Putin Desak Upaya Pemberantasan Terorisme Pasca-Ledakan di Turki

Putin menilai serangan itu merupakan upaya untuk mengacaukan situasi di Turki.

oleh Rita Ayuningtyas diperbarui 11 Okt 2015, 10:38 WIB
Diterbitkan 11 Okt 2015, 10:38 WIB
Bom Turki
Puluhan orang tewas akibat 2 ledakan yang mengguncang di dekat stasiun kereta api di Ankara, Turki, menjelang demonstrasi kelompok kiri. (www.bgnnews.com)

Liputan6.com, Moskow - Presiden Rusia Vladimir Putin mendesak perlunya menyatukan pemberantasan terorisme. Hal tersebut diungkapkannya saat menyatakan belasungkawa kepada keluarga korban serangan bom kembar mematikan di Ankara, Ibukota Turki.

"Hal ini diperlukan untuk menyatukan upaya dalam memerangi kejahatan ini. Apa yang terjadi di Turki ... tentu merupakan serangan teroris tidak termaafkan, kejahatan teroris dengan banyak korban," kata Putin dalam sebuah wawancara dengan saluran TV Rossiya One, Sabtu 10 Oktober 2015 seperti yang dilansir Xinhua.

Menurut dia, serangan itu merupakan upaya untuk mengacaukan situasi di Turki. Kejelasan provokasi ini terlihat dari waktu serangan yang hanya berselang 3 pekan sebelum pemilihan umum.

Putin pun mengatakan Rusia siap bekerja sama dengan Turki untuk melawan ancaman teroris.


Sekelompok demonstran sedang berpegangan tangan saat ledakan mengguncang di dekat stasiun kereta api di Ankara, Turki. (www.youtube.com)

Sebelumnya, ledakan kembar terjadi di dekat aksi damai sebuah kelompok di depan stasiun kereta api pusat Ankara. Peristiwa ini terjadi sekitar pukul 10.00 waktu setempat, Sabtu 10 Oktober 2015. Ledakan itu terjadi tepatnya di dekat lokasi aksi damai sebuah kelompok yang menuntut diakhirinya konflik berdarah antara separatis Kurdi, Partai Pekerja Turki (PKK), dengan tentara pemerintah.

Ledakan tersebut menewaskan sedikitnya 95 orang. Sebuah lembaga medis bahkan menyebut ledakan itu menewaskan 97 orang dan 400 orang lainnya terluka.

Perdana Menteri Turki, Ahmet Davutoglu menyebut ledakan itu merupakan serangan bom bunuh diri. Namun, belum ada kelompok yang mengaku bertanggung jawab atas peristiwa ini.

Pada 30 September, Rusia mulai melakukan serangan udara terhadap posisi kelompok ekstrimis Negara Islam (IS) di Suriah. Sebuah langkah yang dikritik oleh AS. Dalam 24 jam terakhir, 55 IS di Suriah hancur lebur oleh serangan pesawat Rusia. (Bob/Rie)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya