Awas, Penyakit Tulang Belakang yang Tak Ditangani Berisiko Picu Depresi

Depresi sebetulnya tidak berkaitan secara langsung dengan nyeri tulang belakang, tapi ada potensi mengarah ke sana jika tidak ditangani.

oleh Ade Nasihudin Al Ansori diperbarui 08 Nov 2024, 13:00 WIB
Diterbitkan 08 Nov 2024, 13:00 WIB
Penyakit Tulang Belakang yang Tak Ditangani Berpotensi Picu Disabilitas Mental
Dokter spesialis ortopedi konsultan tulang belakang RS EMC Pulomas, Nicko Perdana Hardiansyah dalam Liputan6 Update Spesial Healthy Monday di SCTV Tower, Jakarta, Rabu (6/11/2024). Foto: Liputan6.com/Ade Nasihudin.

Liputan6.com, Jakarta Penyakit tulang belakang kerap dikaitkan dengan disabilitas fisik atau kelumpuhan. Di samping itu, nyeri tulang belakang yang tak ditangani dalam jangka waktu lama juga memiliki kaitan dengan disabilitas mental salah satunya depresi.

Dokter spesialis ortopedi konsultan tulang belakang RS EMC Pulomas, Nicko Perdana Hardiansyah mengatakan bahwa kedua hal ini tidak memiliki kaitan langsung tapi memang dapat terjadi.

“Disabilitas mental sebetulnya tidak berkaitan secara langsung, tapi pada penelitiannya ketika seseorang sakit tulang belakang tiga bulan berturut-turut tidak ada penanganan maka dia ada potensi depresi,” kata Nicko usai menjadi pembicara di Liputan6 Update Spesial Healthy Monday di SCTV Tower, Jakarta, Rabu (6/11/2024).

Depresi dapat muncul lantaran pasien tidak dapat melakukan aktivitas sehari-hari. Produktivitas pun menurun karena pasien tidak dapat bekerja. Bisa pula ada penurunan rasa percaya diri.

Maka dari itu, guna menghindari depresi dan penyakit yang semakin parah, Nicko menyarankan untuk segera konsultasi dengan dokter guna memastikan kondisi diri. Dia juga mengimbau agar para pasien tidak takut dan ragu bertemu dokter karena mayoritas nyeri tulang belakang tidak berbahaya.

“Jadi sebaiknya konsultasi buat pastikan, karena 80-90 persen sebetulnya kondisinya enggak bahaya kok asal ketahuan,” sarannya.

Angka Penyakit Tulang Belakang yang Berujung Disabilitas Tidak Banyak

Nicko pun menerangkan, penyakit tulang belakang yang berujung pada disabilitas fisik kasusnya tidak banyak.

“Sebenarnya penyakit tulang belakang itu kasusnya yang berat tidak banyak, mungkin hanya sekitar 1 sampai 5 persen. Namun, ketika derajatnya cukup berat, kelumpuhan itu selalu menjadi risiko yang paling ditakutkan pasien,” jelas Nicko.

Secara umum, lanjutnya, kelumpuhan dibagi menjadi dua. Yakni disebabkan oleh penyakitnya sendiri atau potensi tindakan yang dilakukan di tempat atau titik saraf berbahaya.

“Jika itu terjadi memang pasien akan menjadi penyandang disabilitas dan perlu alat bantu,” papar Nicko usai Talkshow Hybrid Spine Center EMC Healthcare bertajuk Nyeri Tulang Belakang? No Worries, Ini Solusinya!.

Alasan Angka Disabilitas usai Operasi Tulang Belakang Makin Minim

Nicko menggarisbawahi, kini angka disabilitas usai operasi tulang belakang jauh lebih kecil dibanding dulu. Bukan tanpa alasan, ini karena teknologi kesehatan yang semakin canggih.

“Sekarang angkanya jauh lebih kecil dibandingkan zaman dahulu karena alatnya makin canggih dan modern,” ujarnya.

Salah satu teknologi yang mengurangi potensi terjadinya disabilitas fisik usai tindakan operasi adalah eagle eye dengan teknologi augmented reality.

Teknologi ini membantu proses pemasangan pen atau implan di tulang belakang agar lebih presisi. Dengan bantuan alat seperti kacamata virtual reality, dokter dapat menentukan titik yang tepat untuk pemasangan pen dan menghindari titik saraf berbahaya yang bisa memicu kelumpuhan.

“Jadi, risiko menjadi sangat minimal, bukan berarti nol persen, tapi jadi sangat minimal,” ucap Nicko.

Lebih Lanjut Soal Augmented Reality

Harmantya Mahadhipta
Dokter spesialis ortopedi dan traumatologi konsultan tulang belakang RS EMC Tangerang, Harmantya Mahadhipta menjelaskan soal augmented reality dalam Liputan6 Update Spesial Healthy Monday di SCTV Tower, Jakarta, Rabu (6/11/2024). Foto: Liputan6.com/Ade Nasihudin.

Dalam kesempatan yang sama, dokter spesialis ortopedi dan traumatologi konsultan tulang belakang RS EMC Tangerang, Harmantya Mahadhipta menjelaskan soal augmented reality atau AR lebih lanjut.

Menurutnya, AR adalah sebuah teknologi yang menggabungkan benda maya berbentuk dua dimensi dan bisa juga tiga dimensi ke dalam sebuah lingkungan nyata lalu memproyeksikannya sebagai realitas dalam waktu nyata.

Augmented reality ini dapat diaplikasikan untuk semua indera, termasuk pendengaran dan sentuhan. Sistem augmented reality ini sudah digunakan di Spine Center RS EMC Grha Kedoya Tangerang. Juga sudah menerima persetujuan FDA 510(k) untuk operasi tulang belakang intraoperatif dengan panduan presisi.

Augmented reality membantu dokter dalam memasang implan dengan presisi seperti robot dan seperti GPS yang menyediakan peta/jalan yang membantu dokter pada saat tindakan operasi. Alat ini juga mengubah data pencitraan pasien menjadi hologram 3 dimensi yang dapat dilihat melalui lensa khusus. Hologram tersebut ditempelkan pada tubuh pasien, sehingga dokter fokus secara langsung pada tujuan pembedahan tanpa harus berpaling dari monitor terpisah.

Infografis Akses dan Fasilitas Umum Ramah Penyandang Disabilitas
Infografis Akses dan Fasilitas Umum Ramah Penyandang Disabilitas. (Liputan6.com/Triyasni)
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya