Liputan6.com, Jakarta - Kekerasan pada anak dapat berdampak panjang pada kondisi mentalnya. Anak yang mengalami kekerasan bahkan bisa saja mengalami serangan panik hingga depresi.
Sayangnya, kekerasan kerap dialami anak dari orang terdekat termasuk ibu atau ayahnya. Menurut psikolog di RS EMC Grha Kedoya Pekayon, Ratu Ade Waznah Sofwat, saat ini banyak orangtua melakukan berbagai bentuk kekerasan ketika membesarkan dan mendidik anak. Baik secara sadar maupun tidak.
Advertisement
“Bentuk kekerasan yang terjadi pada anak dapat berupa kekerasan verbal, kekerasan psikologis, dan kekerasan fisik. Padahal, tindakan kekerasan ini dapat berpengaruh terhadap kesehatan mental anak di kemudian hari dan berpotensi menjadi luka batin yang membekas hingga anak menginjak usia dewasa,” tulis Ratu di laman EMC dikutip Sabtu (9/11/2024).
Advertisement
Sebagai upaya pencegahan bahaya kekerasan pada anak, orangtua wajib memahami lima pengaruh kekerasan pada anak terhadap kesehatan mental sebagai berikut:
Sulit Kendalikan Emosi
Kekerasan yang dialami anak akan berdampak sangat besar pada pengendalian emosi anak. Setelah mengalami kekerasan, anak akan cenderung kesulitan mengendalikan emosinya sehingga lebih mudah dan sering merasa sedih, marah, maupun ketakutan secara berlebihan.
Selain itu, anak juga akan kesulitan untuk tidur dan mengalami mimpi buruk. Kondisi ini bisa bertahan hingga anak dewasa dan berdampak pada perilaku anak di lingkungan sosialnya.
Menarik Diri
Sebagai korban yang mengalami kekerasan oleh orangtua, maka biasanya anak cenderung memiliki pemikiran negatif terhadap suatu persoalan yang dihadapinya. Seperti curiga dan mengalami kesulitan untuk mempercayai orang lain.
Perilaku ini dapat mengakibatkan anak sulit untuk mempertahankan hubungan dengan orang lain, yang berujung kepada timbulnya rasa kesepian.
“Lebih lanjut, dalam beberapa penelitian menyatakan bahwa korban kekerasan yang dilakukan oleh orangtua terhadap anaknya, berpotensi cukup besar mengalami kegagalan dalam membangun hubungan asmara dan berkeluarga,” papar Ratu.
Advertisement
Picu Serangan Panik dan Depresi
Lebih jauh, kekerasan pada anak juga berdampak menimbulkan trauma mendalam bagi aspek psikologis anak. Ini dapat berujung timbulnya masalah mental seperti serangan panik maupun depresi.
Jika tidak ditangani, maka kondisi ini dapat menyebabkan seseorang mengonsumsi benda-benda terlarang seperti alkohol dan narkoba sebagai bentuk pelarian dalam mengatasi trauma yang dialami.
Selain itu, trauma yang dialaminya dapat memicu munculnya pikiran-pikiran negatif seperti pemikiran untuk mengakhiri hidup atau bunuh diri.
Berpotensi Menjadi Pelaku Kekerasan
Kekerasan yang dialami oleh anak-anak dapat berdampak lebih buruk jika mereka sudah menginjak usia dewasa.
Mereka berpotensi melakukan pengulangan hal yang sama, yang mereka alami ketika mereka masih kanak-kanak. Bahkan sering terjadi, jika mereka menjadi orangtua kelak, maka mereka akan melakukan hal yang sama kepada anaknya seperti yang mereka alami di masa kecil.
“Ini akan menjadi siklus yang berulang apabila tidak ada penanganan lebih lanjut yang tepat untuk mengatasi rasa trauma yang terjadi akibat kekerasan yang dialami,” kata Ratu.
Penurunan Fungsi Otak
Kekerasan yang dialami oleh anak dapat pula berdampak terhadap struktur dan perkembangan otak mereka. Sehingga, akan terjadi penurunan fungsi pada beberapa bagian otak.
Penurunan fungsi kognitif ini membuat anak mengalami kesulitan konsentrasi dan fokus terhadap pelajaran di sekolah hingga menurunnya prestasi akademik.
“Risiko ini membawa dampak yang besar ketika sudah memasuki usia lanjut, yaitu munculnya masalah demensia.”
Agar tidak terjadi kekerasan yang dilakukan oleh orangtua terhadap anaknya, maka para orangtua dapat menerapkan pola asuh yang positif bagi anak-anak mereka. Tujuan dari positive parenting adalah mencegah terjadinya tindakan kekerasan pada anak, yang dilakukan secara suportif, konstruktif, serta menyenangkan.
Sebaliknya, jika orangtua adalah korban kekerasan di masa kecil sehingga menimbulkan trauma mendalam. Maka sebaiknya cari bantuan dari psikolog atau psikiater sebagai bentuk penanganan tepat untuk mengatasi pengalaman traumatis tersebut, tutup Ratu.
Advertisement