70 Tahun Dihantui Horor Bom Atom Hiroshima

Para korban selamat bom atom Hiroshima kini buka suara soal pengalaman mengerikan mereka. Agar kejadian serupa tak terulang.

oleh Elin Yunita Kristanti diperbarui 13 Apr 2015, 14:03 WIB
Diterbitkan 13 Apr 2015, 14:03 WIB
Peringatan Bom Atom Hiroshima
Peringatan Bom Atom Hiroshima (Reuters)

Liputan6.com, Hiroshima- Meski namanya 'Little Boy', ia mampu menghancurkan sebuah kota. 'Si Bocah' adalah julukan bom atom yang dijatuhkan dari pesawat bomber EB-29 Superfortress Nola Gay ke Hiroshima, Jepang pada  6 Agustus 1945.

Hari itu, pukul 08.15, muncul kilatan cahaya amat terang yang menyilaukan mata. Lalu, panas dan gelombang kejut bola api raksasa dari reaksi nuklir menghancurkan apapun dalam radius 2 kilometer dari titik ledak. Sekitar 20 menit kemudian, api menjalar ke seluruh kota menghanguskan apapun yang bisa terbakar.

Hiroshi Harada ada di tengah situasi mengenaskan itu. Ia masih ingat kakinya terperosok dalam tumpukan jasad-jasad manusia lembek yang menghalangi ruas jalan sempit di Hiroshima, 70 tahun lalu.

"Kakiku terperosok dalam ke salah satu jasad itu. Sungguh sulit untuk menariknya...Agar bisa lolos, aku tak punya pilihan," kata Harada, kakek 75 tahun, mantan kepala museum bom atom, seperti dikutip dari Reuters.

Ia baru berusia 6 tahun kala itu. Masih bocah. Sehari kemudian, seorang perempuan meraih kakinya, minta air untuk melepas dahaganya.

Harada cepat-cepat melangkah mundur, ia ngeri bukan kepalang saat menyadari potongan daging dari tangan perempuan itu menempel di kakinya.

Peringatan Bom Atom Hiroshima (Reuters)

Kini, jelang peringatan 70 tahun serangan senjata nuklir pertama di dunia, para korban selamat masih merasa berat untuk mengungkap pengalaman mengerikan itu. Namun, karena jumlah mereka yang terus menyusut, lainnya akhirnya buka suara.

"Jumlah korban yang selamat makin menyusut, suara kami makin pelan," kata Harada. "Namun, Hiroshima harus terus mengirim pesan pada dunia, bahwa kengerian itu tak boleh kembali terulang."

Kebanyakan korban selamat Hiroshima seringkali tak mau membicarakan tentang pengalamannya, pada anak sendiri sekalipun. Sebagian merasa, itu terlalu mengerikan. Lainnya mengkhawatirkan diskriminasi yang mungkin akan dialami mereka beserta keturunan.

Malu

Ledakan bom atom di Hiroshima menewaskan 140.000 dari 350 ribu orang yang tinggal di kota itu. Saat ini, masih ada 60.000 korban selamat yang masih hidup. Rata-rata usia mereka mendekati 80 tahun.

Belum usai derita korban bom Hiroshima, 3 hari kemudian, Amerika Serikat kembali menjatuhkan bom atom ke Nagasaki -- yang akhirnya membuat Jepang menyerah kalah pada 15 Agustus 1945. 

Peringatan Bom Atom Hiroshima (Reuters)

Sesaat setelah pengeboman, Shigeo Ito yang kala itu berusia 15 tahun cepat-cepat kembali ke rumahnya. Di tengah jalan, ia dihentikan seorang perempuan yang memohon bantuannya untuk menyelamatkan seseorang yang terperangkap rumah yang roboh.

Namun, permohonan itu ditepis. Ia hampir sampai ke jembatan yang harus ia seberangi menuju rumah.

"Waktu tak bisa menghapus perasaan malu atas diriku sendiri, tiap kali melihat jembatan itu," kata Ito, yang kini berbagi pengalamannya pada anak-anak sekolah.

Sementara, Shuntaro Hida (98) adalah dokter bedah  tentara pada saat pengeboman. Saat keluar rumah sesaat setelah ledakan, ia melihat seorang perempuan, yang ia kira, mengenakan pakaian yang compang-camping.

Beberapa saat ia menyadari, bukan kainnya yang robek, melainkan kulit perempuan tersebut yang terkelupas.

Menurut Hida, horor sesungguhnya dari serangan nuklir adalah dampaknya yang tak kentara pada kesehatan manusia.

"Aspek paling kejam dari serangan nuklir bukan pada kerusakan bangunan yang parah, rusaknya tubuh manusia, atau luka bakar yang terpampang, tapi hancurnya kehidupan manusia akibat dampaknya," kata Hida, yang merawat sekitar 10 ribu korban selamat bom atom.

Di Hiroshima, jumlah pasien penderita leukemia atau kanker darah melonjak drastis 5 tahun pasca-pengeboman.

Fumiaki Kajiya (76) kehilangan adik perempuannya saat pengeboman. Sang adik awalnya diungsikan ke desa, namun karena merengek ingin tinggal bersama orangtuanya, ia kembali ke kota pada 6 Agustus 1945, 3 hari sebelum bom atom dijatuhkan.

Pada tanggal itu, setiap tahunnya, sang ibu menangisi kehilangan anak perempuannya itu di depan altar Buddha.

Kajiya kini menggelar pertunjukkan gambar untuk menggambarkan kengerian bom atom pada anak-anak. "Jika kita sampai melupakan apa yang terjadi di Hiroshima, dunia niscaya akan menjadi tempat yang mengerikan." (Ein/Riz)

Baca juga: [25-10-1955: Kisah Tragis Gadis Sadako dan 1.000 Bangau Kertas](Baca juga: 25-10-1955: Kisah Tragis Gadis Sadako dan 1.000 Bangau Kertas "")

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya