelitian Pusat Studi dan Layanan Disabilitas (PSLD) Universitas Brawijaya mengkaji tentang wacana disabilitas di lingkungan pesantren Jawa Timur.

oleh Ade Nasihudin Al Ansori diperbarui 05 Apr 2023, 10:00 WIB
Diterbitkan 05 Apr 2023, 10:00 WIB
Tadarul Al Qur'an braile oleh para santri Pondok Pesantren AKB KH Ahmad Dahlan Banyuwangi (Hermawan Arifianto/Liputan6.com)
Tadarus Al Qur'an braile oleh para santri disabilitas netra Pondok Pesantren AKB KH Ahmad Dahlan Banyuwangi (Hermawan Arifianto/Liputan6.com)

Liputan6.com, Jakarta Penelitian Pusat Studi dan Layanan Disabilitas (PSLD) Universitas Brawijaya mengkaji tentang wacana disabilitas di lingkungan pesantren Jawa Timur.

Penelitian ini menggambarkan bagaimana pemahaman masyarakat santri terhadap penyandang disabilitas.  

Dalam beberapa hal, semakin lama seseorang menjadi santri, semakin ia memiliki anggapan dan laku yang lebih positif terhadap penyandang disabilitas.

Di lain hal, anggapan tersebut tidak berlaku di lingkup yang lebih luas seperti dalam kebijakan dan perencanaan pembangunan tempat ibadah.

“Meski masyarakat santri cenderung positif dan memberikan rasa hormat pada penyandang disabilitas, kecenderungan ini tidak bertautan dengan ketersediaan fasilitas publik dan peribadatan yang aksesibel,” melansir NU Online, Selasa (4/4/2023).

Penelitian yang dilakukan pada 2017 ini menyimpulkan bahwa masjid-masjid belum ramah disabilitas.  

Meski begitu, masyarakat santri di berbagai kota dan wilayah tidak mengalami perbedaan signifikan dalam anggapan mereka terhadap penyandang disabilitas. Baik pesantren kecil atau pesantren besar di Jawa Timur menerima penyandang disabilitas sebagai santri, bahkan ada beberapa pengasuh atau pengurus pesantren yang merupakan penyandang disabilitas.  

Pengalaman keseharian bergaul dengan penyandang disabilitas juga menjadi faktor masyarakat santri bersikap positif pada mereka. Santri madrasah yang memiliki teman penyandang disabilitas di sekolahnya memiliki pandangan yang cenderung baik tentang disabilitas.

Penerimaan Pesantren pada Penyandang Disabilitas Cenderung Personal

Sayangnya, faktor pengalaman mengajar santri penyandang disabilitas tidak berperan apa-apa dalam persepsi atau pemahaman pengajar atau pengasuh di pesantren.

Penerimaan pesantren pada penyandang disabilitas dalam hal ini cenderung amat personal. Mereka belum melangkah pada penyediaan fasilitas publik yang ramah disabilitas atau pelibatan penyandang disabilitas dalam ketentuan-ketentuan pesantren.  

Masyarakat santri yang tidak memiliki keluarga penyandang disabilitas memang sama-sama memiliki pandangan yang positif terhadap penyandang disabilitas. Di mana rasa menghormati dan kehendak untuk membantu mengikuti setelahnya. Namun pada tahap tertentu, hal ini hanya berlaku pada wilayah peribadatan saja.

Tidak Berkembang di Lingkup Kebijakan

Pihak pesantren cenderung sulit menyikapi positif penyandang disabilitas di hal-hal yang berhubungan dengan kebijakan.

Pengalaman penyandang disabilitas muslim dan persepsi masyarakat santri terhadap disabilitas sebagaimana dijelaskan di atas memberikan gambaran terhadap kondisi yang terjadi pada masyarakat santri secara umum.

Aksesibilitas dan nilai inklusi masyarakat santri terbangun di beberapa wilayah yang amat personal dan peribadatan tapi tidak berkembang dalam lingkup kebijakan.

Aksesibilitas Masjid Terutama Tempat Wudu

Penelitian ini juga membahas soal aksesibilitas masjid bagi penyandang disabilitas, khususnya pada aspek tempat wudu.

Tempat wudu merupakan kebutuhan vital di masjid bagi para jamaah termasuk yang menyandang disabilitas.

Namun, menurut Pusat Studi dan Layanan Disabilitas (PSLD) Universitas Brawijaya, dari 75 masjid di tiga kabupaten/kota Jawa Timur, tidak semua tempat wudunya akses bagi penyandang disabilitas.

Hanya 4 persen tempat wudu yang cukup leluasa digunakan untuk pengguna kursi roda. Dan 42.67 persen masjid telah meletakkan keran wudhu yang aksesibel.

Terdapat 6.67 persen atau 5 dari 75 masjid yang memiliki pegangan tangan (handrail). Namun, hanya 4 persen atau 3 dari 75 yang telah memenuhi standar.  

Contohnya Masjid Al Munawwar Tulungagung, ini adalah masjid yang memiliki kesesuaian dengan standar yang ditetapkan oleh Peraturan Menteri Pekerjaan Umum (Permen PU) No 6 Tahun 2003.

Walau demikian, pemenuhan standarnya relatif minim karena tidak ada akses parkir atau kamar mandi dan tempat wudhu yang disediakan untuk penyandang disabilitas.

Fasilitas handrail belum ditempatkan di berbagai area masjid, tapi luasan, ramp, dan bukaan pintu di masjid tersebut cukup ramah bagi penyandang disabilitas.  

Infografis Akses dan Fasilitas Umum Ramah Penyandang Disabilitas
Infografis Akses dan Fasilitas Umum Ramah Penyandang Disabilitas. (Liputan6.com/Triyasni)
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya