Liputan6.com, Donetsk - Seorang pemimpin pemberontak Ukraina menolak laporan Belanda yang menyimpulkan rudal atau peluru kendali buatan Rusia yang menjatuhkan pesawat Malaysia Airlines MH17 di atas Ukraina pada tahun 2014. Di mana menewaskan 298 orang.
Laporan terakhir bencana tersebut dikeluarkan pada Rabu 14 Oktober 2015, setelah dilakukan penyelidikan selama 15 bulan oleh kelompok internasional yang dipimpin Badan Keamanan Belanda. Pihak Barat dan Ukraina mengatakan pemberontak menjatuhkan pesawat Boeing 777 itu, tetapi Rusia menyalahkan pasukan Ukraina.
Baca Juga
Aleksandr Zakharchenko selaku pemimpin Republik Donetsk (DNR) mengatakan kepada BBC, bahwa penyelidikan bencana itu tidak dilakukan dengan sepatutnya. Ia membantah bahwa pasukannya memiliki peluncur rudal Buk.
Advertisement
Dia mengkritik Badan Keamanan Belanda, mempertanyakan mengapa tak diungkap siapa pemilik rudal atau lokasi penembakannya. Menurutnya, berdasarkan aturan yang mengatur investigasi kecelakaan internasional, badan tersebut juga tak memiliki kewenangan untuk menyalahkan salah satu pihak.
"Mengapa pihak Malaysia tidak diberikan akses? Mengapa mereka tidak mengumpulkan semua puing-puingnya? Mereka masih belum mengumpulkan semua puing itu," kata Zakharchenko kepada wartawan BBC Tom Burridge yang dikutip Kamis (15/10/2015).
Ketika ditanya tentang pernyataan yang dirilis oleh pemberontak Ukraina setelah MH17 jatuh bahwa mereka telah menembak sebuah pesawat di Ukraina, Zakharchenko mengatakan itu adalah tuduhan yang "mungkin palsu".
Zakharchenko menimpali dengan menyebut mengapa tak ada penutupan wilayah udara Ukraina yang sarat dengan konflik di timur negara itu -- sebuah poin yang juga disebut oleh Badan Keamanan Belanda.
Presiden Badan Keamanan Belanda, Djibbe Joustra mengatakan ada alasan yang kuat untuk menutup wilayah udara Ukraina.
Menteri Luar Negeri Ukraina Pavlo Klimkin membela keputusan negaranya untuk tidak menutup wilayah udaranya, mengatakan bahwa tidak ada yang tahu ada rudal anti-pesawat yang sangat canggih telah dibawa ke Ukraina.
Klimkin malah memuji laporan itu, mendesak laporan pidana terpisah Belanda untuk menguak dalang dan membawa para pelakunya ke pengadilan.
Sementara itu, pejabat penerbangan Rusia meminta badan penerbangan PBB untuk memulai penyelidikan baru pada hari Rabu.
Situasi keamanan yang tidak stabil di timur Ukraina menghambat upaya untuk mengambil puing-puing dan mayat segera setelah bencana.
Pesawat Malaysia Airlines MH17 yang terbang dari Amsterdam ke Kuala Lumpur tersebut jatuh saat puncak konflik pasukan pemerintah dengan kelompok separatis pendukung Rusia, tepat pada 17 Juli 2014.
Sebagian besar korban adalah warga Belanda, 196 orang, termasuk sejumlah orang yang memiliki kewarganegaraan ganda. Penumpang dan awak pesawat lainnya adalah warganegara dari 10 negara. (Tnt/Rie)