Liputan6.com, Jakarta Saat berusia 18 tahun, dokter memberi tahu Geraldine Bayless bahwa putrinya yang baru lahir tidak akan selamat malam itu.
Sejak itu, Geraldine yang kini berusia 88 tahun itu tak pernah luput pada perkembangan putrinya. Ia bahkan kerap mendatangi panti jompo-- tempat tinggal putrinya yang kini berusia 70 tahun.
Baca Juga
"Saya berdoa agar Tuhan membiarkan Valerie hidup untuk saya," kata Bayless, dilansir dari Disabilityscoop.
Advertisement
"Jadi dia hidup untuk saya dan saya hidup untuknya."
Sejak lahir, Valerie menderita cerebral palsy atau kelumpuhan otak yang membuatnya tidak dapat berbicara atau berjalan.
Mengingat keterbatasan itu, Geraldine mendedikasikan hidupnya untuk kebahagiaan putrinya, menghabiskan sisa hidupnya untuk memberikan perawatan langsung di rumah.
Perawatan rutin itu termasuk mengangkat, memberi makan, mengajar, membersihkan, merawat, menghibur, dan mencintai. Itu artinya ia telah merelakan sebagian besar hobi, liburan, atau karier.
"Dia membuatku kuat," kata Geraldine. “Merawat Valerie dan dua anak saya yang lain membuat saya kuat, karena saya bersedia melakukannya.”
Meski Geraldine secara fisik tidak dapat melakukan aktivitas khusus untuk merawat putrinya, namun dia masih mampir ke panti jompo selama dua hingga tiga jam setiap hari untuk sekadar menyuapi putrinya.
“Dia punya kebiasaan menggigit cangkir atau gelasnya dan aku akan berkata, 'Valerie jangan lakukan itu atau aku akan pulang,” kata Geraldine sambil tertawa.
“Dia akan menggigit tangannya jika dia kesal tentang apa pun dan saya memberi tahu mereka di sana. Atau, dia akan menggigit tangannya jika dia senang tentang sesuatu dan mengeluarkannya dan tertawa. Tapi aku tahu bedanya,” jelasnya sambil menunjukkan kebiasaan Valerie.
Keputusan untuk mempercayakan sebagian besar perawatan Valerie kepada orang lain merupakan keputusan yang sulit.
“Tentu saja, saya tahu segalanya tidak akan seperti rumah. Mereka tidak mungkin, tetapi saya memastikan saya pergi ke sana dan mengawasi perawatannya sebaik mungkin,” kata Geraldine. “Bahkan para dokter akan berkata, 'Geraldine, kamu harus menjaga dirimu sendiri.' Saya hanya membiarkan itu masuk ke satu telinga dan keluar dari telinga yang lain.”
Keluarga Miskin
Geraldine menceritakan masa mudanya. Dia ingat dibesarkan dalam kemiskinan yang parah. Pada 1953, ia pindah bersama keluarganya dari satu tempat ke tempat lain.
Geraldine mengatakan, ia pernah berjalan setengah mil untuk mendapatkan air untuk memasak sebelum ibunya pulang dari melakukan pekerjaan rumah.
"Walau miskin, tetapi saya mencintai ibu dan ayah saya. Ibuku bekerja keras.”
Sejak kelahiran Valerie, Geraldine pun putus sekolah. “Saya masih sangat muda sehingga saya benar-benar tidak tahu apa yang akan saya alami. Tapi aku tahu kami mencintai bayi kami. Tentu saja, dia dari Tuhan.”
Suami Geraldine, Robert, adalah seorang veteran Korps Marinir yang bekerja di sebuah pabrik tekstil.
Advertisement
Pasangan Kompak Membahagiakan Putrinya
Bersama-sama, Geraldine dan Robert berusaha menjaga kehidupan Valerie. Robert sering bersikeras mengajak putri mereka jalan-jalan sore.
Geraldine ingat bagaimana Valerie dan ayahnya tidur siang di sofa setelah bekerja. Setelah menyaksikan ibunya bersih-bersih sepanjang hari hampir sepanjang hidupnya, Valerie merangkak ke arahnya dan, menemukan koran tidak pada tempatnya. Valerie pun menamparnya untuk memberi tahu dia telah melakukan kesalahan.
“Jika ada sesuatu yang tidak pada tempatnya di lantai, atau jika itu bukan tempatnya, dia mengetahuinya dan dia akan memberi tahu Anda tentang itu,” kenang Chip sambil tertawa.
Banyak Tawa dan Tangis
Merawat putrinya bukan hal yang mudah. Namun Geraldine begitu memahaminya. Ia begitu terharu ketika Valerie mengucapkan satu kata dan dia mengatakannya sampai hari ini.
"Ibu."
Meskipun pasangan itu sudah terbiasa dengan rutinitas khusus, ada banyak masa sulit saat Valerie tumbuh dewasa.
Valerie sempat koma karena flu, pernah kejang dan operasi, terapi fisik hingga membuat Geraldine menangis sepanjang waktu.
“Jika ada yang punya alasan untuk menyerah, itu bisa saja. Namun saya suka berpikir bahwa tidak ada yang lebih sulit.”
Advertisement