Suara Orang di Dalam Kubur Ini Menghantui Donald Trump

Nenek dari Jared Kushner, menantu Trump, pernah mengelukan sikap anti-imigran yang ditunjukkan AS terhadap para pengungsi Yahudi.

oleh Khairisa Ferida diperbarui 01 Feb 2017, 19:20 WIB
Diterbitkan 01 Feb 2017, 19:20 WIB
20170122-Trump Nobatkan Menantunya sebagai Pejabat Gedung Putih-Amerika
Penasihat Senior Presiden, yang juga menantu Presiden AS Donald Trump, Jared Kushner bersama Stephen Bannon setibanya untuk mengikuti pelantikan penasihat senior dan staf di Ruang Timur Gedung Putih, Washington, Minggu (22/1). (AP Photo/Andrew Harnik)

Liputan6.com, Washington, DC - Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump terang-terangan menunjukkan sikap anti-imigrannya -- meski kakek dan dua istrinya adalah pendatang. 

Hal tersebut ia pertegas melalui kebijakan yang melarang sementara warga dari tujuh negara yang mayoritas penduduknya adalah muslim masuk ke AS. Tak hanya itu, Trump juga memerintahkan pembangunan tembok perbatasan AS-Meksiko.

Atas perintah eksekutifnya tersebut, Trump mempertontonkan sebuah ironi. Presiden ke-45 AS itu melarang warga asing menginjakkan kaki di Negeri Paman Sam sementara ia sendiri merupakan keturunan dari seorang imigran Jerman, Friedrich Drumpfs.

Di tengah kontroversi kebijakan anti-imigran Trump yang masih terus berlanjut, terkuak fakta lain.

Dalam sebuah wawancara, mendiang nenek dari Jared Kushner, suami dari putri Trump, Ivanka, ternyata pernah mengeluhkan penolakan Amerika terhadap pemeluk Yahudi yang melarikan diri dari Holocaust, seperti dirinya.

Wawancara dengan Rae Kushner itu direkam pada tahun 1982. Dan belakangan, rekaman yang dipublikasikan di museum US Holocaust Memorial di Washington itu ramai diberitakan sejumlah surat kabar Israel karena dinilai paralel dengan situasi yang dihadapi para imigran saat ini.

Rae, merupakan satu-satunya di keluarganya yang berhasil bertahan melewati kekacauan Perang Dunia II. Dalam rekaman tersebut, ia menceritakan tentang kesulitan yang dihadapinya sebagai pengungsi Yahudi pada era Nazi.

Perempuan itu juga mengkritik AS yang dilanda sentimen anti-imigran pada saat itu. Rae dilahirkan tahun 1923 di Novogrudok, sebuah kota yang kemudian dikenal sebagai Polandia. Wilayah itu pertama kali diduduki Uni Soviet sebelum akhirnya dikuasai Nazi dan dijadikan perkampungan khusus Yahudi.

Melalui sebuah terowongan, Rae berhasil melarikan diri bersama dengan ayah dan saudara perempuannya. Mereka tinggal di hutan selama sembilan bulan sebelum akhirnya berhasil melintas beberapa perbatasan dan sampai di sebuah kamp pengungsi di Italia.

Rae hidup di sana selama tiga setengah tahun hingga akhirnya seorang kerabatnya di AS membantunya mendapatkan visa bagi dirinya dan suaminya, Joseph. Pasangan ini pertama kali bertemu di Hungaria.

"Beberapa Yahudi, teman ayah saya yang memiliki toko, meninggalkan semuanya dan pergi ke Palestina. (Bahkan sebelum perang) mereka sudah mengatakan kepada orang tua saya, 'jual semuanya dan selamatkan diri'," cerita Rae dalam wawancara itu.

"Tapi kami mendapat masalah. Kami tidak tahu harus lari kemana. Belum ada Israel. Tidak ada tempat yang secara hukum dapat Anda datangi. Sangat sulit untuk mendapatkan visa ke AS: butuh waktu bertahun-tahun...," tambahnya.

Nenek Jared itu juga menerangkan masa itu menjadi sangat sulit bagi keluarga yang memiliki anak-anak kecil.

"Namun beberapa keluarga memutuskan pergi ke Palestina dan mereka bertahan hidup. Kami merasakan anti-semitisme. Kami merasa sesuatu akan datang, tapi kami tidak bisa menolong diri kami sendiri," kata perempuan itu.

"Pintu-pintu di dunia tertutup bagi kami. Anda tahu betapa sulitnya untuk pergi ke Israel? Bocah laki-laki dan perempuan harus tinggal di kamp selama tiga hingga empat tahun sebelum akhirnya mereka bisa ke Palestina. Untuk ke AS jauh lebih sulit. Anda mengirimkan dokumen dan harus menunggu selama bertahun-tahun untuk mendapat visa," terang Rae.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.


Komentar pedas bagi menantu Trump

Rae juga mengenang bagaimana pada tahun 1941 dia termasuk salah seorang dari 50 gadis yang diperintahkan pergi ke alun-alun di Novogrudok. Di sana mereka diminta untuk mencuci batu yang dilumuri darah di mana sebelumnya Nazi telah mengeksekusi sejumlah intelektual Yahudi.

"Ketika band sedang tampil, Jerman menembak mereka. Jasad mereka diletakkan di gerobak sementara kepala mereka yang termutilasi digantung dibelakang gerobak," kata nenek Jared itu.

Kisah perjalanan Rae yang keras dianggap kurang lebih mencerminkan kondisi para pengungsi Suriah saat ini yang melarikan diri dari perang.

"Kami turun dari kereta di Cekoslowakia. Semua perbatasan tertutup bagi kami. Jadi kami bersembunyi sampai gelap. Kemudian kami berjalan melewati bukit-bukit dan menyelundup ke perbatasan. Kami akan berjalan sepanjang malam dan beristirahat ketika siang. Kami terus berjalan hingga ke Cekoslowakia, Austria, dan Hungaria. Saya bertemu suami di sana dan kami pun menikah," ujar Rae.

"Lantas, kami menyeberangi perbatasan ke Italia. Semuanya kami lakukan dengan berjalan kaki di tengah malam sehingga tidak ada yang melihat. Kami tiba di Italia di mana terdapat dua kamp. Salah satunya di Cremona dan satunya lagi di Ladispoli. Tapi kami tinggal di Cremona di mana kami menunggu selama tiga setengah tahun sebelum mendapatkan dokumen untuk berangkat ke Amerika," pungkasnya.

Rae menyesalkan kebijakan keras AS terhadap pengungsi Yahudi terutama pasca-insiden tenggelamnya sebuah kapal pada tahun 1939.

"Bagi orang-orang Yahudi, pintu-pintu ditutup. Kami tidak pernah mengerti alasannya. Bahkan Presiden Roosevelt menjaga pintu agar tetap tertutup. Kenapa? Perahu St Louis terpaksa harus berbalik. Apa yang ditakutkan dunia? Saya tidak mengerti," demikian curahan hati Rae.

Penolakan AS terhadap pengungsi Yahudi yang berasal dari Eropa pada era Nazi dilaporkan meningkat dan peristiwa itu mencerminkan xenophobia dan sentimen anti-imigran yang ditujukan terhadap Yahudi, Katolik, dan beberapa lainnya.

Jared, cucu Rae yang juga menantu Trump menghadapi komentar pedas terkait dengan kebijakan anti-imigran sang mertua.

Surat kabar Israel, Haaretz, mengkritik Jared yang dianggap mengeksploitasi kisah keluarganya pada saat kampanye pilpres AS demi membela Trump dari tuduhan anti-semitisme.

"Jared sendiri yang membawa kisah Holocaust keluarganya ke dalam kehebohan politik. Rasanya cukup adil untuk memaksa dia berkonfrontasi dengan pihak yang saat ini didukungnya karena telah membebankan penderitaan yang dirasakan sang nenek kepada orang lain," ujar kolumnis Hareetz, Allison Kaplan Sommer.

Sosok Jared tidak hanya penting mengingat statusnya sebagai suami dari putri kesayangan Trump.

Namun oleh sang mertua ia juga ditempatkan pada posisi strategis di Gedung Putih yakni, sebagai penasihat senior Trump.

Lanjutkan Membaca ↓

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya