Terlalu Lelah Bekerja, Kaum Muda Jepang Menjauhi Hubungan Intim

Perkembangan ekonomi dan ketidaksetaraan gender diyakini menjadi akar dari 'sindrom bujangan' yang saat ini tengah melanda Jepang.

oleh Citra Dewi diperbarui 09 Agu 2016, 19:01 WIB
Diterbitkan 09 Agu 2016, 19:01 WIB
Jepang merupakan salah satu negara dengan pertumbuhan ekonomi yang pesat
Jepang merupakan salah satu negara dengan pertumbuhan ekonomi yang pesat (Reuters)

Liputan6.com, Tokyo - Jepang selama ini dikenal sebagai negara dengan pertumbuhan ekonomi pesat. Namun di tengah kemajuannya, Negeri Sakura itu sedang dihantui suatu tren yang dinilai dapat mempengaruhi masa depannya.

Dikutip dari Independent, Selasa (9/8/2016), media Jepang menyebut tren itu sebagai sekkusu shinai shokogun atau celibacy syndrome--sindrom bujangan. Mereka menganggap bahwa masyarakat Jepang tak terlalu tertarik dengan seks.

Sebuah bukti terbaru dari Japan Family Planning Association yang dimuat oleh Japan Times menyebut, 49,3 persen dari 1.134 responden yang berumur 16 hingga 49 tahun tak berhubungan intim selama satu bulan terakhir.

Dari hasil itu, 21,3 persen pria dan 17,8 persen wanita yang telah menikah enggan melakukan hubungan intim karena kelelahan akibat bekerja. Sementara itu, 23 persen wanita lainnya mengatakan bahwa hubungan tersebut membosankan dan 17,9 pria mengaku tak berminat.

Selain itu, laporan dari pusat kependudukan Jepang pada 2011 yang dikutip oleh Max Fisher di The Washington Post, mengungkap tren di kalangan masyarakat Jepang yang lebih ekstrem.

Sebanyak 27 persen pria dan 23 persen wanita tak tertarik untuk membangun hubungan romantis. Sementara itu, 61 persen pria dan 49 persen wanita berusia 18 hingga 34 tahun mengaku tak memiliki pasangan.

Jepang menempati posisi 104 dari 140 negara dalam kesetaraan gender (Reuters)

Menanggapi fenomena itu para ahli mengatakan, perkembangan ekonomi secara pesat dan ketidaksetaraan gender yang tinggi menyebabkan penduduk Jepang "lari dari keintiman".

Menurut World Economic Forum, Jepang menempati posisi 104 dari 140 negara dalam kesetaraan gender, di mana posisi tersebut berada di antara Armenia dan Maladewa.

"Perempuan pekerja profesional terjebak di tengah-tengah kontradiksi itu," tulis Fisher.

Wanita hamil bahkan menikah diharapkan berhenti bekerja. Hal tersebut membuatnya berada di bawah tekanan sosial yang sangat besar dan sering merasa tak memiliki kemajuan dalam karier.

Sementara itu terdapat istilah untuk menyebut wanita yang telah menikah dan bekerja di Jepang, yakni oniyome atau istri iblis.

Fisher melaporkan, wanita berusia awal 20-an memiliki 25 kemungkinan untuk tak menikah dan 40 persennya kemungkinan tak memiliki anak.

Populasi di Jepang makin menyusut dan menua (Reuters)

Tingkat kelahiran di Jepang mencapai rekor terendah pada tahun 2014, yakni 1 juta bayi. Di saat yang sama terjadi 1,3 juta kematian. Hal tersebut dinilai sebagai krisis populasi.

Menurut institut kependudukan Jepang, jumlah penduduk di Negeri Sakura dapat turun hingga ke angka 107 juta pada 2040, atau 20 juta lebih rendah dari saat ini.

Pada saat yang sama, populasi di Jepang makin menyusut dan menua. Hal tersebut menjadikannya 'bom waktu demografis'.

Menanggapi hal tersebut pemerintah Jepang menelurkan kebijakan khusus. Mereka "mendesak" 80 persen para ayah untuk mengambil cuti kelahiran demi meningkatkan "keintiman" dalam keluarga.

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya