Liputan6.com, Berlin - Semasa kampanye pilpres Amerika Serikat (AS), Presiden Barack Obama, mengecam Donald Trump dan menyebutnya tak layak menghuni Gedung Putih. Namun hasil penghitungan suara membawa kabar baik bagi pihak Trump. Ia menjadi presiden terpilih, sementara Obama harus menelan kata-katanya.
Ketika melakukan kunjungan kerja perpisahan ke Eropa pekan ini, Obama sebenarnya tak hanya 'pamit' pada sejumlah kepala negara. Namun ia juga memiliki misi penting, meyakinkan sekutu AS bahwa Trump tidak seburuk yang mereka takutkan. Tentu ini bukan tugas yang mudah.
Sejumlah pemimpin Uni Eropa terang-terangan menunjukkan ketidaksukaan mereka terhadap presiden terpilih AS itu. Sebut saja Presiden Prancis, Francois Hollande, yang mengatakan bahwa berbagai perilaku Trump yang melampau batas membuatnya ingin muntah.
Advertisement
Obama tertangkap oleh bidikan kamera memasang wajah tegang selama pertemuannya dengan Trump di Gedung Putih. Ia sendiri telah menjamin bahwa transisi akan berlangsung tertib. Meski tak dapat dimungkiri terdapat kekhawatiran apa yang telah dicapai pemerintahannya dapat hancur seketika.
Dan seperti dikutip dari The Guardian, Selasa, (15/11/2016), Obama dilaporkan sulit menutupi kegusarannya itu selama bertemu dengan sejumlah pemimpin Eropa di Berlin, Jerman.
"Mereka bingung dengan dia (Trump) karena banyak gagasannya menunjukkan dia tak paham soal urusan luar negeri, belum lagi sikap sombongnya, atau kesenangannya bermain Twitter dan muncul di halaman depan pemberitaan bukan justru sebaliknya, memikirkan langkah yang diperlukan untuk menjaga AS tetap aman dan sejahtera serta menjaga dunia tetap stabil," ujar Obama usai berbincang dengan Perdana Menteri Inggris, Theresa May.
Dalam pertemuannya kelak dengan Kanselir Jerman, Angela Merkel, Obama disebut-sebut juga membahas bagaimana cara menghadapi Trump. Bagi Gedung Putih, Jerman merupakan sekutu yang paling diandalkan di Eropa. Bahkan juru bicara Gedung Putih mengatakan, Merkel adalah "mitra terdekat" AS sepanjang pemerintahan Obama.
Merkel sendiri telah bereaksi menanggapi kemenangan Trump. Di tengah ucapan selamat dari para pemimpin dunia, secara tegas ia mengatakan kerja sama AS-Jerman di masa depan akan sangat tergantung pada penerimaan Trump tentang nilai-nilai "demokrasi, kebebasan, menghormati hukum dan martabat manusia terlepas dari asal, warna kulit, agama, jenis kelamin, orientasi seksual, atau pandangan politik."
Di lain sisi, Obama tidak bisa berharap banyak dari masa depan AS dengan sejumlah sekutu lainnya. Sebut saja Inggris mengingat PM May belum teruji kepemimpinannya. Ini diperparah pula dengan sosok Menlu Inggris, Boris Johnson, yang minim pengalaman.
Sementara perhatian Prancis tengah tersita ke kondisi politik dalam negeri di mana terjadi pemberontakan oleh kelompok anti-kemapanan. Demikian juga dengan sejumlah negara Eropa lainnya yang larut dengan urusan domestik.
Namun terlepas dari siapa pun sosok yang terpilih sebagai Presiden AS berikutnya, pemerintahan Obama mewariskan sejumlah persoalan regional. Mulai dari ISIS hingga penyelesaian konflik Palestina-Israel.
Kunjungan perpisahan Obama ke Eropa tak sekadar perpisahan. Kepada negara-negara yang tergabung dalam NATO itu ia berkepentingan untuk menjamin bahwa kepemimpinan Trump ke depan tidak akan mampu "mengotak-atik" aliansi tersebut.
Tak hanya itu, Obama disebut-sebut pula akan mendesak Eropa untuk membela kesepakatan nuklir monumentalnya dengan Iran serta perjanjian perubahan iklim Paris yang disepakati di era kepemimpinannya.
Tentu, Obama tak ingin Trump "melenyapkan" satu persatu warisan pemerintahannya.