Liputan6.com, Maralai - Younis terlihat ceria saat tampil, bersama teman-teman sekolahnya. Berseragam sekolah warna merah, bernyanyi, dan menari dengan gerakan serempak. Tak banyak yang tahu, di balik senyuman lebarnya, gadis cilik itu menyimpan luka.
Usianya baru 13 tahun. Namun hatinya menyimpan trauma. Saat berumur 9 tahun, orangtua memaksanya menikah dengan pria yang lebih pantas menjadi kakeknya. Alasannya, demi mempertahankan tradisi.
Samburu adalah suku kuno Kenya -- 'sepupu jauh' dari Suku Maasai. Bagi orang awam, bahasa dan adat istiadat mereka sangat mirip.
Advertisement
Seperti gadis-gadis lainnya, Younis berusaha kuat melawan, tapi tak berdaya. Ada banyak aturan yang membelenggu. Mulai dari pernikahan dini, sunat alat kelamin perempuan, dan beading atau praktek menjanjikan gadis kepada kerabat laki-laki untuk memenuhi kebutuhan seksual -- yang ilegal di Kenya. Korbannya biasanya sudah ditandai dengan kalung manik-manik.
"Ketika aku berusia sekitar 9 tahun, ayah menikahkanku dengan orangtua yang berusia 78 tahun," papar Younis, seperti dikutip dari CNN, Senin (12/10/2015). "Aku pindah ke rumahnya dan tinggal bersama selama sepekan."
"Dia bilang, aku akan menjadi istrinya, tapi aku tak tahu apa-apa saat itu, aku hanya ingin sekolah. Tapi orang itu ingin aku menjadi istri ketiga. Ketika aku menolak permintaanya, dia mencambukku," tutur Younis.
Hingga akhirnya, setitik harapan muncul. Agar gadis polos itu bisa lolos dari 'belenggu adat'. "Aku mendengar, ada seorang wanita yang bisa membantu anak-anak sepertiku. Aku pergi dari Baragoi, bertelanjang kaki, menuju ke Maralal ... Mama Kulea membawaku ke ruang kantornya, setelah itu, dia menyelamatkanku. "
Ada delapan gadis lain di sekolah asrama yang ditinggali Younis saat ini. Semuanya dibawa ke tempat yang aman oleh aktivis bernama Josephine Kulea dan lembaganya, Samburu Girls Foundation.
Bagi gadis-gadis seperti Younis dan 200 lainnya di Kenya, Kulea seperti seorang ibu. Mereka menyebutnya 'Mama Kulea'. Ketika keluarga memutuskan hubungan dengan para gadis, perempuan itu yang menggantikan posisi sebagai ibu.
Perjuangan Mama Kulea
Kulea berjuang melawan tradisi kuno Suku Samburu. Ia memang tak jadi korban, namun, terbesit dalam benaknya bahwa ada hal yang tak beres, yang menjadikan para gadis cilik sebagai objek penderita.
"Misalnya, kami mempraktikkan mutilasi alat kelamin perempuan, masyarakat lain tidak melakukannya," papar Kulea. "Aku merasa ada yang tak beres dan merasa perlu melakukan perubahan. Itu awalnya aku mulai berusaha menyelamatkan para gadis."
Kulea pun memulai aksi penyelamatannya pada tahun 2011, dengan menolong orang terdekatnya.
"Penyelamatan pertamaku adalah 2 sepupuku," jelasnya. "Salah satunya berusia 10 tahun, dan dia adalah salah satu yang dipaksa menikah, seperti kebanyakan gadis di lingkunganku. Ia juga menjalani sunat perempuan," kata Kulea.
Saat mendengar kabar sepupunya akan dinikahkan, lulusan sekolah perawat itu datang dan menyelamatkannya. "Setelah itu aku membawanya ke penampungan."
Dua hari kemudian, kabar pernikahan lain berhembus dari desa. "Padahal, mempelai perempuan sudah kuselamatkan, siapa lagi?," cerita Kulea.
Ternyata, adik korban yang baru berusia 7 tahun dipaksa duduk di pelaminan. Menggantikan sang kakak yang kabur.
Kulea pun tak tinggal dia. Ia bergegas menyelamatkan sepupu ciliknya itu dan melaporkan pamannya. Sunat perempuan dan pernikahan dini ilegal di Kenya sejak tahun 2011. Hukum berada di pihaknya dan dia bekerja bersama polisi. Namun, tidak berarti apa yang dia lakukan tanpa risiko.
Orang tua dan kerabat gadis yang diselamatkan seringkali ditahan dalam waktu singkat. Banyak juga warga Samburu tak menyukai perubahan yang digagasnya.
"Menentang apa yang tumbuh dari komunitasku sendiri, membuat orang memandang aneh padaku. 'Kau harus seperti kami, tidak seharusnya melawan'," jelas Kulea. "Ini memang berisiko bagiku, tapi aku masih harus terus melakukannya."
Perjuangan Kulea untuk menyelamatkan kaum hawa belum berakhir sampai di situ. Masih banyak perempuan yang membutuhkan bantuan.
Misalnya di Manyara, desa nomaden yang dibangun oleh suku Samburu mengikuti musim, sekelompok ibu meminta bantuan Kulea.
Wilayah Manyara yang baru dibangun sebulan lalu berada di ujung jalan rusak. Tidak ada listrik atau air, dan sekolah terdekat jaraknya terlalu jauh untuk ditempuh. Hanya 5% dari masyarakat Samburu di sana yang dapat baca tulis.
Untuk menjangkau orang-orang itu, Kulea menggagas program radio komunitas, begitulah para ibu di desa itu mengenalnya. Gadis-gadis di sana sudah diberi kalung manik-manik -- artinya sudah dijanjikan untuk dinikahi. Yang termuda berusia 7 tahun.
"Semua gadis di desa ini berisiko dinikahkan. Yang satu ini berusia 9 tahun tetapi bakal segera dinikahkan. Itu sebabnya para ibu memintanya bersekolah," tutur Kalea.
Gadis-gadis desa juga diperjualbelikan secara seksual kepada sesama anggota klan, sebelum akhirnya dinikahkan. Semakin banyak manik-manik pada lehernya, semakin tinggi harganya.
Setelah gadis mencapai usia pernikahan, mereka akan menikah dengan seseorang dari klan yang berbeda. Namun, jika terlanjur hamil sebelum dinikahkan, ia terpaksa menjalani aborsi. Jika anak itu sampai lahir, bayi itu tak akan diakui masyarakat.
Dan meskipun mutilasi alat kelamin perempuan dan pernikahan dini adalah ilegal di Kenya, tradisi budaya itu sulit untuk dihentikan.
Gadis lain yang berhasil diselamatkan Kalea adalah Angela. Perempuan berusia 12 tahun itu lolos dari sunat gara-gara trauma. Ia tak tahan melihat darah dan jeritan, lalu dengan segala cara berupaya agar tak mengalami nasib serupa.
"Ketika aku berusia 9 tahun, ayahku ingin aku disunat. Aku lari ke hutan," kata Angela.
Apapun, Kulea bangga dengan warisan budaya suku Samburu yang dimilikinya -- kecuali pernikahan dini, jual beli seksual, dan sunat perempuan.
Ia tampil mengenakan gaun tradisional, Kulea menyanyi dan menari pada upacara kelulusan para garis yang ia selamatkan.
Dia percaya, perempuan dan gadis-gadis seperti Angela dan Younis memiliki peran penting untuk masyarakat di komunitasnya, dan ingin melihat mereka diberi kesempatan memperoleh pendidikan.
"Selalu ada harapan. Makin banyak anak-anak yang mendapatkan pendidikan di sekolah, perubahan akan terjadi di komunitasku di masa depan," pungkas Kalea. (Tnt/Ein)
Advertisement