Liputan6.com, Los Angeles - Sejarah tercipta dalam ajang Academy Award 2017: Mahershala Ali menjadi aktor muslim pertama yang membawa pulang Piala Oscar.
Hanya beberapa hari setelah sang istri melahirkan putri perempuan mereka yang diberi nama Bari Najma, Ali membawa pulang penghargaan bergengsi Best Supporting Actor untuk perannya sebagai bandar narkoba yang punya hati bernama Juan dalam film Moonlight.
Setelah menerima penghargaan, ia Ali mengucapkan terimakasih pada para guru yang telah mengajarkannya berakting.
Advertisement
"Satu hal yang konsisten mereka katakan kepadaku...'Ini bukan soal dirimu, tapi tentang karakter-karakter itu. Kau adalah pelayan -- melayani cerita dan karakter yang kau mainkan'," kata dia seperti dikutip dari AsiaOne, Senin (27/2/2017).
Tak mudah bagi Mahershala Ali bisa berdiri sebagai pemenang di panggung Oscar. Tak hanya melalui persaingan sengit di Hollywood yang bertabur bintang. Pria 43 tahun itu juga punya masa lalu yang pelik.
Sebelumnya, saat memberikan sambutan setelah menerima penghargaan Screen Actors Guild (SAG) Award -- yang momentumnya di tengah kebijakan imigrasi kontroversial Presiden Amerika Serikat Donald Trump -- Ali menyampaikan kritik terhadap mereka yang menghakimi orang lain.
Ia mengaku bersyukur punya kesempatan memainkan peran Juan, seorang pria sejati yang peduli pada seorang pemuda yang terpuruk akibat penghakiman oleh masyarakat.
"(Juan) mengambil kesempatan untuk mengangkatnya, mengatakan pada pemuda itu bahwa ia penting, bahwa dia akan baik-baik saja, dan menerimanya," kata Ali. "Saya harap kita bisa melakukan yang lebih baik dari itu."
Sang aktor juga menceritakan kisah hidupnya: seorang pemuda pendiam yang berusaha keras melawan depresi saat muda, tumbuh lingkungan yang buruk, dan menjalani perjalanan spiritualnya.
Berikut tiga fakta yang merangkum kehidupan Mahershala Ali hingga menjadi bintang, seperti dikutip dari situs People.com, Senin (27/2/2017):
1. Masa Kanak-Kanak yang Sedih
"Aku mengalami depresi selama bertahun-tahun," kata Ali kepada The Hollywood Reporter dalam sebuah wawancara candid.
Perasaan itu timbul setelah orang tuanya berpisah. Sang ayah meninggalkan keluarganya, saat Ali berusia 3 tahun, untuk mengejar karier di dunia tari.
"Aku dirundung kesedihan, melankolis. Itu selalu menjadi bagian dari diriku," kata dia.
Ali terlahir sebagai Mahershalalhashbaz Gilmore. Tangis pertamanya pecah di Oakland, California pada 1974.
Ia tumbuh besar di area sekitar 5 mil jauhnya dari tempat kelahirannya Oakland, di lingkungan yang lebih aman di Hayward. Nenek dan kemudian ibunya adalah pendeta Baptist, ayahnya seorang agnostik.
Ibunya menikah lagi, namun penghasilan ayah tirinya dan upah paruh waktu sang ibu sebagai penata rambut tak cukup memenuhi kebutuhan mereka.
"Kami sama sekali tidak miskin, tapi kami mengalami banyak tantangan finansial," kata Ali, yang mengaku tumbuh besar di keluarga yang menerapkan aturan ketat pada anak-anaknya.
Olahraga menjadi pelampiasannya. Ia menonjol dalam permainan basket dan balap sepeda -- meski tak semahir kakak sepupunya yang jadi atlet BMX profesional.
Advertisement
2. Lolos dari Jebakan Horor
Beranjak dewasa, Ali mulai menyaksikan dampak rasial dan kemiskinan di komunitasnya.
"Aku mulai melihat sepupu-sepupuku masuk penjara karena perampokan bersenjata atau obat-obatan terlarang," kata dia. "Ibu temanku adalah seorang pengedar narkoba, tapi aku tidak pernah menyadarinya."
Jadi pengguna narkoba dianggap wajar di lingkungannya. Pun dengan kejahatan kriminal. Beberapa temannya di Oakland jadi korban pembunuhan.
Namun, narkoba dan aksi kriminal ternyata bukan hal terparah yang disaksikannya. Ada yang lebih mengerikan dari itu: AIDS yang mewabah.
Ali menyaksikan epidemi AIDS menyerang banyak rekan ayahnya sesama pekerja seni di teater musik.
"Aku melihat banyak orang tewas akibat AIDS, orang-orang yang dekat denganku," kata dia. "Kematian yang kusaksikan lebih banyak daripada korban kekerasan senjata. Setiap tahun, ada teman-teman ayah -- yang berusia 28 atau 29 tahun-- meninggal dunia."
Pengalaman menyaksikan kematian demi kematian membebani hati Ali. Ia mengalami insomnia. Saat tak bisa tidur itu, ia sibuk merencanakan bagaimana caranya lolos dari kondisi horor yang menjebak teman-temannya.
Akhirnya ia mencurahkan pikirannya di lembaran kertas kosong. Ternyata cara itu ampuh. Menulis bukan hanya meringankan bebannya tapi juga membentuk dasar kecintaanya pada seni.
Pada saat bersamaan, hubungannya dengan orangtua merenggang. Lepas dari usia 18 tahun Ali memutuskan tinggal bersama kakek dan neneknya.
Setelah memenangkan beasiswa basket, Ali kuliah di Saint Mary’s College pada 1992. Di sana, ia bertemu seorang dosen, Rebecca Engle, yang mengajaknya bermain dalam Othello -- drama tragedi berdasarkan karangan William Shakespeare.
Namun, Ali melewatkan Othello dan akhirnya bermain dalam Spunk -- pertunjukkan yang kerap ia tonton bersama sang ayah dulu.
Setiap drama selesai dipentaskan, penonton bersorak, mereka berdiri dan bertepuk tangan. Hati Ali bangga bukan kepalang. Saat itu ia merasa menemukan tujuan hidup.
Tidak lama setelah Ali menemukan tujuan baru dalam hidupnya, sang ayah meninggal karena sakit menahun -- tanpa sempat melihat putranya di atas panggung apalagi menjadi bintang besar.
3. Menjadi Mualaf
Mahershala Ali bertemu dengan perempuan yang kelak jadi istrinya, Amatus Sami-Karim di sekolah pascasarjana.
Kala itu, keduanya sedang berada dalam fase pencarian spiritual. Amatus mempertanyakan keyakinannya pada Islam, sebaliknya Ali membuka diri untuk mempelajari ajaran agama itu.
"Ia nyaris keluar dari (Islam) dan aku akan masuk ke dalamnya," kata Ali. Suatu hari, pria itu ikut kekasihnya ke masjid.
Entah mengapa, sepanjang khotbah, Ali menangis meskipun ia sama sekali tidak memahami Bahasa Arab.
Seminggu kemudian ia kembali ke masjid yang sama. Kali itu, Ali kembali berurai air mata.
"Tak ada kata-kata yang bisa menjelaskan perasaaanku...Aku merasa seperti berada di tempat yang semestinya." Malam itu, Ali mengucap kalimat Syahadat.
Saat memberikan sambutan setelah menerima penghargaan SAG, Ali menceritakan betapa sulitnya memberitahukan kepada sang ibu soal keputusannya memeluk Islam.
Bahkan, butuh waktu sekitar 10 atau 12 tahun hingga sang ibu bisa menerima seutuhnya statusnya sebagai seorang Muslim.
Kini, Ali dan ibunya rukun kembali. Hubungan yang sempat renggang menjadi rapat berkat sikap saling memahami. Bukti rasa cinta, serta kasih sayang dan penerimaan tanpa syarat.
Advertisement