Jepang: 1 dari 5 Pegawai Terancam Mati Akibat Kerja Terlalu Keras

Ratusan kematian terkait kerja berlebihan -- stroke, serangan jantung, juga bunuh diri -- dilaporkan terjadi tiap tahunnya di Jepang.

oleh Elin Yunita Kristanti diperbarui 08 Okt 2016, 16:00 WIB
Diterbitkan 08 Okt 2016, 16:00 WIB
Pekerja Jepang
Pekerja Jepang (Reuters)

Liputan6.com, Tokyo - Disiplin, kerja keras, komitmen terhadap pekerjaan adalah prinsip yang berlaku bagi orang Jepang. Semangat itu juga yang membuat negeri yang babak belur di penghujung Perang Dunia II itu bisa bangkit dan menjelma menjadi salah satu kekuatan ekonomi dunia.

Namun, sebuah survei yang baru-baru ini digelar di Negeri Sakura menguak hal negatif di balik kebiasaan kerja yang kelewat keras itu.

Seperlima dari para pegawai Jepang menghadapi risiko kematian akibat kerja berlebihan, demikian menurut survei yang dilakukan pemerintah.

Ratusan kematian dikaitkan dengan kerja berlebihan -- stroke, serangan jantung, juga bunuh diri -- dilaporkan terjadi tiap tahunnya di Jepang. bersamaan dengan sejumlah masalah kesehatan serius, yang memicu gugatan hukum juga tuntutan untuk menangani masalah itu.

Survei tersebut menjadi bagian dari 'buku putih' pertama tentang karoshi atau kematian akibat kerja berlebih yang  didukung oleh kabinet Perdana Menteri Shinzo Abe.

Meski citra para pekerja Jepang, yang bekerja berjam-jam di kantor dan pulang dengan kereta terakhir, mulai berubah. Namun, banyak pegawai menghabiskan jam kerja lebih banyak daripada sesamanya yang ada di negara maju lainnya.

Seperti dikutip dari Guardian, Sabtu (8/10/2016), menurut buku putih tersebut, 22,7 persen perusahaan yang disurvei antara Desember 2015 dan Januari 2016 mengatakan, sejumlah pegawai mencatatkan waktu kerja lebih dari 80 jam lembur tiap bulannya -- ambang resmi di mana potensi kematian akibat pekerjaan menjadi serius.

Laporan tersebut juga mengungkap, sekitar 21,3 persen pekerja di Jepang bekerja 49 jam atau lebih tiap minggunya -- lebih tinggi dari di AS (16,4 persen), Inggris (12,5 persen), dan Prancis (10,4 persen).

Survei itu menyimpulkan bahwa karyawan Jepang juga mengaku memiliki tingkat stres tinggi terkait pekerjaannya. Fakta mendorong pemerintah meminta pihak perusahaan untuk memperbaiki kondisi kerja.

Sebelumnya, Perdana Menteri Shinzo Abe berpendapat, ada yang keliru soal etos kerja orang Jepang. Yakni, "Budaya salah yang menekankan pada waktu kerja yang lama." Bukan produktivitas dan kualitas.  

Live Streaming

Powered by

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya